Singgasana Magis Arcana

Kematian Brown



Kematian Brown

0Walaupun suara ledakannya telah reda dan museum tak lagi berguncang, telinga orang-orang masih terasa sakit, seolah-olah ada seribu lalat sedang berterbangan, dan mereka tak bisa mendengar dengan jelas.     

"Satu dinding dan beberapa pilar hancur. Seperempat museum terkena dampak parah." Seorang kesatria melapor pada Penjaga Malam. "Untungnya tak ada yang terluka. Viscount menyuruhku untuk berkata padamu agar tidak lengah. Menurut Tuan Wright, si penyerang mungkin saja seorang penyihir tingkat lingkaran keempat yang bisa menggunakan Fire Ball atau mantra lain yang setara dengan kekuatan ledakan."     

Meskipun level mantra sihir bergantung pada level si perapal, efeknya juga sangat besar, meski perbedaannya hanya satu level.     

"Tidak akan." Si Penjaga Malam mengangguk. "Aku akan memanggil lebih banyak Penjaga Malam untuk datang dan membantu viscount juga, serta melindungi Tuan Brown."     

Si Penjaga Malam juga merasa sangat kesal karena penyerangnya masih belum ditemukan.     

"Bagus. Viscount sekarang sedang murka." Kesatria itu mengangguk dan berjalan menghampiri Saugus untuk memberitahu kalimat dari viscount yang akan menenangkannya.     

"Haulies, aku ingin pergi dari sini sekarang juga." Suara Brown gemetar.     

"Aku akan mengantarmu pulang saat Penjaga Malam lainnya datang." Haulies, Penjaga Malam yang menyamar jadi petualang, mengangguk. Tentu saja dia paham ketakutan Brown.     

Bagaimanapun, tak ada yang lebih buruk daripada bahaya yang tidak diketahui seperti ini, ketika si penyerang mungkin saja masih ada di tempat ini.     

"Kenapa? Berapa lama aku harus menunggu di sini?" Brown mendesak si Penjaga Malam sambil marah dan ketakutan. "Biarkan saja para pastor dan kardinal di dekat sini yang datang kemari!"     

Haulies mengedikkan bahu. "Pastor suci dan kardinal tak akan muncul sekarang, dan mereka hanya akan kemari kalau kita berhasil menangkap si penyerang."     

"Aku tak ingin tinggal di sini lebih lama! Haulies! Biarkan aku pergi!" teriak Brown. "Aku tak ingin jadi umpan lagi! Aku akan meninggalkan Sturk secepatnya!"     

"Tenanglah, Tuan Brown. Tolong tenang." Haulies mencoba menenangkannya. "Penjaga Malam yang lain sedang dalam perjalanan."     

"Cepatlah!" Brown mulai berjalan mondar-mandir. Dia sedang tersiksa dengan rasa takut yang luar biasa.     

"Kau harus pergi ... kau harus pergi sekarang ... kau harus ..." Brown bergumam sendiri. Dia mulai gila.     

Sambil mondar-mandir, banyak dari bulu-bulu itu jatuh ke tanah dan menghilang.     

"Kau harus pergi ... pergi dari sini ... pergi selamanya ..." Suara di kepala Brown semakin keras. Suara itu seperti suara Brown sendiri, tapi juga terdengar seperti suara orang lain.     

Akhirnya mental Brown jatuh. Dia tiba-tiba berbalik dan bergegas menuju gerbang secepat yang dia bisa. Larinya cepat, dan kecepatannya datang dari rasa takutnya.     

Begitu Haulies menyadari Brown berlari, hatinya menciut. Dia punya firasat buruk.     

"Tunggu! Jangan pergi!" teriak Haulies.     

Saat Brown hampir sampai ke gerbang, dia tiba-tiba merasakan bahaya besar, dan cepat-cepat sadar dari ketakutan serta paniknya.     

Tapi sudah terlambat. Sebuah bola api seukuran kepala langsung mengenai tubuh bagian atas Brown!     

Di detik-detik akhir hidup Brown, di sudut matanya, dia melihat seorang pemuda menggunakan topi hitam sedang bersembunyi di samping gerbang. Pemuda itu menaikkan monocle-nya dengan tangan kiri, sementara disaat bersamaan, cahaya api masih tersisa di pergelangan tangan kirinya.     

"Dang!"     

Bersama dengan ledakan lain dari bola api, tubuh bagian atas Brown meledak, dan api yang membara itu menghentikan regenerasi tubuhnya.     

Brown terbunuh.     

...     

"!!!" Haulies terkejut saat mendengar ledakan lain.     

Haulies menyadari kalau itu adalah akhir hidup Brown. Meski dia tak bisa percaya Brown masih bisa terbunuh, padahal sudah dilindungi secara ketat oleh Penjaga Malam dan kesatria.     

Saat dia bergegas menuju gerbang museum, apa yang Haulies lihat hanya serpihan tubuh Brown, dan tubuh bagian bawah yang masih bisa dikenali.     

Hati Haulies langsung mencelos. Sedetik setelahnya, dia berteriak ke arah kesatria dan pengawal lain sambil marah, "Penyerangnya di sana! Ke arah sana!"     

Dia masih bisa mengetahui arah di mana si penyerang itu melancarkan serangannya berdasarkan posisi sisa tubuh Brown. Mata Haulies memerah.     

Sekumpulan orang bergegas ke sudut museum.     

Namun, tak ada orang di sana.     

Bahkan di sepanjang jalan tampak kosong, karena semua pejalan kaki ketakutan dengan ledakan itu.     

Si penyerang, si brengsek, juga menghapus semua jejaknya dengan sihir, yang berarti dia tak terlalu buru-buru.     

"Kejar dia!" teriak Haulies. Dia tak akan menyerah. Dia harus menangkap orang itu!     

Namun, karena kanal dan jalanan di pulau itu seperti jaring laba-laba yang membingungkan, mereka sulit melacak berdasarkan jejak tipis sihir yang ditinggalkan oleh si penyerang.     

Setelah beberapa saat, ketika Haulies memimpin orang-orang lainnya ke sisi lain pulau, bahkan jejak tipis gelombang sihir menghilang.     

Perahu-perahu berujung lancip sedang bergerak di atas air. Haulies kehilangan jejak si penyerang.     

"Bajingan!" Haulies memaki.     

Meskipun dia hanyalah level dua, karena kekuatan Berkah spesial milik Haulies, dia masih bisa mengeluarkan kekuatan yang setara dengan kesatria agung level tiga. Tapi meski begitu, si penyerang masih berhasil kabur.     

Haulies tak akan membiarkan si penyerang kabur begitu saja seperti sekarang. Dia mulai menghubungi pemimpin kelompok Penjaga Malam dan kardinal. Dia juga siap melakukan pencarian secara menyeluruh.     

...     

Di sepanjang kanal di belakang Haulies, terdapat restoran mewah, dan Lucien berada di salah satu ruangan toilet restoran itu.     

Pendar api kecil muncul di atas ujung jari Lucien, kemudian membakar baju dan topi yang tadi dia kenakan.     

Kini dia memakai kemeja berwarna merah gelap, celana panjang hitam, dan sepatu kulit.     

Itu adalah pakaian Lucien saat dia keluar dari hotelnya pagi ini. Tadi malam, dia menyembunyikan seluruh pakaiannya di toilet ini.     

Setelah aroma hangusnya hilang, Lucien langsung membuang monocle rusak dan sepatu yang dia kenakan ke kanal lewat jendela toilet.     

Kemudian dia sedikit merapikan dirinya, keluar dari toilet, dan memasuki balkon restoran.     

Di balkon, Grace sedang berjalan mondar-mandir. Melihat Lucien akhirnya kembali, dia buru-buru bertanya, "Tuan Evans, apakah Anda mendengar suara ledakan itu?"     

Grace terlalu takut, sampai-sampai dia tidak menyadari Lucien butuh lebih dari 15 menit untuk kembali dari toilet. Tentu saja, itu bukanlah hal penting meski seseorang menghabiskan waktu lebih dari 15 menit di toilet.     

"Aku juga dengar. Mengerikan." Lucien menutup pintu balkon dari belakang. "Aku coba lihat dari jendela toilet tapi tak melihat apapun. Kita bisa tanya pelayan nanti soal apa yang terjadi di sana. Jangan takut. Kita baik-baik saja, Grace."     

Grace mengangguk dan menarik napas dalam-dalam. "Anda benar, Tuan Evans. Ayo lanjutkan. Anda baru saja mengatakan kalau teknik jari saya..."     

Lucien sudah mengembalikan pikirannya pada musik, setelah dia melakukan seluruh hal itu selama 15 menit, untuk memenuhi misinya.     

"Ya, benar. Kau masih memakai cara permainan jarimu yang sebelumnya dalam keadaan tertentu," jelas Lucien. "Tapi itu bukan hal buruk. Sebagai pianis, kau harus mencari gayamu sendiri."     

Lucien jelas memiliki wibawa dalam permainan piano, dan dia juga memiliki pemahaman yang mendalam soal itu. Grace berkali-kali mengangguk sambil mendengarkan dengan saksama.     

Sekitar lebih dari setengah jam kemudian, seorang pelayan mengetuk pintunya perlahan.     

"Ya?" Grace tidak senang sesi belajarnya diganggu.     

"Nona Grace, dua pengawal kesatria dari Gereja ingin memeriksa tempat ini," jawab si pelayan dengan sopan.     

Balkon itu disewa atas nama Grace.     

"Yah, biarkan saja mereka masuk," ujar Grace. Meski dia sudah cukup terkenal di Sturk, dia masih harus menghormati Gereja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.