Singgasana Magis Arcana

Pengunjung Muda



Pengunjung Muda

0Minggu terakhir dari Bulan Kehidupan, bulan Maret.     

Ketika cuaca menjadi lebih hangat, Aalto, Kota Mazmur, keluar dari musim dingin yang pahit dan mulai memancarkan semangat, menyapa para pengunjung yang datang dari berbagai tempat di benua untuk ikut serta dalam Festival Musik Aalto, yang diadakan setiap tiga tahun sekali.     

Musisi, pemain musik, bard dan bangsawan dari negara lain berdatangan ke kota terbesar yang dekat dengan Pegunungan Kegelapan.     

Meskipun masih siang, banyak orang yang berlalu-lalang di depan gerbang kota daerah Nolan.     

Lilith, gadis berambut merah muda, menarik tangan kakaknya agar berjalan lebih cepat.     

"Berhenti melihat ke sana-kemari, Sala!"     

Mengatakan itu dengan suara pelan, gadis itu terlihat sedikit marah kepada kakaknya, tetapi tidak ingin menarik perhatian orang di sekitarnya.     

Gadis berumur 16 tahun ini sangat cantik dan penuh semangat. Kemurungan yang tidak begitu terlihat pada kepribadiannya bahkan menambah pesona yang dimilikinya. Lilith sangat dikenal di tempat kelahirannya. Seorang bangsawan muda bahkan hampir meninggalkan gelarnya untuk mengejar dia.     

Sala terlihat lebih bersemangat dari adiknya. "Lihat itu, Lilith! Mereka adalah Moon Elves! Astaga ... mereka sangat cantik! Seperti yang dikatakan dalam dongeng, telinga mereka sedikit bergoyang ... lucu sekali!"     

Karena penasaran, Lilith berjinjit dan melihat para Elf. Sekumpulan wanita Elf yang sedang berjalan bersama itu memang benar-benar cantik. Kulit mereka sebening bulan purnama; wajah mereka amat cantik; dan telinga mereka yang lancip terlihat lucu.     

Lilith menapakkan tumitnya kembali, lalu bergumam, "Hanya sedikit lebih cantik dariku..."     

Lalu dia mencubit tangan Sala dan mengeluh, "Jaga sikapmu, Sala! Kita sedang berada di Aalto. Tuhan mengawasimu!"     

Ketika dia mengatakan 'Tuhan', dia mengecilkan suaranya.     

"Tenanglah, Lilith." Sala terlihat mirip dengan adiknya, dengan rambutnya yang merah muda. "Terlalu gelisah malah lebih mencurigakan."     

Memasuki kota, dua bersaudara itu berbelok arah dan sampai ke pojokan yang sunyi dan sepi.     

"Tapi kita masih ... pemula." Lilith melihat ke sekitar dan mengatakan kata terlarang itu.     

"Lalu kenapa? Kau tahu berapa banyak penyihir pemula yang ada di Aalto?" Sala mengangkat bahunya. "Setelah menemukan orang terpelajar yang dapat menjawab pertanyaan kita, kita harus pergi."     

"Tidak ke festival musik?" Lilith terlihat sedikit kecewa.     

"Tidak." Sala terlihat serius. "Festival Musik Aalto diadakan setiap tiga tahun, tetapi kemungkinan kita hanya mempunyai satu kesempatan untuk menjadi penyihir sejati. Kau mengerti apa yang lebih penting."     

Lilith mengangguk. Dia paham betapa mengerikannya jika mereka tertangkap oleh Gereja. Kedua bersaudara ini telah hidup dalam ketakutan untuk waktu yang lama, semenjak mereka masih kecil.     

...     

Copper Coronet.     

Ini bukanlah tempat yang sepantasnya. Petualang, tentara bayaran, dan pelacur sedang mabuk-mabukan dan tertawa kencang.     

Sala mendorong-dorong orang yang menghalangi jalan, melindungi adiknya dari tangan-tangan mesum yang ada di bar, dan akhirnya mereka berhasil keluar dari keramaian ke meja konter.     

"Minum apa?" Seperti biasa, Cohn, sang dwarf, sedang mabuk.     

"Dua bir putih," jawab Lilith dengan singkat.     

Mengeluarkan suara seperti mata air yang menggelembung, Cohn cegukan kencang, "Gadis yang menarik! Satu bir putih gratis dariku!"     

Sala mengambil mug di atas meja, meneguk bir putih itu dan mengangguk, "Enak juga."     

"Tentu saja!" Cohn menjawab dengan bangga. "Aku selalu minum itu. Aku tidak akan minum bir putih yang tidak enak!"     

"Sebagai pemilik dari bar yang ramai seperti ini, kau seharusnya kenal banyak orang di kota ini." Lilith bertanya dengan sedikit ragu, "Bisakah kau memberitahu kami siapa orang terpelajar yang memiliki pengetahuan terluas di Aalto? Kami punya sebuah naskah kuno yang kami dapatkan secara kebetulan, tapi kami tidak mengerti tulisan ini."     

"Bahasa umum?" Setelah cegukan lagi, Cohn bertanya, "Atau elven, dwarven, draconic..."     

"Bahasa umum. Ini sudah diterjemahkan oleh seseorang." Sala langsung menyela Cohn, sebelum dia lanjut menyebutkan semua bahasa yang ada di benua satu persatu.     

"Ya ... jika naskah itu tentang sebuah harta karun besar," Cohn memasang senyum yang sulit ditebak, "kalian para pemula akan mendapatkan masalah. Terkadang, itu bisa membawa malapetaka."     

"Kami tidak tahu apa yang ditulis di naskah ini. Kami datang dari kota kecil." Lilith terlihat polos.     

"Ohh ya, satu-satunya alasan kenapa aku masih hidup karena aku tidak pernah bertanya terlalu banyak." Cohn meneguk birnya. "Sejarawan seharusnya bisa membantu ... Bake, Alfonso ..."     

"Yang mana yang kau sarankan?" tanya Lilith dengan waspada.     

"Tidak ada," Cohn langsung menjawab. "Mereka semua orang yang mengetahui sejarah kuno ... mereka adalah bangsawan dan pastor. Kalian pikir kalian bisa begitu saja mendatangi mereka dan bertanya?"     

Lilith dan Sala terlihat kecewa. Mereka tahu bahwa mereka tidak dapat mengambil risiko bertemu dengan bangsawan, apalagi seorang pastor.     

"Tunggu ... aku tahu seseorang yang bisa membantu," ujar Cohn. "Tadinya dia orang miskin."     

"Benarkah? Orang miskin menjadi seorang sejarawan? Siapa itu!?" seru Lilith.     

"Lucien Evans," ucap Cohn dengan bangga. "Seorang musisi jenius, yang juga merupakan seorang sejarawan!"     

"Pembuat 'Untuk Silvia' dan Simfoni Takdir?" Lilith terlihat sangat terkejut, "Bagaimana bisa dia seorang sejarawan? Itu tidak mungkin!"     

Sala terlihat sangat ragu.     

"Aku tahu kalian berdua tidak akan mempercayainya." Cohn tertawa dan melambaikan kedua tangan besarnya. "Aku kenal Lucien! Aku melihatnya tumbuh ... seorang pemuda yang berbakat. Jenius! Aku dengar dia mendapatkan akses ke ruang belajar putri karena dia adalah konsultan musik pribadinya."     

"Itu saja?" Sala tidak dapat percaya, "Sekumpulan buku membuatnya jadi seorang sejarawan?"     

"Bakat yang hebat! Ingatan yang bagus! Itulah berkah Lucien!" Cohn terlihat sedikit kesal dengan komentar Sala. "Percaya atau tidak!"     

Lilith sedikit menarik siku kakaknya dan berkata kepada Cohn dengan sopan, "Apakah kau tahu dimana Tuan Evans tinggal? Bisakah kau memberitahu kami?"     

"Semua orang di Aalto tau bahwa sang putri memberikannya sebuah rumah di pinggiran kota. Dia mungkin sedang tinggal di sana, bersiap untuk konsernya yang akan datang," jawab John dengan bangga. "Tapi kalian harus menunggu hingga besok, atau gerbangnya akan ditutup ketika kalian kembali."     

"Kau bilang bahwa kau melihat Tuan Evans tumbuh besar ... Apakah dia ... elegan dan tampan?"     

"Tentu saja." Cohn tertawa kencang.     

Lilith menarik tangan Sala dan berkata kepadanya, "Kita mengunjungi Tuan Evans sekarang."     

"Apa? Tapi dwarf itu bilang kita harus menunggu besok untuk ke sana! Bagaimana jika gerbang kota nanti ditutup?" tanya Sala.     

"Mari berharap Tuan Evans berbaik hati dan membiarkan kita menginap di rumahnya." Lilith terlihat sangat yakin.     

"…"     

...…     

Di saat mereka sampai di kediaman Lucien, yang dinamakan Brons, hari sudah malam.     

Rumah itu terlihat sedikit menakutkan karena terletak di depan hutan.     

Setelah berbicara dengan penjaga rumah, Lilith dan Sala dipertemukan dengan pelayan rumah, Tuan Lopez.     

Lopez berumur lima puluhan, dan dia juga merupakan pelayan rumah ini sebelumnya, jadi Lucien menyuruhnya untuk tetap tinggal. Dua bersaudara itu diundang ke dalam ruangan dan menunggu di sofa.     

Mereka menunggu dengan sabar selama beberapa menit. Lalu, Lilith dan Sala melihat pemuda mengenakan jas hitam dan kaos putih berjalan menuruni tangga. Dia terlihat agak misterius dan anggun.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.