Singgasana Magis Arcana

Pertemuan Pertama



Pertemuan Pertama

0Saat belnya berbunyi yang menandakan kelas berakhir, Lucien langsung mengumpulkan seluruh kertas ujian dan meninggalkan kelas. Kemudian, para murid memulai diskusi panas mereka. "Kalian kenal Tuan X?" tanya Grant, si ketua kelas. Grant memiliki rambut hitam keriting dan mata hitam.     

Karena Grant bertanya, murid-murid yang lain pun mulai mengarahkan perhatian mereka pada mmmm, mencoba mendapatkan lebih banyak informasi mengenai guru mereka.     

Annick mengangguk, karena dia sangat menghormati Grant, yang merupakan seorang pekerja keras dan berbakat. "Benar. Kami kenal Tuan Evans sebelum ini."     

"Luar biasa! Dia terlihat sangat keren!" Grant sangat terkesan dengan kalimat Lucien. "Aku tak pernah bertemu guru seperti dia! Tuan X tidak seperti para guru yang keras kepala. Terkadang aku sudah mengerti apa yang diajarkan, tapi aku masih tidak dibolehkan melakukan pekerjaanku sendiri. Itu sungguh menyia-nyiakan waktuku!"     

Wajah Heidi agak berkedut, kemudian berujar serius, "Benar Tuan Evans tidak terlalu peduli apakah kita memperhatikan pelajarannya atau tidak, dan dia terus mengatakan kalau kita harus bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri serta konsekuensi kalau tidak belajar giat. Tapi ini hanya salah satu aspek dari cara mengajarnya, dan dia masih punya sisi lain..."     

Kalimat Lucien memang tidak basa-basi, dan mereka mendapatkan banyak dukungan dari para murid lain. Para murid merasa kalau Tuan X adalah orang yang sangat memahami mereka, dan dia adalah guru keren yang mungkin bisa menjadi teman baik mereka.     

"Apa sisi lainnya?" tanya Grant penasaran.     

"Kau akan lihat nanti," jawab ketiga anak itu bersamaan. Mereka semua ingat apa yang mereka alami bersama Tuan Evans sebelum ini.     

"Semoga kalian jadi tidak benci dengan Tuan Evans," ujar Heidi dengan nada penuh arti.     

Murid-murid lainnya sangat bingung, tapi juga penasaran. Kemudian, bel untuk kelas selanjutnya, Ramuan Sihir Dasar, menghentikan diskusi mereka.     

...     

Di ruang guru.     

Sambil membawa kertas ujian, begitu Lucien memasuki kantor, lima guru—tiga laki-laki dan dua perempuan—di sana tersenyum padanya, sementara tujuh orang lainnya tetap acuh. Mereka menenggelamkan diri dalam pekerjaan mereka.     

Lucien juga mengangguk pada para guru yang baik padanya, apalagi kelima guru itu juga teman Rock, yang berarti Rock sudah memberitahu mereka semua. Sementara tujuh guru lainnya, mereka sama sekali tidak akrab dengan Rock, jadi mereka memutuskan untuk mengacuhkan Lucien, seorang penyihir yang hanya punya tujuh poin arcana dan tak punya level arcana.     

"Mengajar Bahasa Kuno dan Makhluk Sihir pasti tidak sulit bagimu, Lucien." Sementara Vilnia, penyihir wanita berambut pirang, berjalan ke meja Lucien. Dia mengingatkan Lucien, "Lebih baik kau menghabiskan sebagian waktumu untuk belajar arcana dasar."     

Umur Vilnia sekitar 25 atau 26 tahun, merupakan arcanis level satu dan penyihir tingkat lingkaran kedua, spesialisasi dalam Ilusi dan Gaya. Sebagai wanita yang memiliki daya tarik orang dewasa dan kecantikan masa muda, dia sudah menikah, dan suaminya merupakan seorang viscount. Setiap pagi dia naik kereta sihir untuk pergi ke tempat kerja dari Rentato, ibu kota Holm.     

Karena Rentato dan Allyn sangat dekat, perjalanannya hanya memakan 10 menit. Sebagai penyihir dan wanita bangsawan, perjalanan pergi-pulang hanya menghabiskan uangnya sebanyak dua nar.     

"Terima kasih sudah diingatkan, Nyonya Vilnia. Akan saya ingat-ingat." Lucien tersenyum sopan.     

"Kau pemuda yang sopan dan tampan." Vilnia bercanda, "Saat kau mengunjungi Rentato, mampirlah ke rumahku."     

Di antara para guru wanita di sekolah ini, yang jumlahnya 1/3 dari seluruh staff pengajar, beberapa wanitanya cantik dan beberapa tampak menyeramkan karena beberapa eksperimen mereka gagal dan kekuatan sihir yang bisa mengikis penampilan seseorang.     

Saat Vilnia meninggalkan kantor, Lucien pertama-tama memeriksa kertas ujian untuk mengetahui level dasar kelas itu. Pohon Duri di kelas Bahasa Kuno. Kemudian dia mengeluarkan setumpuk kertas dan pena bulu, lalu mulai belajar mantra level lingkaran kedua, Mirror, yang telah sukses dia analisis sebelumnya.     

Lucien sangat tertarik dengan mantra itu karena pernah digunakan oleh penyihir murloc, yang mana bisa membantu si perapal untuk membuat bingung musuhnya. Karena pengetahuan yang ada dalam mantra ilusi tingkat dasar ini juga bisa ditemukan dalam Astrologi dan Elemen, Lucien memutuskan untuk menjadikan Mirror sebagai sihir tingkat lingkaran kedua pertamanya, juga untuk naik level berikutnya menjadi penyihir tingkat lingkaran kedua.     

...     

Douglas, di menara laboratorium sihir.     

Setelah selesai dengan kegiatan mengajar—pengantar Makhluk Sihir—di kelas lain, Burung Darah, Lucien buru-buru ke laboratorium.     

"Halo, bolehkah aku meminjam laboratorium alkemi?" Lucien bertanya dengan sopan pada penyihir yang mengurus menara.     

Arcanis level satu dan penyihir tingkat lingkaran kedua yang sudah tua, Ines, menjawab serius. "Maaf, Tuan Evans, seluruh lab sihir telah dipinjam. Silakan datang lagi lebih awal besok."     

"Semua lab?" Lucien melihat ke menara sihir tingkat lima itu. Meski menaranya tak terlalu luas, setidaknya ada 10 lab sihir di setiap lantai. Lucien tak bisa mempercayai apa yang dia dengar.     

Ines menjawab tenang, "Tuan Evans, kami harus menyediakan 20 lab untuk murid dan beberapa arcanis level dua. Untuk lab sisanya, Anda tahu, siapa cepat dia dapat."     

"Kita punya guru sebanyak itu yang harus melakukan eksperimen?" tanya Lucien. Dia merasa agak frustrasi dan terkejut.     

"Tidak semuanya melakukan eksperimen," ujar Ines. "Beberapa sedang membuat ramuan, dan beberapa sedang menguji tata cara pelaksanaan sihir pemanggilan mereka. Semua orang tahu kalau hal terbaik bekerja di sini adalah seseorang bisa menggunakan lab secara gratis."     

"Aku sangat paham, Tuan Ines." Lucien tidak mau menyerah begitu saja. "Apa aku boleh menggunakan lab yang sudah disewa duluan? Nanti aku bisa pergi saat orangnya datang."     

Membangun lab dengan peralatan lengkap di sini sangat mahal, dan Lucien tidak bisa mengeluarkan uang sebanyak itu.     

"Tidak." Ines menggeleng. "Kami punya peraturan, kecuali Anda adalah arcanis level dua yang senang dengan hak istimewa."     

Saat Lucien merasa agak frustrasi, terdengar suara pelan dari belakang. "Apa kau Lucien Evans?"     

Lucien berbalik dan melihat pria berpenampilan biasa sedang menggunakan jaket hitam. Dia tampak seperti beruang yang kuat.     

"Benar, aku Lucien Evans ... uh, X. Kau?" Lucien mengangguk.     

"Sudah kuduga." Pria tinggi itu tersenyum. "Kau tak tampak familiar. Senang bertemu denganmu, aku K."     

"Jadi kita punya nama yang sama." Lucien melihat K dengan tatapan penasaran.     

"Rock akan mengenalkanmu padaku sore ini, tapi aku tidak di kantor," ujar K agak malu. "Kau cari lab?"     

"Iya ... tapi kurasa aku terlambat." Lucien mengangguk frustrasi.     

"Bagaimana kalau berbagi ruangan denganku?" tawar K. "Apa yang akan kau lakukan hari ini?"     

"Dengan senang hati!" seru Lucien semangat. Kemudian, setelah berpikir lagi, dia bertanya sopan, "Aku mau membuat ramuan sihir hari ini. Apa aku akan mengganggu pekerjaanmu?"     

"Tidak masalah. Ada banyak lingkaran alkemi di lab. Kita bisa berbagi." K sangat murah hati.     

"Terima kasih, K. Seperti kata Rock, kau benar-benar orang baik."     

"Aku menerima banyak bantuan dari orang lain juga. Ayo." K agak malu, yang mana berkebalikan dengan sosoknya yang tinggi besar.     

Dengan seizin K, Ines mempersilakan dua orang naik ke atas tanpa mengatakan apapun.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.