Singgasana Magis Arcana

Piano Solo



Piano Solo

0Seluruh kota bertepuk tangan atas penampilan Lucien. Di dunia ini, orang-orang belum terbiasa dengan rangsangan ke panca indra yang kuat, Mereka terkejut.     

"Aku hampir sesak napas," ucap Lilith. "Cara memimpin konser Tuan Evans memberikan simfoni itu hidup baru."     

"Tidak ada yang lebih mengenali sebuah lagu sebaik penciptanya sendiri!" Sala masih bertepuk tangan, matanya bersinar dengan semangat.     

Dibandingkan dengan gaya kaku para dirigen tradisional, orang-orang yang tidak terlalu memahami musik sangat menyukai cara Lucien membawakan sebuah lagu.     

...     

"Dia gila." Verdi awalnya terkesan, namun kemudian dia merasa itu terlalu berlebihan., "Lucien tidak paham dengan apa yang disebut keanggunan!"     

Verdi tidak sendirian. Banyak musisi tradisional yang mengikuti kebiasaan lama setuju dengan komentar Verdi.     

Sudah dapat diramalkan bahwa banyak ulasan kritik mengenai cara memimpin konser milik Lucien akan muncul di Kritik Musik dan Berita Simfoni besok.     

"Kurasa tidak begitu, Verdi." Natasha menggelengkan kepala, terlihat begitu bersemangat. "Cara memimpin lagu seperti itu terlahir dari Simfoni Takdir! Tidakkah kau setuju?"     

"Aku setuju dengan Tuan Putri." Christopher, sang ketua, mendukung Natasha. "Gaya memimpin konser milik Lucien menghidupkan semangat membara ke seluruh orkestra, dan mereka bersama-sama mempersembahkan kita Simfoni Takdir versi yang lebih mendebarkan. Gaya memimpin lagu ini, Aku akan bilang, sangat cocok dengan musik bertema."     

"Tapi Tuan Christopher..." Verdi melihat ke arahnya.     

"Aku tahu apa yang ingin kau katakan, Count Verdi." Christopher tersenyum. "Benar, Lucien terlalu memaksakan permainannya. Dia terlalu jujur ketika mempersembahkan Simfoni Takdir, dan itu membuat penonton memiliki sedikit ruang untuk berimajinasi."     

Bahkan Natasha harus mengakui yang Christopher katakan itu benar.     

"Tetapi, aku merasa kita tidak perlu begitu keras dengan seorang musisi muda dan konser pertamanya." Christopher menyilangkan jari, lalu melihat ke arah grand duke. "Kita membutuhkan generasi muda yang kreatif. Menjadi toleran serta memiliki pikiran yang terbuka adalah langkah awal."     

Grand Duke tersenyum dan mengangguk. Apa yang dikatakan Christopher sama dengan apa yang dia pikirkan.     

Apa yang ingin dikatakan Natasha dan Verdi sudah cukup terwakilkan oleh Christopher. Verdi memalingkan wajahnya.     

"Tapi aku masih penasaran, maaf menyela, Yang Mulia, kenapa Lucien memilih untuk menempatkan Simfoni Takdir di posisi kedua untuk konser malam ini?" Michelle, pangeran dari Kerajaan Syracuse, bertanya karena bingung. "Maksudku ... bagian yang belum di pertunjukkan semuanya terdiri dari piano solo saja. Menurutku itu terlihat tidak imbang."     

"Um?" Grand Duke mengambil repertoar di sampingnya dan melihat sebentar. "Benar ... Michelle, apa yang kau katakan ada benarnya. Bagaimana menurutmu, Christopher?"     

"Ya ... karya musik Lucien yang paling terkenal adalah Simfoni Takdir. Menggunakan Simfoni Takdir sebagai lagu penutup konser mungkin susunan yang paling ideal." Christopher mengelus dagunya. "Untuk sekarang, seperti yang dibilang pangeran Michelle, repertoar itu terlihat tidak imbang menurutku, dan aku tidak memperhatikan hal itu sebelumnya."     

Sambil beristirahat sejenak, mata Sard setengah tertutup. Dia tersenyum dan berkata kepada mereka, "Aku percaya Lucien tidak bodoh. Mungkin dia sangat percaya diri dengan piano solonya, atau mungkin dia mempersiapkan sesuatu yang baru. Sangat menarik untuk menunggu dan melihat apa yang akan terjadi, 'kan?"     

Pada saat mereka mendapatkan kesimpulan tersebut, seluruh orkestra sudah pergi. Sekarang, hanya ada piano di panggung.     

Bukannya menghadap ke penonton, tapi piano itu menghadap ke arah yang berbeda.     

...     

Melihat Lucien muncul di kubah kristal lagi, Piola bertanya kepada temannya, "Mengapa piano itu berada di posisi yang salah?"     

Itulah apa yang dipertanyakan banyak orang saat ini.     

Di atas panggung, Lucien membungkuk ke penonton dan duduk di depan piano.     

Lucien menekan tuts. Tangan Lucien mulai bergerak dengan halus di atas keyboard piano.     

"Itu Canon in D major, yang dimainkan dengan piano!" Sharon langsung mengenali melodi yang indah tersebut.     

Meskipun sederhana, Canon in D major mungkin adalah musik yang paling klasik di dunia ini. Dengan memainkan satu atau lebih imitasi dari nada musik setelah beberapa saat, pengulangan melodi yang halus dan lembut menyejukan pikiran para pendengar seperti embusan angin sejuk. Para penonton perlahan kembali dari pengaruh yang dibawa Simfoni Takdir, dan sekarang banyak dari mereka sedikit meregangkan badan di kursinya, menikmati lagu dengan cara yang santai.     

Lucien duduk di depan piano dan bermain dengan hati serta jiwanya. Wajah Lucien yang tampan dan jari-jari yang panjang dan lincah turut memberikan para penonton sebuah impresi yang mendalam.     

Setelah tujuh menit berlalu, tepuk tangan yang hangat terdengar kembali. Sekarang tepuk tangannya lebih tidak terlalu berapi-api dan gila, tapi lebih lembut.     

Saat ini, para penonton merasakan keindahan dan rasa damai dari permainan Lucien.     

"Perubahan kecil membuat sedikit perbedaan." Melodi dari Canon masih terngiang di benak Piola. "Sangat berbeda dengan versi yang dimainkan violin atau harpa."     

"Itu adalah suara khas dari piano, murni dan nyaring." Ada senyuman manis di wajah Grace. "Tuan Evans terlihat sangat mempesona ketika dia bermain. Wajahnya ... Tangannya..."     

"Sekarang aku paham kenapa kau ingin meletakkan piano menghadap ke arah tertentu, Lucien!" Di sisi lain kursi penonton Aula Pemujaan, Natasha tersenyum dan berpikir dalam hati. Dia terlihat begitu terhibur. "Kau ingin membuat para penonton melihat gerakanmu secara langsung, Tapi kenapa kau tidak memberitahuku hal ini sebelumnya ketika aku ingin bermain piano di hadapan Silvia?" Natasha juga sedikit mengeluh ke Lucien.     

"Dia pasti sangat memikirkan konsernya. Kita bisa melihat dari cara dia meletakkan pianonya," jawab Christopher. "Sederhana tapi mempesona. Lagu Canon ini akan menjadi cukup populer."     

Lucien tidak bergerak setelah bermain. Dia masih duduk di bangku piano, seperti bersiap-siap dan menunggu sesuatu.     

Hanya ada selang waktu yang sangat sebentar diantara dua lagu. Beberapa saat kemudian, tangan Lucien kembali bergerak. Ini dia piano solo yang disusun ulang dari Violin Sonata in G minor.     

Setelah bagian pembuka permainan yang memprioritaskan kesederhanaan dan kemampuan bermain, Lucien mulai memainkan nada-nada pendek dengan gerakan yang cepat. Jarinya seperti dua penari yang berputar-putar di atas papan tombol piano.     

"Violin Sonata in G minor?" Beberapa pendengar berbisik satu sama lain. "Itu untuk violin. Tidak mungkin untuk piano..."     

Karena solo itu dimainkan secara semi-quaver, tangan Lucien bergerak lebih cepat dan cepat. Double-stop, ostinato, scales dan arpeggios, crossover besar... Lucien menggabungkan hampir seluruh teknik bermain secara bersama-sama dan itu mempesona mata para penonton.     

Mereka hampir tidak dapat percaya bahwa itu adalah seorang manusia yang sedang bermain.     

Teknik permainan jari Lucien yang sangat luar biasa menunjukan potensi keseluruhan dari piano. Musik ini lebih dari memamerkan keahlian bermain seorang, tapi juga memuji potensi besar dari piano sebagai alat musik baru di dunia ini.     

Ketika puncak nada menjadi lebih tinggi dan tinggi, melodinya menjadi lebih bersemangat lagi.     

Para penonton kesulitan untuk menahan sorakan mereka. Permainan belum selesai.     

Disaat Lucien mengakhiri permainannya dengan teknik jari yang sangat sulit dan perubahan tinggi nada yang berubah-berubah secara drastis, para pendengar di alun-alun meledak dengan sorakan dan teriakan, sedangkan para bangsawan dan musisi di aula musik juga bertepuk tangan dengan meriah.     

Permainan Lucien memperbaharui pikiran semua orang akan besarnya potensi yang dimiliki piano!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.