Singgasana Magis Arcana

Awal yang Baru



Awal yang Baru

0Jantung Jacques berdebar kencang. Dia bisa mendengar napasnya sendiri.     

Sepuluh detik kemudian, Jacques akhirnya menurunkan bahunya seperti balon yang kempes.     

"Bagaimana ... cara melakukannya?" ujar Jacques dengan suara serak.     

Dia merasa dia sedang dibagi menjadi dua bagian. Salah satu mengendalikan hasrat akan cintanya, dan satunya lagi merasa sangat bersalah.     

"Mudah. Kau hanya perlu menandatangani perjanjian sihir denganku." Senyum Lucien masih tertinggal di wajahnya. "Pertama, kau berjanji kau tidak akan mengatakan pada siapapun siapa kami. Kedua, kau tidak boleh memberitahu siapapun dalam kapal ini kalau ada yang tidak beres di bawah sini. Ketiga, kau juga harus merahasiakan ini setelah kau kembali ke Sturk."     

Jacques mendengarkan kalimat Lucien, dengan matanya menatap ke lantai.     

"Sebagai balasannya, aku berjanji memberimu ramuan sihir yang bisa membangkitkan kekuatan Berkahmu, atau kalau para penyihir mengatakannya sebagai, Kekuatan Darah, tiga tahun lagi, kalau usahamu gagal. Bahkan kalau kau tidak bisa menemukanku di Holm tiga tahun lagi, Kongres Sihir akan menepati janjiku. Tom bisa mewakili kongres."     

Untuk menenangkan Jacques, Lucien menambahkan, "Dan juga, selama nyawa kami tak terancam, kami tak akan menyakitimu dan teman-temanmu di kapal ini."     

"Aku paham, dan aku akan melakukan sesuai yang kauminta." Jacques mendongak dan menatap mata Lucien. "Kau tahu kelemahanku."     

Selesai bicara demikian, dia merasa lebih rileks.     

"Selamat, Tuan Jacques, telah mengambil pilihan tepat. Aku sudah bisa melihat masa depan cerahmu," kata Lucien. Kemudian, dia mengeluarkan satu gulung perkamen, satu pena bulu, dan sebotol kecil tinta sihir dari sakunya, lalu mulai menulis artikel penjanjian dan menggambar pola misterius di sana.     

Lucien tidak melihat ke arah perkamen yang dia tulis. Malah, dia menatap Jacques sambil tangan kirinya separuh menggenggam, untuk jaga-jaga seandainya Jacques tiba-tiba berubah pikiran.     

Jacques tidak terlalu mempedulikan sikap waspada Lucien. Dia berkata pada Lucien serta dirinya sendiri, "Masa depanku? Pasti gelap. Toh, aku sudah mengkhianati keyakinan kesatriaku dan kurasa mustahil membangkitkan kekuatan Berkah dengan usahaku sendiri. Semua orang tahu kalau kekuatan yang dibangkitkan oleh ramuan sihir itu terbatas, tapi aku tetap melakukannya, demi Chely."     

"Syukurlah, Tuan Jacques. Sungguh pacar yang baik." Lucien tersenyum. "Berdasarkan apa yang kutahu, tidak ada aturan universal seperti kepercayaan kesatria, tapi 'kepercayaan' itu adalah bagian terpenting. Dengan kepercayaan tertentu, seseorang bisa tetap konsentrasi dan fokus pada latihan kesatrianya. Kalau kepercayaanmu adalah untuk melindungi Nona Chely dan untuk menjaga kekasihmu, apa yang kau lakukan tidak mengkhianati kepercayaanmu."     

Mendengarnya, Jacques lumayan terkejut. "Pemahamanmu ... sangat berbeda dengan yang guruku katakan, tapi teorimu masuk akal."     

Faktanya, Lucien mendengar itu dari Natasha. Dia mencoba membuat jawabannya terdengar samar. "Yah ... aku kenal beberapa kesatria agung. Mungkin mantra baru bisa keluar dalam beberapa tahun lagi, yang bisa membantu kesatria untuk mengembangkan kekuatannya lebih jauh, 'kan?"     

Kemudian, Lucien menulis namanya di perjanjian.     

Kalimat Lucien jelas menenangkan Jacques. Sebuah senyum muncul di wajah Jacques. "Kudengar Gereja memiliki ramuan yang hanya tersedia untuk bangsawan tingkat atas. Ramuan itu bisa mengubah seseorang menjadi kesatria level dua. Aku juga dengar kalau grand duke, Violet, menggunakan ramuan itu. Tunggu. Namamu Lucien Evans? Menarik. Musisi favorit Chely juga namanya Lucien Evans."     

"Aku juga kenal orang itu," jawab Lucien santai. "Ya, meski nama kami sama, kami beda orang."     

"Sangat beda. Kalau kubilang ... kebalikan." Jacques mengedikkan bahu. Dia tak pernah mencoba menghubungkan musisi dengan penyihir yang ada di depannya, karena, pertama, Lucien Evans bukan nama yang langka, dan kedua, seorang musisi terkenal yang juga menjadi seorang penyihir adalah hal yang tak terbayangkan.     

"Aku setuju denganmu," kata Lucien. Dia diam-diam berbalik untuk melihat apakah Tom merasa curiga dengan namanya atau tidak.     

Tapi ternyata, Tom masih melihat pada tangan kiri Lucien, berhati-hati menunggu sinyal untuknya.     

Lucien tahu kalau Granneuve ada di sini, dengan seluruh petunjuk yang dimiliki Granneuve, dia mungkin satu-satunya orang yang bisa mengatakan kenyataan.     

"Tuan Evans? Di mana saya harus tanda tangan?" tanya Jacques.     

"Di sini." Lucien menunjuk sudut kertas perjanjian.     

Setelah Jacques menandatangani perjanjian, sambil memegang perjanjian itu di tangan, Lucien menyelimuti perkamen itu dengan kekuatan spiritualnya.     

Gelombang sihir yang kecil keluar dari sana. Kemudian, kekuatan itu berubah menjadi api berwarna biru dan membakar perkamen itu sampai jadi abu.     

Begitu perkamennya hilang, Lucien tiba-tiba merasa kalau ada sesuatu yang baru di dalam jiwanya, dan Jacques juga tampak bingung untuk sesaat. Ternyata perjanjian sihir itu mengeluarkan efek!     

"Jika perjanjian itu dilanggar oleh salah satu dari kita, orang yang melanggar akan menderita karena api membakar jiwanya, dan jiwanya akan dihancurkan." Lucien berjabat tangan dengan Jacques, seolah mereka merayakan kesuksesan. "Karena sudah selesai, aku akan meninggalkanmu untuk memeriksa lingkaran kekuatan suci, Tuan Jacques."     

Jacques memberikan tatapan penuh arti ke arah Lucien. "Tuan Evans, aku harus bilang kau adalah iblis yang sesungguhnya. Seorang iblis yang pandai merayu. Saat aku sedang dalam pelatihan kesatria, aku tak pernah berpikir akan tunduk pada rayuan iblis."     

Kemudian dia berjalan melewati Lucien untuk memeriksa papan kayu yang berada dekat dengan jendela.     

Lucien dan Tom masih berdiri di sana, melihat Jacques berjalan di sekitar sana.     

"Kalau Jacques masih memutuskan untuk melanggar perjanjian, apa yang akan kau lakukan? Kau tau beberapa mantra suci bisa menekan kekuatan perjanjian sihir," ujar Tom.     

Tom tahu kalau perjanjian sihir tidak benar-benar tidak bisa dilanggar seperti yang sering dikatakan orang-orang. Contohnya, jika Lucien menjadi penyihir tingkat tinggi, jiwanya yang sudah bertambah kuat akan bisa menangani kerusakan yang ditimbulkan oleh api.     

"Perjanjian sihir itu hanyalah formalitas," jawab Lucien dengan sangat pelan. "Saat dimana dia memutuskan untuk menandatangani perjanjian itu denganku, aku tahu dia tidak akan melanggar kata-katanya dengan mudah, karena hatinya memilih mengikuti hasratnya. Tapi, tentu saja, masih ada risiko, tapi aku tak punya pilihan yang lebih baik."     

"Menarik." Tom tersenyum dan mengangguk. "Kongres akan menyediakan ramuannya. Toh, kau sudah melindungi banyak murid."     

Setelah beberapa saat, sambil 'diawasi' oleh Lucien dan Tom, Jacques memeriksa sisa kabin di bagiannya, dan benar-benar mengabaikan banyak murid yang bersembunyi di beberapa kabin.     

Satu jam kemudian, setelah Jacques meninggalkan lantai, tak ada apapun yang terjadi.     

Lucien akhirnya menghela napas lega.     

...     

Ruangan viscount.     

Cangkir porselen mewah yang dibuat di Colette, dilemparkan ke karpet dengan keras. Dalam sekejap, cangkir itu pecah menjadi berkeping-keping.     

"Bodoh! Dasar bodoh dan tidak berguna! Batunya dicuri dan bawahan kita hampir ketahuan!" Viscount Wright berteriak murka.     

Di depannya ada Granneuve dan Tom yang sedang berdiri sambil menunduk dalam.     

Viscount berjalan mondar-mandir di ruangannya. "Katakan, bagaimana bisa para murloc kotor itu tahu ada batu-batu itu di kapal kita?! Bagaimana mereka tahu kita memuat Wave Stone? Kalian berdua, Granneuve dan Tom, sudah kewajiban kalian untuk menemukan jawabannya!"     

Walaupun viscount memiliki 1/10 dari seluruh kekayaan di Sturk, ini tetap saja jadi kerugian yang besar.     

"Baik, Tuanku." Baik Granneuve dan Tom sama-sama tak berani mengangkat kepalanya.     

Kemudian wajah viscount berubah serius dan semakin murung. "Cari kesempatan untuk membunuh pengawal kesatria bernama Jacques. Biarkan seseorang melakukan itu. Berdasarkan perjanjian, hanya penyihir dan Tom yang tak boleh melakukan itu."     

"Baik." Granneuve membungkuk dan mengangguk.     

"Tunggu. Tidak usah." Viscount duduk kembali di sofanya. Dia tampak lelah. "Aku tak ingin melukai Chely. Kalian berdua urus batunya dulu."     

Satu bulan kemudian, meski cuacanya semakin dingin, kapal itu tak lagi mengalami rintangan setelah serangan murloc.     

Akhirnya, kapal itu tiba di pelabuhan bernama Patray di Holm, di seberang Selat Storm.     

Di lantai dua dari dasar, Lucien, Tom, dan para murid merasa sangat bersemangat. Bahkan Lucien yang bersemangat pun masih tak bisa menahan rasa girang di hatinya.     

Lucien menganggap hari ini menjadi permulaan perjalanannya dalam sihir yang sebenarnya.     

Mengenai catatan yang dia temukan di dompet murloc, Lucien tak terlalu memikirkannya. Dia tak boleh terlalu serakah, apalagi saat dia tak punya informasi yang cukup.     

"Evans, kau dan para murid sembunyilah di dalam peti. Tetap tenang saat mereka memeriksa. Sembunyi saja dan jangan panik," kata Tom sambil menunjuk ke arah peti kayu yang panjang.     

Lucien mengangguk dan memimpin berjalan menuju peti. Saat dia berbaring di dalam, sebuah papan kayu menutupinya.     

Di atas papan kayu, Tom dan para awak kapal meletakkan barang-barang dan menyegel peti itu dengan papan kayu lainnya yang dipaku.     

Lucien merasa dirinya sedang dikubur di dalam peti.     

Dalam kegelapan, setelah waktu yang lama, saat Lucien bertanya-tanya apakah dia dilupakan, dia mendengar ada orang-orang yang mencoba membuka peti untuk mengecek bagian dalamnya.     

Meski dia sangat waspada, Lucien mengikuti arahan Tom dan tetap tenang.     

"Tak ada masalah."     

Itu adalah suara Jacques.     

Peti itu disegel lagi. Lucien kemudian merasakan guncangan hebat. Setelah beberapa saat, peti Lucien diletakkan di atas tanah yang basah dan dingin.     

Setelah waktu yang lama lagi, peti itu dibuka. Barang-barang di atas disisihkan, begitu pula papan di bawahnya.     

Cahaya matahari yang terang masuk ke dalam peti, membuat Lucien menyipitkan mata.     

Seorang pemuda mengenakan kemeja putih, rompi coklat gelap, dan jaket hitam panjang sedang berdiri di depan peti. Ada senyum lebar di wajah pemuda yang memakai topi sulap hitam.     

"Selamat datang di Holm, Temanku."     

Lucien juga nyengir. Dia tahu kalau awal mula hidupnya baru saja dimulai.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.