Singgasana Magis Arcana

Di Villa Kebun



Di Villa Kebun

0Di Douglas, villa kebun milik Jerome.     

"Namamu juga Lucien Evans?" Seorang pemuda berambut hitam memakai kemeja putih kasual dan rompi hitam menyeringai. "K selalu bilang namanya sangat banyak yang pakai, dan aku tak percaya padanya. Sekarang aku percaya, haha."     

Pemuda itu adalah Rock, seorang penyihir tingkat lingkaran kedua. Rock ahli dalam bidang Elemen dan matematika, dan dia juga pemuda ceria yang senang bercanda.     

Sebelum Lucien membalas, Rock melanjutkan, "Aku akan mengenalkanmu pada K. Tak usah khawatir, Lucien, K sangat ramah, meski dia agak introvert. Tak seperti orang-orang dari bidang Elektromagnetik, K itu rajin, berbakat, dan selalu bersedia membantu!"     

Saat Lucien akan membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, Rock memotongnya lagi, "Aku tau kau pasti penasaran karena aku bilang beberapa orang dari bidang Elektromagnetik itu arogan. Percayalah padaku, Lucien, aku tidak bias. Di Arcana edisi terbaru, karena Tuan Brook telah membuktikan kalau cahaya adalah gelombang elektromagnetik spesial, para orang-orang dari bidang elektromagnetik mengklaim kalau kekuatan spiritual juga merupakan hal semacam gelombang, dan menertawai kami setiap hari, karena kami ngotot degan teori partikel! Yang benar saja. Masih ada beberapa eksperimen sihir yang tak bisa dijelaskan dengan gelombang, dan presiden bidang Elektromagnetik juga belum menanggapi teori Tuan Brook!"     

Lucien terhibur, dan dia buru-buru melirik ke arah Lazar. Dia pikir Lazar sudah sangat cerewet, tapi dia sekarang sadar kalau Lazar tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Rock. Dari kalimat Rock, Lucien jadi tahu beberapa tren penelitian di kongres, jadi dia mendengarkan dengan cukup sabar.     

Lazar berkomentar, "Rock selalu seperti ini. Yah, sejak edisi terbaru Arcana diterbitkan, penyihir seperti Rock yang tinggal di Allyn seumur hidupnya dan ngotot menggunakan Teori Partikel dalam menemukan kekuatan spiritual agak stress karena adanya teori baru itu. Perasaanku terhadap teori lama campur aduk, antara kasihan dan bangga disaat bersamaan."     

Jerome dan istrinya yang cantik hanya mendengarkan dan tersenyum.     

Kelihatannya penyihir elemental merupakan pendukung Teori Partikel. Tanpa adanya tekanan besar dari Gereja, mungkin ada perdebatan internal yang sengit di antara pendukung dua teori berbeda itu.     

Saat Lazar dan Rock selesai berdiskusi, Lucien dan Jerome sedang duduk di sofa dan meminum teh yang dibuat oleh Vera. Meski pria berwajah standar dan berambut coklat itu tak terlalu banyak bicara, kebahagiaan bisa dilihat dari mata Jerome. Istrinya, Vera, adalah wanita berambut merah yang cantik, mungkin umurnya sekitar 23 tahun.     

"Tuan Evans, silakan nikmati tehnya. Saya akan menyiapkan makan malam," ujar Vera sopan dan meninggalkan ruang tengah.     

Rock menghela napas pasrah. "Kok bisa kau menemukan wanita sebaik itu, Jerome? Para perempuan yang kukenal tak tahu caranya menjadi istri yang baik..."     

Jerome tersenyum malu.     

"Rock, bagaimana kemajuan proyekmu?" tanya Lazar.     

"Ditolak. Anggota dewan berpikir aku bercanda," ujar Rock cemas.     

"Proyek apa?" Lucien bertanya penasaran.     

"Proyek besar!" sahut Rock bersemangat. "Sebagai penyihir dari Tower, aku berpikir semua hal bisa diwakilkan dengan angka. Apa yang bisa kita lakukan adalah menemukan sistem angka standar untuk mewakilkan sekuat apa sebuah mantra, atau level kekuatan pertahanan penyihir. Dengan mengukur dan mencatat, di masa depan nanti, saat dua penyihir akan bertarung, angka bisa langsung menunjukkan hasilnya, dan tidak akan ada yang terluka."     

"Lalu bagaimana kalau kedua penyihir itu punya kelebihan dan kekurangan masing-masing?" Lucien bingung.     

"Benar." Rock mengambil setumpuk kertas dan mulai menulis. "Contohnya, total kekuatan spiritualku adalah ... 105, dan Lazar 96."     

"Hei, kenapa punyaku lebih rendah dari punyamu?" Lazar tidak senang dengan contoh yang diberikan oleh Rock.     

Kemudian mereka mulai bertengkar.     

"Mereka selalu begini, seperti anak-anak." Jerome tersenyum pada Lucien.     

"Itulah mengapa mereka jadi teman baik." Lucien mengangguk. Kata-kata 'kotor' yang Lazar gunakan untuk mendeskripsikan Rock juga cocok untuk mendeskripsikan dirinya sendiri.     

Sambil mengabaikan Lazar dan Rock, Lucien dan Jerome mulai berdiskusi tentang perguruan Astrologi dan Elemen, dan mereka sangat menikmati diskusi itu. Mereka menyesal mengapa tidak bertemu lebih awal.     

"Makan malam sudah siap." Vera kembali ke ruang tengah, diikuti dengan beberapa pelayan yang mendorong troli berisi makan malam.     

Setelah menaruh cangkir tehnya, Lucien berbalik dan melihat kalau Lazar dan Rock masih bermain permainan kartu mereka.     

"Magic Missile, Kekuatan serang 5." Rock meletakkan selembar kartu.     

"Flame Shield, Kekuatan pertahanan, 7." Lazar menarik selembar kartu dengan sungguh-sungguh.     

"Apa yang kalian lakukan?" tanya Jerome penasaran.     

"Aku harus mengakui kalau ini bukan proyek yang sangat baik." Rock agak merengut, kemudian dia nyengir. "Tapi bisa diubah menjadi permainan kartu yang asik! Tunggu, aku harus mencari saringan."     

Lucien tak dapat berkata-kata. Dia tak bisa memahami cara berpikir Rock.     

Tapi Rock sudah beralih ke topik lain. "Steak dan ikan bakar ... aromanya wangi. Omong-omong, Vera, kenapa kau memilih menikah dengan Jerome?"     

Jelas sekali kalau ketiga penyihir bujangan itu merasa agak iri pada pernikahan mereka yang romantis.     

Setelah makan malam, Lucien dan Rock berpamitan dengan Lazar dan berjalan bersama ke vila mereka.     

Sekolah sihir hanya menyediakan satu vila untuk guru yang sudah menikah, karena hanya ada sedikit guru di sekolah. Sebelum Lazar pergi, Rock bicara dengan teman sevila Lucien dan minta tukar tempat agar Rock bisa tinggal bersama Lucien.     

Lucien berencana untuk membuat ramuan bernama Stone untuk membantunya naik ke tingkat lingkaran kedua, tapi dia merasa sangat lelah hari ini. Jadi dia memutuskan untuk membuatnya besok, setelah selesai kerja.     

...     

Kelas Pohon Duri.     

"Kau tahu kalau kelas Bahasa Kuno hari ini akan diampu oleh Tuan Evans?" Heidi bertanya pada Layria dan Annick diam-diam.     

"Tuan K? Dia arcanis level dua dan penyihir tingkat lingkaran kedua, jadi kupikir dia hanya mengajari murid tingkat senior..."     

"Entahlah, aku dengar itu dari Grant." Heidi menggeleng.     

Mendengar diskusi para murid itu, bahkan Sprint, yang biasanya tak suka bicara dengan murid lain, berdiri agak tegak karena nama itu menyentil ingatannya.     

Belnya berbunyi, yang menandakan bahwa kelas dimulai. Seluruh murid berhenti bicara dan tampak lebih serius. Hal yang mengejutkan Layria, Heidi, dan Annick, yang masuk ke kelas mereka ternyata benar-benar guru mereka sebelum ini.     

Lucien Evans memakai mantel dan topi kupluk hari ini.     

"Sungguhan Tuan Evans!" Ketiga murid itu menyeru bersamaan, lupa dengan peraturan kelas.     

Murid lainnya di kelas sangat penasaran saat melihat pada guru baru mereka.     

Melihat Lucien, perasaan Sprint dan Katrina campur aduk. Mereka berdua merasa bersemangat tapi juga agak khawatir.     

Lucien melepas topinya dan meletakkan di atas meja. Dia mengangguk pada tiga murid itu duluan, baru mengarahkan perhatiannya pada seluruh kelas. "Aku Lucien Evans, guru Bahasa Kuno kalian, dan kalian boleh memanggilku Tuan X kalau mau. Di kelasku, kalian boleh melakukan apapun yang kalian mau, termasuk mengerjakan PR atau tidur, selama sikap kalian tidak mengganggu murid lain yang mau memperhatikan pelajaran. Tapi kalian harus bertanggung jawab atas pilihan kalian. Kalau kalian sangat berbakat sampai bisa lulus mata pelajaran ini tanpa mendengarkan ajaranku, tidak masalah. Tapi kalau tidak, lebih baik kalian jangan macam-macam dan belajarlah dengan giat. Kalau tidak, aku khawatir kalian akan mengulang pelajaran ini semester depan. Bagi murid yang belajar giat dan menyelesaikan PRnya tepat waktu akan dapat nilai tambahan."     

Itu adalah pertama kalinya pada murid bertemu dengan guru seperti Lucien, dan mereka merasa sangat bersemangat.     

Lucien lantas mengeluarkan setumpuk kertas. "Jadi, pelajaran pertama hari ini ... kita akan ujian."     

"Ujian lagi..." Annick, Layria, dan Heidi teringat pada kenangan buruk. Di mata mereka, senyum Tuan Evans seperti senyum iblis.     

Murid yang lain tak tahu harus bersikap seperti apa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.