Singgasana Magis Arcana

Di Aula



Di Aula

0

Karena kesuksesan dan reputasi seorang guru juga berpengaruh langsung terhadap muridnya, Lott dan Felicia ikut khawatir.

"Lakukan sesuatu?" Felicia memutar matanya, "Lakukan apa?"

Lott mengerutkan alisnya. Dia menjawab sambil berpikir, "Simfoni adalah musik yang cukup panjang dan biasanya terdiri dari empat bagian. Untuk konser, empat simfoni saja cukup. Aku tidak mengerti kenapa Pak Victor bersikeras menciptakan simfoni baru. Lagipula, dia sudah punya banyak simfoni bagus ciptaannya untuk dipilih."

"Pak Victor memang sudah memilih yang terbaik dan itu akan jadi salah satu dari empat simfoni." Athy berdiri di samping dan bergabung dengan percakapan mereka, "Tapi itu juga satu-satunya yang sudah benar-benar sempurna dari empat simfoni lainnya. Pak Victor merasa simfoni lain sama sekali tidak bisa menyaingi simfoni terbaik itu. Untuk menyajikan konser yang luar biasa, Pak Victor harus memastikan semua karya musiknya sama-sama mengesankan."

Sambil menggosok matanya, Herodotus menghela napas, "Pak Victor selalu ingin sempurna. Karya-karyanya yang terdahulu sebenarnya sangat populer di kalangan musisi dan bangsawan. Kalau tidak, dia tidak akan pernah memenuhi syarat untuk mengadakan konser di Aula Pemujaan. Jika kita coba, kita mungkin bisa membujuknya." Dia menatap Lott dan Felicia. Sedangkan Lucien, murid miskin yang saat ini hanya bisa memainkan musik yang paling mudah, secara tak sadar diabaikan oleh Herodotus.

"Bagaimana menurutmu, Pak Athy?" tanya Felicia. Dia tahu, diantara semua orang di ruang duduk, Athy lah yang paling mengenal Pak Victor. Bagaimanapun, Athy sudah merawat Pak Victor selama hampir 30 tahun.

"Sayangnya, kurasa tidak." Athy menggelengkan kepalanya perlahan. "Konser ini sangat penting bagi Victor. Dia ingin memenuhi keinginan mendiang istrinya, yaitu untuk dapat tampil sempurna di Aula Pemujaan, jadi dia tidak akan berkompromi."

"Mungkin ... kita bisa cari ramuan yang dapat membantunya tenang." Sebagai murid penyihir, ide pertama Lucien adalah mencari bantuan dari ramuan dan obat-obatan.

"Tidak. Obat-obatan itu akan memperlambat pikiran seseorang dan membuat inspirasinya terhambat." Athy membantah usul Lucien dengan tegas.

"Tapi kita tidak bisa membiarkan Pak Victor menyiksa dirinya seperti ini," ujar Lucien dengan khawatir.

"Lalu apa yang akan kau lakukan, Lucien? Membuat karya agung baru untuk Pak Victor?" ucap Herodotus dengan sindiran. Dia tak pernah suka dengan Lucien, "Jika tidak, tolong diam."

Lucien tidak tersinggung. Apa yang barusan Herodotus katakan malah memberinya ide baru. Pak Victor butuh bantuannya, Lucien tahu.

Saat mereka sedang berbicara, Victor membuka pintu dan turun ke bawah. Dia tampak sangat lelah. Para murid langsung menghentikan percakapan mereka dan menatapnya.

Rambut Victor berantakan dan matanya merah. "Aku akan pergi ke asosiasi untuk berlatih tiga simfoni pertama. Kalian semua bisa ikut denganku untuk melihat bagaimana alat-alat musik orkestra dapat saling bekerja sama."

Meski mereka semua lega melihat suasana hati Pak Victor yang kembali normal, mereka tahu masalahnya belum terpecahkan.

......

Di lantai lima asosiasi, orkestra itu memainkan simfoni yang luar biasa. Keempat bagian simfoni berbaur sempurna dan memberikan pesta akustik yang sangat indah pada penonton.

Begitu orkestra selesai memainkan bagian terakhir, mereka mendengar tepukan tangan yang dingin datang dari belakang. Semua murid menoleh ke belakang.

Itu adalah Wolf.

"Bagus, sangat bagus. Tampaknya kau sudah siap untuk konsermu, Victor." Sambil mengangkat dagunya tinggi, Wolf masih terlihat sama, sombong dan kejam. Victor menikmati saat-saat damai ketika Wolf keluar kota. Tampaknya waktu bahagia itu telah berakhir sekarang.

Wajah Victor langsung berubah suram karena dia tahu Wolf pasti sudah mendengar sesuatu. Sebelum Victor berkata apapun, Wolf berkata dengan senyum palsu di wajahnya, "Aku ingat kau meminta saranku sebelum aku pergi. Sekarang aku kembali, jadi perlihatkan hasil kerjamu."

"Kau baru saja mendengarnya." Victor hanya ingin memotong percakapan ini sesingkat mungkin.

"Bukan, maksudku ... semua empat simfoni." Wolf mengangkat alisnya.

"Wolf, kau ...!" Victor sangat kesal. Sebelum Victor mengamuk, dua pria datang ke aula. Satu orang itu adalah pria berambut putih dan memakai setelan jas hitam yang bagus dengan tongkat hitam di tangan. Sementara, pria lain berambut pirang dan tampan. Lucien bertemu dengannya beberapa minggu lalu. Pria itu Mekanzi, kakak sepupu Lott.

"Direktur." Victor dan Wolf menghentikan argumen mereka sementara, lalu mereka sedikit membungkuk pada sang pria tua.

Murid Victor juga membungkuk mengikuti guru mereka. Ini adalah kali pertama Lucien bertemu Baron Othello, direktur dari asosiasi dan juga mentor Mekanzi.

Dalam hukum di antara para bangsawan yang diciptakan pada dahulu kala, keturunan bangsawan yang berhasil membangkitkan Berkat dalam darah mereka dan jadi kesatria kerajaan lebih memenuhi syarat untuk mewarisi gelar. Tapi bukan berarti mereka yang gagal membangkitkan kekuatan darahnya tak bisa jadi penerus keluarga mereka. Sebagai musisi berbakat, Othello adalah anak tunggal keluarganya, sehingga dia berhak mewarisi gelar keluarga dan jadi Baron.

"Victor, aku dengar kau kesulitan dengan simfoni keempatmu?" Othello berjalan menuju Victor dan bertanya dengan serius.

Victor mengangguk dan matanya melihat ke bawah, "Ya, Pak ..."

Othello mengangkat sedikit tongkat di tangannya sambil berujar, "Kau harus tau betapa pentingnya konser ini. Kau mewakili asosiasi kita untuk bermain di depan Grand Duke dan tuan putri. Kau harus memastikan tak ada yang salah. Apa kau paham?"

"Tentu, Pak. Aku akan memastikan tiap karyaku akan benar-benar membuat mereka terkesan ..." jawab Victor dengan suara lirih, "... setidaknya aku mencoba yang terbaik."

Wolf mendengus keras di samping.

"Tidak, aku tak meminta semuanya sebagus itu, Victor." Othello mengangguk. "Aku meminta penampilanmu supaya berjalan aman dan lancar. Aku mengerti tekanan yang kaurasakan, tapi kau tidak bisa terus menunda seperti ini. Kau harus menyerahkan semua musikmu sesegera mungkin, agar orkestra punya cukup waktu untuk berlatih." Othello kemudian berhenti sejenak, "Baiklah ... aku akan memberimu tenggat waktu. Pada minggu terakhir sebelum konsermu, aku mau semua karyamu sudah ada di meja kantorku. Kau keberatan, Victor?"

Victor menggelengkan kepala dengan susah payah, "Tidak ... Pak." Dia tahu jika dia masih tidak bisa membuat simfoni terakhir, orang lain di asosiasi akan segera menggantikannya.

"Aku harap kau mengerti kenapa aku terus mendesakmu." Othello terlihat lebih santai sekarang. "Aku yakin kau bisa, Victor." Direktur mengangguk untuk memberi dorongan semangat dan kemudian berjalan keluar aula.

Saat ini, Mekanzi menghampiri Lott dengan senyum di wajahnya, "Sepupu kecilku sayang, aku harap kau tak mengalami kesulitan dengan tes kualifikasi musisi seperti yang gurumu alami sekarang. Aku menantikan penampilan biolamu. Meski aku akan jadi salah satu penguji dalam tiga tahun ke depan, integritasku tak akan mengizinkanku untuk menurunkan standar."

"Aku tak memintamu menurunkan standarmu," jawab Lott sambil menggertakkan giginya.

Kemudian Mekanzi menatap Lucien, "Kau tahu? Sebagai orang miskin, kau begitu beruntung memiliki kesempatan jadi seorang musisi. Sungguh tidak bijaksana kalau kau membuang waktumu bermain wanita dibanding melatih keterampilanmu."

Lucien sangat bingung saat mendengar komentar Mekanzi, tapi dia kemudian sadar kalau Mekanzi bicara soal Elena. Akhir-akhir ini, Elena menghabiskan sebagian waktunya dengan Lucien untuk belajar tentang musik.

Kemudian, Mekanzi pergi dan menyusul Othello dengan senyum manis di wajahnya. Di keluarga Griffith, sebagai orang kedua yang akan mewarisi gelar, Mekanzi selalu berusaha keras menyenangkan tuan rumah.

"Ya ampun ... Victor, kau masih memeras akal untuk karya agungmu yang terakhir?" Sambil berpura-pura tak tahu mengenai fakta itu, ada senyum kemenangan di wajah Wolf. "Selamat menikmati, Victor. Nikmati penampilan pertamamu di Aula Pemujaan, karena mungkin itu akan jadi yang terakhir."

Sebelum Wolf pergi, dia melirik Lucien, "Apa ini murid miskin berbakatmu, Victor? Yah ... semoga dia sukses dengan tes kualifikasi di masa depan. Bagaimanapun, reputasimu berpengaruh langsung dengannya. Pemuda yang malang!"

Wolf merasa terhibur dengan kata-katanya sendiri. Sambil tertawa, dia keluar aula. Sementara itu, Lucien menyadari wajah Victor memerah dan urat biru di tangannya muncul.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.