Dunia Penyihir

Ramsoda (Bagian 2)



Ramsoda (Bagian 2)

0Dalam 10 hari, kapal itu berlabuh di sebuah dermaga. Yuri, Velvet, dan beberapa calon penyihir lainnya turun disana, mengikuti seorang pria berjubah yang menunggu mereka seperti sebelumnya. Sekarang, hanya ada Angele, pria berjubah hitam, dan 2 orang calon penyihir yang tersisa di kapal itu. Dua hari berjalan, hingga akhirnya kapal itu sampai di pelabuhan terakhir, Aikenhain. Aikenhain memiliki arti 'tempat matahari terbit'.     

"Ini adalah akhir perjalanan kita. Sekarang, turunlah." Pria berjubah hitam itu menekan tombol di sisi kapal, dan sebuah tangga bergerak turun ke dermaga untuk ketiga calon penyihir itu.     

"Di sini, ada dua organisasi penyihir, yaitu Perguruan Ramsoda dan Pondok Liliado. Ikutilah petunjuk jalan untuk kesana. Jangan khawatir, lokasinya tidak terlalu jauh, dan jalan di sini aman." Pria berjubah itu meninggalkan mereka di pantai, dan segera berlayar pergi.     

Saat ini, hari masih sangat pagi, dan tidak ada orang selain mereka bertiga di pantai itu. Cahaya matahari yang bersinar menerangi pasir pantai membuat pantai itu berpendar keemasan. Angele melihat dua calon penyihir lainnya. Tak ada yang berbicara karena mereka tidak saling mengenal. Angele melihat sebuah jalan setapak yang mungkin dibuat oleh orang yang melewatinya. Tidak jauh dari mereka, ada penanda jalan di hutan tropis. Di sana, ada seorang pria berjubah putih yang sedang menunggu mereka.     

Setengah jam kemudian...     

Angele berjalan bersama kedua calon penyihir lainnya, mengikuti pria berjubah putih itu ke sebuah istana besar yang tak terawat. Tembok istana itu terlihat kotor; tembok itu berwarna abu-abu kelam, dan seluruh permukaannya dihiasi oleh sulur-sulur hijau. Jalan ke arah istana itu ditutupi oleh akar-akar pohon berwarna kehitaman. Terdengar suara-suara aneh dari langit yang menggema di sekitar tempat itu.     

"Kita sudah sampai di Perguruan Ramsoda. Kalian berdua, ikuti aku," kata pria berjubah itu dengan santai. Angele menatap ketiga orang itu pergi sembari berdiri di atas jembatan batu, yang berlumut dan retak, di dekat istana. Kemudian, ia berjalan maju dan mengambil cincin sihirnya dengan hati-hati. Ia akhirnya meletakkan cincin itu di atas mimbar batu kecil di sebelah kiri pintu masuk.     

Tiba-tiba, seekor burung gagak hitam menukik turun dan berdiri di atas mimbar itu sembari menatap cincin Angele. Setelah beberapa saat, burung itu menyentuh cincin tersebut dengan cakarnya.     

"Lelaki muda ini adalah pendatang baru. Generasi baru." oceh gagak itu dengan suara yang sangat dalam, seakan ada yang mencekik lehernya.     

"Namaku Moroco, penjaga gerbang di sini. Sesuai aturan yang berlaku, kau bisa masuk jika memiliki benda sihir dari tempat ini. Kau adalah orang pertama yang datang ke sini beberapa tahun belakangan ini." Gagak itu menoleh ke Angele. Ia berkata dalam bahasa Anmag.     

"Senang bertemu dengan Anda, Master Moroco." Angele membungkuk hormat dan mengembalikan cincin itu ke kalungnya.     

"Sekarang, saya akan masuk," lanjut Angele sembari mendekati pintu masuk. Terdengar suara kepakan sayap burung dari belakang.     

Istana tua itu terlihat seperti tempat yang dipahat dari pasir, dengan dinding dan lorong yang berlubang-lubang kecil karena telah terkikis angin seiring berjalannya waktu. Angele pun merasa seperti sedang masuk ke kota tua di Mesir karena seluruh bangunan ini berwarna kuning. Angin bertiup menerbangkan debu ke udara, bersama dengan dedaunan kering yang akhirnya menempel ke sepatu bot hitam Angele yang tinggi.     

"Kau anak baru di sini?" Terdengar suara aneh dari sisi kiri Angele. Di sebelahnya, seorang pria tinggi berjubah kelabu yang berdiri di sudut ruangan. Ia melambaikan tangan kepada Angele. Pria berjubah itu berbahu lebar, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya seperti orang barbar dari negeri dongeng, sehingga Angele berpikir bahwa ia bukan seorang penyihir.     

"Master Moroco memberitahu kami mengenai kedatanganmu. Dia bilang kau memiliki trofi lama sekolah kami?" tanya pria itu. Angele pun mengangguk dan cepat-cepat berjalan ke arahnya. Lalu, ia mengambil cincin retak itu dari kalungnya, dan memberikannya kepada pria itu.     

"Ikuti aku, akan kuantarkan kau ke sekolah. Di tahun ini, ada 20 murid baru, termasuk kau. Tetapi, hanya kau yang dari luar negeri," kata pria itu.     

"Apa? Saya pikir sekolahnya ada di bangunan ini?" Angele melihat sekelilingnya, dan akhirnya ia sadar bahwa hanya ada mereka berdua di sana.     

"Bagaimana mungkin sekolah kami dibangun di atas bangunan yang telah hancur? Walaupun organisasi kita telah melemah, bukan berarti kita tidak punya tempat yang layak. Namaku Aluta, panggil saja Alu. Aku bertugas mengarahkan murid baru ke sekolah," kata Alu.     

"Nama saya Angele, panggil saja begitu," jawab Angele dengan sopan.     

"Aku hanya seorang calon penyihir, sama sepertimu, dan aku masih 14 tahun." kata Alu. Ia tidak suka cara Angele berbicara padanya.     

14 tahun...     

Angele terdiam, menatap Alu yang terlihat sedikit marah. Alu memiliki tinggi sekitar 2 meter dan berbahu lebar. Tubuhnya sepertinya berukuran dua kali tubuh Angele, dan berat badannya sekitar 150 kilogram. Tapak kakinya sangat berat, dan membuat lubang di gundukan pasir saat ia menginjakkan kakinya.     

"Baiklah... Alu, kan? Kupanggil begitu saja, ya?" tanya Angele.     

"Iya." Alu menjawab dengan dingin. Ekspresinya masih kecewa entah mengapa.     

Mereka keluar dari gedung itu, dan berjalan hingga sampai ke sebuah rumah kecil. Di bagian tengah rumah itu, ada terowongan yang menghubungkan dengan bawah tanah. Pintu rumah itu terbuat dari batu hitam, berhiaskan dua permata kuning seukuran kepalan tangan manusia. Alu berjalan mendekati pintu tersebut dan melakukan gerakan aneh.     

"Aloda Sinba," bisiknya. Perlahan, pintu itu terbuka, memperlihatkan sebuah tangga ke bawah tanah. Lorong bawah tanah itu diterangi oleh obor di kedua sisinya. Alu segera masuk, diikuti oleh Angele.     

Pintu itu langsung tertutup setelah mereka berdua masuk. Lorong itu terlihat sangat tua, seakan tidak pernah berubah sejak dibangun. Seluruh bagian lorong itu terbuat dari bata berwarna kelabu yang retak dan pecah di beberapa tempat. Lantainya dibangun sedemikian rupa hingga tak ada bagian yang tidak rata. Cahaya kekuningan obor menerangi lorong, dan bau aneh seperti jamur bercampur dengan zaitun manis tercium dari lantai.     

"Kau beruntung karena terpilih untuk belajar di bawah Master yang sama denganku. Itulah alasan aku menjemputmu. Kita akan menjadi 'teman sekelas'." kata Alu sembari berjalan.     

"Iya? Terpilih? Bagaimana mereka melakukan itu?" tanya Angele.     

"Iya, mereka memberikan daftar nama pendatang baru kepada para Master, dan mengacak nama-nama tersebut supaya adil," Alu menjelaskan.     

"Sekarang, kita akan bertemu guru barumu. Master akan menyuruhmu untuk memilih satu kelas yang kau suka. Tetapi, ini tidak gratis. Kau harus membayar, jadi pikirkan baik-baik sebelum memilih. Jika kau mau memilih kelasmu sendiri, kau harus membayar dengan batu sihir atau menukarkan poin yang kau dapat setelah menyelesaikan misi," lanjut Alu.     

"Terima kasih." Angele masih bingung, namun ia mengerti bahwa Alu hanya ingin menolongnya. Mereka pun berhenti berbincang-bincang. Mereka terus berjalan melewati lorong dan berbelok kiri, lalu melewati jalan bercabang dua. Akhirnya, mereka sampai di lorong dengan beberapa ruangan di kedua sisinya. Di ujung lorong yang gelap itu, terdapat pintu besar yang masih tertutup.     

Alu mengantar Angele ke pintu besar itu dan mengetuk pelan.     

"Master, anak baru di kelas Anda telah saya antar ke sini," katanya.     

"Masuklah." Terdengar suara bergema dari dalam, dan pintu itu pun terbuka. Alu mendorong pintu itu dan mengajak Angele masuk. Bagian dalam ruangan itu terlihat seperti ruang belajar biasa. Seorang pria berjubah hitam berdiri di antara dua rak besar yang dipenuhi oleh buku. Pria itu sedang membaca buku yang tebal.     

"Anak baru di kelasku? Maksudmu anak yang dimasukkan ke kelasku?" Angele terkejut karena suara 'pria' itu terdengar seperti suara seorang gadis muda. Ia tidak menyangka jika 'pria' itu adalah seorang gadis.     

"Iya," jawab Alu. Tiba-tiba, terdengar suara ledakan dari lampu lilin di meja.     

"Bawa dia ke Freydoni saja, waktuku di sini sudah habis." jawab wanita itu.     

"Baiklah," Alu mengangguk. Angele, yang masih dalam keadaan bingung, berjalan keluar mengikuti Alu sembari melirik gadis berjubah hitam itu. Gadis itu berbalik menghadap mereka dengan kepala terangkat, sehingga Angele dapat melihat wajahnya dengan jelas.     

'Gadis' itu ternyata adalah seorang nenek tua yang sedang tersenyum. Angele terkejut dan takut karena wanita itu hanya mempunyai satu mata di sebelah kanan. Rongga bola mata kirinya justru ditempeli jam berwarna perunggu. Terdapat luka yang panjang dan membentang di wajahnya, sehingga dia terlihat seperti boneka lama yang telah dijahit. Tanpa jahitan di wajahnya, mungkin saja wanita tua itu sudah hancur berkeping-keping.     

Angele berusaha keras untuk menenangkan diri, dan berhenti melihat wanita tua itu.     

'Aku akan belajar bersama penyihir menakutkan seperti itu? Wajahnya sangat buruk rupa dan mengerikan.' pikir Angele. Walaupun telah membunuh cukup banyak orang, tapi ia tetap takut setelah melihat wajah mengerikan itu.     

"Menakutkan, ya? Master Liliana terluka parah saat melakukan eksperimen sihir, jadi sekarang wajahnya menjadi seperti itu." Alu menjelaskan setelah melihat ekspresi Angele.     

"Sebenarnya, Master Liliana adalah guru yang ramah dan paling sabar di antara guru lainnya. Walaupun dia berusaha menjelaskan semua materinya dengan baik, tidak banyak murid yang mau diajari olehnya." lanjut Alu dengan nada yang sedikit sedih.     

"Benarkah?" Angele berusaha menyunggingkan senyum.     

Master Liliana terlihat seperti boneka rusak yang terus menerus dijahit, jadi orang-orang akan berusaha menjauhi wanita tua itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.