Singgasana Magis Arcana

Sekolah Sihir



Sekolah Sihir

0Sprint juga melirik ke arah Katrina, kemudian masuk ke dalam ruang ujian tanpa mengatakan apapun.     

Sebelum ini, ketika mereka berada di Sturk, dan juga saat mereka ada di dalam kapal berbahaya, Katrina dan Sprint tak pernah berhenti bersaing. Mereka sering melemparkan pertanyaan sulit satu sama lain, dan ketika mereka punya kesempatan berlatih merapal mantra, mereka pasti berlomba siapa yang paling cepat. Karena Sprint yang sering memenangkan kompetisi itu, Katrina sering merasa tidak senang.     

Melihat sikap Sprint, Katrina menghentakkan kakinya sedikit, kemudian masuk ke dalam ruangan sambil mendengus.     

"Santai saja." Lucien mengedikkan dagu ke arah ruang ujian.     

Annick mengangguk mantap. "Baik, Tuan Evans."     

Kemudian dia masuk bersama Layria dan Heidi sambil merasa agak gugup.     

Lazar, sambil memasukkan tangannya ke dalam saku mantel, tersenyum. "Lucien, apa mereka murid yang kau ajari? Bagaimana proses belajar mereka?"     

"Mereka baru belajar arcana lebih dari sebulan yang lalu, dan aku tak bisa menyombongkan diri kalau mereka belajar banyak dariku. Aku hanya menyuruh mereka mengulang latihan mereka terus-terusan agar mereka memahami dasarnya sebaik mungkin, jadi mereka bisa belajar arcana dan sihir lebih mudah di masa depan nanti." Lucien membalas dengan santai. Dia merasa tak khawatir sama sekali dengan ujiannya, karena dia yakin murid-muridnya sudah lebih siap daripada sebayanya.     

"Latihan berulang-ulang? Itu terdengar tidak menarik sama sekali." Lazar menyeringai. "Apa kau tidak takut mematikan kreativitas mereka?'     

"Kreativitas hanya untuk orang jenius, dan anak-anak itu bukan jenius," jawab Lucien tanpa basa-basi. "Mengandalkan sesuatu yang tidak mereka miliki hanya akan membuat mereka kecewa. Satu-satunya cara yang harus mereka lakukan adalah bekerja keras, dan satu-satunya hal yang harus mereka andalkan adalah kegigihan mereka." Meski Lucien masih tersenyum, suaranya terdengar serius. "Mereka harus memahami cara berpikir arcanis dengan latihan berulang itu, dan latihannya bisa membentuk fondasi yang kuat."     

Lazar hanya mengobrol, bukan berdebat, jadi dia memiringkan kepalanya sedikit dan berujar, "Kau juga sangat cocok menjadi guru, Lucien."     

Lucien berpikir pada dirinya sendiri kalau ini adalah caranya belajar sebagai seorang murid di dunia asalnya. Kemudian, dia langsung mengubah topik. "Kau punya banyak mantel hitam seperti ini, Lazar? Kenapa aku merasa kau tak pernah ganti baju?"     

Lazar tertawa. "Ayolah. Mantel ini adalah jubah sihirku! Jangan bilang kalau menurutmu jubah sihir itu hanya yang memiliki tudung dan membuat penampilanmu jadi suram! Kami punya macam-macam gaya berpakaian. Seperti formal, kasual, mantel, gaun ... selama kau punya uang."     

"Berapa harga jubah sihir level dua? Sejujurnya aku belum punya jubah sama sekali," tanya Lucien agak semangat.     

"Paean of Night." Lazar menunjuk mantelnya. "Level dua tingkat medium, 200 thale atau poin arcana. Mantel ini berasal dari Wasim. Harganya murah, kualitas bagus, reputasi bagus."     

Lucien terhibur dengan kalimat Lazar, kemudian cepat-cepat menghitung uang yang dia miliki sejauh ini. "Aku hanya punya enam thale dan 9 poin sekarang. Omong-omong, Lazar, apa benar satu poin arcana setara dengan satu thale?"     

Saat Lucien berkelana, dia cukup memanjakan dirinya dengan membeli macam-macam barang.     

"Benar." Lazar mengangguk. "Tapi saat kau naik ke tingkat yang lebih tinggi, kau akan tahu kalau poin arcana punya lebih banyak kegunaan daripada thale. Berdasarkan para bankir yang rakus, poin-poin itu diamin oleh uang kongres sendiri. Aku harus menabung cukup lama supaya bisa membeli jubah. Tapi untungnya, penyihir tidak sulit menemukan pekerjaan dan mencari uang. Kau mungkin bisa menghasilkan 10 thale atau poin arcana dalam sebulan, ditambah dengan penghasilan tambahan dari orang-orang yang belajar sihirmu. Jadi kurasa kau bisa membeli jubah seperti ini dalam dua tahun lagi."     

"Oh. Dua tahun masih lama," ujar Lucien.     

"Aku bisa meminjamkanmu uang. Aku masih punya 30 poin dari mantra baruku yang kudaftarkan," kata Lazar. "Aku yakin kau pasti membayarku lagi, karena kau adalah penyihir berbakat. Aku juga yakin banyak orang pasti ingin belajar mantra level murid barumu."     

"Terima kasih atas kebaikanmu, Lazar." Lucien tersenyum dan berujar tulus, "Aku masih punya beberapa material yang bisa kujual."     

Lucien berpikir akan menjual Wave Stone yang berharga yang dia dapat dari murloc.     

"Aku sangat iri padamu, Lucien," ujar Lazar jujur. "Penyihir yang mengikuti sistem sihir kuno kurang lebih punya beberapa material atau benda sihir."     

Waktu berjalan cepat ketika Lucien dan Lazar mengobrol santai di luar ruangan ujian. Tak lama kemudian, pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka, dan Heidi keluar dengan riang.     

"Ujiannya sangat mudah, Tuan Evans!"     

Sambil mengikuti Heidi, Layria juga keluar dari ruangan dan sependapat. "Iya! Lebih mudah daripada latihan yang kami kerjakan!"     

"Syukurlah." Lucien tersenyum dan mengangguk. "Bagaimana denganmu, Annick?"     

"Lumayan..." Annick tersenyum malu-malu sambil menggaruk kepalanya seperti biasa. "Semua berkat Anda, Tuan Evans."     

"Mungkin kalian mengabaikan soal jebakan dalam ujian, makanya terasa gampang bagi kalian bertiga." Salah satu murid menyahut dengan suara tidak senang. "Bagaimana menurutmu, Sprint?"     

Sprint terlihat tak terlalu percaya diri sekarang. "Sebagian besar pertanyaannya bukan masalah, tapi beberapa cukup sulit. Aku tak yakin."     

"Aku juga berpendapat demikian..." Mendengar jawaban Sprint, Katrina lebih tenang. Dia berpikir kalau hanya dirinya yang merasa kesulitan saat ujian.     

"Rasanya sangat sulit. Kepalaku sakit..." ujar murid yang lain.     

"Sprint, bagaimana caramu menganalisis dan menciptakan mantra murid Spectre Strike?" Melihat pintu ruang ujian tertutup lagi, Katrina bertanya setelah ragu-ragu sesaat.     

"Aku mencoba untuk..." Karena Sprint juga tidak terlalu yakin dengan yang itu, dia tidak mencoba menyembunyikan jawabannya, melainkan memutuskan untuk mengeceknya bersama Katrina.     

Murid yang lain bergabung untuk memeriksa jawaban mereka bersama, dan mereka mulai berdiskusi panas.     

Namun, Heidi dan Layria cukup kebingungan, karena mereka benar-benar merasa ujian itu tidak sulit sama sekali.     

Tak lama kemudian, Annick, Heidi, dan Layria bergabung dengan murid lain. Mereka meninggalkan Lucien dan Lazar yang sedang menatap para murid yang berdiskusi dengan panas di sisi lain koridor sambil tersenyum.     

Saat para murid selesai memeriksa jawaban mereka, jam hampir menunjukkan pukul 10:30. Semuanya pun berhenti bicara dan menunggu hasilnya.     

Di koridor menjadi sangat sepi.     

Kemudian, pintu ruang ujian perlahan terbuka. Sambil menatap ke arah pintu, seluruh murid tampak sangat gugup.     

Ada sebuah map di tangan Simeon, dan dia kemudian berujar dengan nada serius. "Sekarang aku akan membacakan hasil ujiannya."     

Seluruh murid menahan napas mereka, termasuk Annick, Layria, dan Heidi yang berpikir ujiannya cukup mudah.     

"Kelompok pertama, untuk para murid yang punya fondasi kokoh tentang pengetahuan arcana, kekuatan spiritual dan kemampuan merapal mantra yang memenuhi syarat, adalah: Annick, Layria, dan Heidi. Kemampuan ketiga murid itu ada di Astrologi dan Elemen."     

"Apa?! Mustahil!" Murid yang lain tercengang. "Kok bisa bukan Sprint dan Katrina?!"     

Wajah Sprint dan Katrina tiba-tiba berubah pucat, seolah mereka tak pernah menyangka kalau mereka akan kalah dari Annick, Heidi, dan Layria. Mereka berharap ini hanyalah sebuah kesalahan.     

Namun, Simeon berujar serius pada mereka, "Kalau kalian ada yang tidak percaya, silakan berdiskusi tentang pertanyaan arcana dasar dengan mereka."     

Tidak ada murid yang meragukan kalimat Simeon. Sambil tetap diam, mereka menerima hasil itu dengan enggan. Disaat bersamaan, banyak yang berbalik dan melihat ke arah Lucien. Mereka merasa menyesal karena alasan yang berbeda-beda.     

"Lalu grup kedua, untuk murid yang punya fondasi pengetahuan arcana yang cukup bagus, level kekuatan spiritual dan kemampuan merapal yang memenuhi syarat, yaitu: Sprint, Katrina, dan Oimos. Kekuatan Sprint dan Katrina ada di bidang Gaya, Elektromagnetik, dan Elemen. Sementara Oimos di bidang Pemanggilan dan Necromancy."     

Ketika Simeon membacakan hasilnya, beberapa murid merasa senang dan beberapa tidak puas. Pada akhirnya, Simeon mengumumkan,     

"Annick, Layria, Heidi, Sprint, dan Katrina akan belajar di Sekolah Douglas. Oimos di Allyn..." Berdasarkan hasil ujian, Simeon memasukkan para murid ke perguruan yang berbeda-beda. Seluruh sekolahnya ada di Allyn, dan tidak ada yang perlu pergi ke sekolah di daerah, maupun negara lain.     

Saat mereka mengikuti Simeon ke kantor untuk prosedur masuk ke sekolah, Layria tiba-tiba terpikir sesuatu. Dia melihat ke arah Lucien dengan wajah sedih, lalu bertanya dengan mata yang berair. "Tuan Evans, apakah Anda akan menetap di Allyn? Apa kita masih bisa bertemu lagi?"     

Air mata juga menggenang di mata Heidi dan Annick.     

"Kurasa aku akan tinggal di Allyn dalam waktu yang cukup lama, selama tidak ada hal yang mendesak." Lucien tersenyum. "Aku akan mengunjungi kalian kalau aku senggang."     

"Asik!" Heidi dan Layria saling berpelukan dan tertawa dengan air mata yang tersisa di mata mereka.     

Annick juga nyengir, tapi dia melihat ke arah lain—mencoba menyembunyikan emosinya.     

Sambil mengikuti Lucien dan ketiga murid itu, Sprint tetap diam. Setelah semua murid masuk ke dalam ruangan, Katrina tiba-tiba membungkuk para Lucien. "Maafkan saya."     

Kemudian dia cepat-cepat berlari masuk ke dalam ruangan, meninggalkan Lucien yang tak punya kesempatan membalas kalimat Katrina.     

"Menyenangkan sekali menjadi anak muda." Lazar menghela napas, dan hatinya dipenuhi perasaan haru.     

....     

Setelah menyelesaikan prosedur yang tersisa, Lucien mendapatkan sertifikat dari Simeon yang menunjukkan bahwa pekerjaannya sebagai guru telah selesai.     

Kemudian Lucien dan Lazar menuju Departemen Administrasi Penyihir bersama-sama.     

"Omong-omong, Lucien," Lazar bertanya, "ada ide mau menambahkan huruf apa di belakang namamu di naskah?"     

"Lucien Evans X." Lucien tersenyum.     

Huruf 'X' bisa berarti misterius, dan itu juga merupakan inisial nama asli Lucien.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.