Singgasana Magis Arcana

Menunggu



Menunggu

0Sambil duduk di ruang belajar, Dieppe kewalahan terhadap pikirannya yang tak ada hentinya dari deduksinya sendiri, seolah dia melihat mimpi buruk.     

Dia mengulang proses itu terus-menerus, mencoba mencari masalahnya. Dia tak bisa berhenti bergumam.     

"Bagaimana mungkin elektron mengambil bentuk gelombang?"     

Beberapa saat kemudian, dia mulai bertanya pada dirinya sendiri.     

"Bagaimana bisa?"     

Lalu kebingungannya mengalahkan pikiran lain, dan Dieppe mulai mempelajari implikasi penemuannya.     

"Kenapa gelombang...?"     

Salju deras turun dalam hening di luar jendela. Cahaya redup terlihat dari tempat Dieppe, namun terlihat antusias dalam cuaca seburuk sekarang. Ekspresi frustrasi di wajah Dieppe perlahan hilang dan digantikan dengan ekspresi berpikir keras.     

"... Kalau begitu, kelihatannya semua partikel mikro yang bergerak punya frekuensi masing-masing dan panjang gelombang. Kenapa..." Alis Dieppe mengernyit dalam. Mendadak, dia teringat kalimat Tuan Evans dari dua naskah yang berbeda.     

'... Mungkin kita harus berpikiran terbuka saat menghadapi argumen.'     

'... Karena bisa dipastikan kalau cahaya memiliki sifat gelombang dan partikel berdasarkan hasil eksperimen yang solid, kenapa kita tidak menggabungkan dua penemuan itu bersama? Mungkin ia bisa dijelaskan oleh dualitas Gelombang-partikel.'     

Kalimat kedua muncul dalam naskah sederhana, dan Lucien Evans mengatakannya dengan nada tak yakin. Sehingga kalimat itu tak terlalu meninggalkan kesan mendalam pada pembaca. Tapi kata konsep dualisme benar-benar menancap dalam di otak Dieppe, dan kini segalanya masuk akal jika teori dualitas diaplikasikan.     

Dia menarik napas dalam, seolah akan melepaskan monster yang bisa menghancurkan dunia. Dia akhirnya menulis di naskah, 'Jadi inilah kesimpulan yang bisa kami tarik: Dualitas Gelombang-partikel tak hanya ada dalam foton kuantum, tapi juga semua partikel mikro yang bergerak, termasuk proton, neutron, elektron, dll. mereka punya panjang gelombang sendiri berdasarkan energi yang dibawa. Dengan kata lain, mereka memiliki dualitas yang dimaksud.'     

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Dieppe kehilangan seluruh kekuatannya. Meski begitu, dia tetap berpikir. "Kalau partikel mikro itu semuanya memiliki dualitas, bagaimana dengan objek makro yang bergerak?"     

Itu adalah deduksi konyol. Dieppe melihat dirinya sendiri dan terhibur oleh pikiran gilanya.     

Kemudian dia memikirkan hal lain: Relativitas spesial bisa diaplikasikan pada alkimia baru juga. Dua sistem itu tak benar-benar terpisah satu sama lain. Sebagai gantinya, entah mengapa mereka bisa disatukan. Mungkin mereka akan saling mendukung, seperti ... alkimia baru yang berdasar pada teori relativitas?     

Dieppe perlahan menenangkan diri, dan pikiran aneh mulai menghilang. Tapi naskah di depannya tetap terlihat seperti batu besar yang membuatnya susah bernapas.     

Sambil berdiri di balik meja, Dieppe berjalan ke jendela dan membukanya. Angin dingin pun berembus padanya.     

Dieppe gemetar kedinginan karena angin tersebut, tapi otaknya tersegarkan. Kaki langit sudah terang. Dunia diselimuti oleh lapisan salju, tampak seperti dunia baru.     

"Sudah fajar..."     

Dieppe menghela napas.     

...     

Selama jam sarapan, Dieppe tidak menemui Raventi, gurunya. Setelah ragu-ragu sesaat, dia langsung pergi ke ruang belajar Raventi.     

Dieppe mengetuk pintunya.     

"Masuk." Raventi tahu yang datang adalah Dieppe dari lingkaran sihir.     

Begitu membuka pintu, Dieppe berjalan masuk perlahan. Dia melihat Raventi keluar dari labnya. Kelihatannya dia membuktikan naskah Brook semalaman.     

"Ada apa?" tanya Raventi langsung.     

Dieppe ragu. Dia merasa gugup, khawatir, takut, dan canggung. Dia tak merasa gurunya akan menerima penemuannya.     

"Katakan!" Raventi juga terbiasa berteriak.     

Dieppe menggertakkan giginya dan mengeluarkan naskahnya. "Tuan, ini naskah terbaru saya. Tolong ... lihatlah."     

Tanpa dukungan kuat dari eksperimen, naskah itu kemungkinan tak akan mengguncang dunia kognitif Raventi.     

"Aku tidak tahu kenapa kau ragu-ragu begitu," kata Raventi keras sambil mengambil naskahnya.     

Raventi tak punya banyak pengalaman dalam hal ini. Jika Fernando yang membaca naskahnya, dia pasti bertanya apakah naskahnya subversif dan seberapa subversif naskahnya.     

Dieppe membuka mulutnya tapi tak bisa mengucapkan apapun, karena dia tak tahu harus membalas seperti apa. Dia tak bisa mengakui kekhawatirannya begitu saja di depan gurunya.     

Raventi mulai membaca naskah singkatnya sambil berjalan kembali ke mejanya. Mendadak, dia berhenti dan ekspresi di wajahnya berubah cepat. Ada ekspresi syok, bingung, bahkan kemarahan.     

Dieppe diam-diam melangkah mundur. Dia bisa merasakan tekanan dahsyat yang datang dari gurunya, penyihir papan atas yang dunia kognitifnya bisa memengaruhi dunia nyata.     

Setelah cukup lama, Raventi menyingkirkan naskahnya dan mendelik pada Dieppe.     

"Kau bilang elektron adalah gelombang?!" teriak Raventi.     

Suara Raventi dalam dan rendah, seolah ada badai mengerikan yang bersembunyi di dalamnya.     

"Ya ... sebenarnya semua partikel mikro..." Dieppe tergagap.     

"Kau bilang elektron adalah gelombang?!" teriak Raventi.     

"Setelah menghitung massa, menangkap jalur, dan memastikan elektron punya momentum dan memenuhi hukum konservasi, kau mengatakan ini padaku?"     

"Lalu kenapa kau tidak bilang kalau wanita bangsawan yang sudah menikah juga seorang ibu sebenarnya adalah laki-laki?!"     

...     

Teriakan raventi membuat Dieppe terus melangkah mundur sampai punggungnya menempel pada pintu. Meski analogi Raventi terdengar benar, bukan berarti bisa mengaplikasikan dualitas tersebut pada dunia mikro.     

"Beberapa makhluk sihir spesial adalah hermafrodit. Begitu mendapatkan kekuatan darah, manusia juga bisa..." gumam Dieppe.     

Seiring mata abu-abu pekat Raventi yang menatap Dieppe, elemen di ruangan beriak liar bagaikan air.     

"Ikut aku ke lab," kata Raventi.     

Dieppe mengusap wajahnya dan mengikuti gurunya dalam diam. Raventi berhenti di depan cloud chamber yang diciptakan Lucien Evans, kemudian menyalakan siklotron.     

"Sekarang katakan padaku. Apa itu jejak indah yang ditinggalkan elektron? Kau masih ingin memberitahuku kalau elektron adalah gelombang?!" Raventi membentak Dieppe lagi.     

Dieppe tak perlu melihat cloud chamber. Dia tahu kalau jejaknya terlihat sangat jelas.     

Dieppe menarik napas dalam. Dia tidak menjawab pertanyaan gurunya, alih-alih dia mengulang, seolah sedang menenangkan dirinya, "Elektron juga menunjukkan ciri-ciri partikel. Mereka gelombang dan partikel."     

Di telinga Raventi, kalimat Dieppe benar-benar konyol. Pada dasarnya, muridnya mengatakan kalau manusia bisa punya dua jenis kelamin, badannya tinggi dan pendek, lalu hidup dan mati.     

Perang antara teori gelombang dan partikel sudah berjalan bertahun-tahun. Bagaimana mungkin kalau dua sudut pandang itu benar?     

Raventi baru akan mengeluarkan lebih banyak pertanyaan pada muridnya, tapi saat dia melihat mata merah muridnya yang lelah dan masih menunjukkan keyakinan, Raventi sedikit menenangkan diri. Saat berhubungan dengan arcana, dia hanya mengikuti alasan logis dan dukungan eksperimen.     

Raventi mengingat seluruh pengambilan alasan deduktif dalam naskah Dieppe dan melihat kalau tidak ada masalah di sana.     

"Mungkin kau mencampurkan beberapa rumus. Aku butuh waktu." Nada Raventi sedikit melembut.     

Tahu penemuan itu sulit diterima gurunya, Dieppe mengangguk frustrasi. "Silakan, Tuan."     

Sebagai seseorang yang menarik kesimpulan, bahkan Dieppe sendiri pun sulit memercayainya.     

Melihat ekspresi lelah di wajah muridnya, Raventi membawa naskah itu dan berjalan keluar. "Naskah ini tidak panjang. Aku akan mengirimnya pada Morris dan Gaston untuk melihat pendapat mereka. Aku tidak selalu benar."     

Itulah yang selalu dilakukan Raventi. Seorang murid tak boleh mengikuti gurunya secara buta.     

Dieppe memiliki harapan di dadanya lagi.     

Jadi seluruh pagi Dieppe menunggu surat kembali dengan gugup. Saat suratnya kembali di siang hari, dia buru-buru ke ruang belajar Raventi.     

"Tuan, apa yang mereka katakan??"     

Raventi menjawab datar, "Menurut Morris, deduksimu berani dan masuk akal, tapi menjauh dari kenyataan. Tak ada eksperimen dan model yang bisa mendukungnya. Tidak mungkin gelombang dan partikel bisa ada bersamaan."     

Harapan Dieppe runtuh lagi.     

"Menurut Gaston, hipotesismu berdasarkan imajinasi, karena tidak ada dukungan bukti dari eksperimen manapun."     

Karena Raventi yang mengirim naskahnya, baik Morris maupun Gaston memilih menggunakan komentar yang lebih ramah.     

Dieppe terduduk ke kursi, dan dia mulai meragukan dirinya sendiri lagi.     

"Naskahmu sulit dipercaya, bahkan bagi orang-orang yang berpegang tegung pada teori gelombang, karena argumen utama mereka selalu fokus pada gelombang elektromagnetik dan foton, bukan elektron. Mereka akan senang melihat hipotesismu, tapi mereka tak ada yang bisa memberimu dukungan yang solid."     

"Kalau celahnya cukup tipis, kita harusnya bisa melihat difraksi elektron, sama seperti gelombang."     

Dieppe masih ngotot.     

Raventi mengangguk dalam hati, mengakui semangat yang ditunjukkan Dieppe. Namun Raventi juga yakin dia tak boleh membiarkan pikiran muridnya berkeliaran seperti ini. Jadi dia berkata,     

"Aku akan mengirimkan naskahmu pada Lucien, orang yang punya hak dalam bidang ini. Kalau dia juga bilang tidak..."     

"Mungkin memang salah." Mata Dieppe bersinar dengan api harapan.     

Dia menambahkan dalam hati, '... Tapi aku tetap akan menunggu hasil eksperimen solid yang menunjukkan penolakan.'     

Hewan pengantar pesan mengirimkan naskah tersebut, dan Dieppe mulai menunggu dengan cemas lagi. Terakhir kali dia merasa segugup ini adalah ketika dia masih di tingkat murid, menunggu bakat kekuatan spiritualnya diperiksa.     

"Aku tidak butuh bantuan dari pendukung teori gelombang..." gumam Dieppe.     

"Kalau ada beberapa orang yang setuju denganku, Tuan Evans pasti salah satu dari mereka. Tapi bagaimana jika naskahnya pun terlihat konyol di matanya...?"     

"Apa yang akan dia katakan?" Dieppe terus bertanya pada dirinya sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.