Dunia Penyihir

Kembali (Bagian 2)



Kembali (Bagian 2)

0"Allen, apa kau membawa tamu kita ke sini?" tanya kucing putih itu sambil berbalik. Suaranya terdengar berat dan serak.     

"Iya, Tetua!" teriak Allen. "Dia membawa benda yang kita cari!"     

"Untuk apa kau berteriak-teriak...?" Angele terdiam. Ia tidak menyangka jika tupai sekecil itu memiliki suara sekeras itu.     

"Yah, pendengaran Tetua kurang baik…" Allen mengangkat bahunya.     

"Maksudmu kacang asin? Itu kesukaanku." Sang tetua mengangguk.     

"Berapa kacang asin yang kau bawa?" lanjutnya.     

Angele berpikir selama beberapa saat. "Kira-kira satu kilogram."     

"Apa? Kau tidak menjual kacang itu?" tanya sang Tetua.     

"Satu kilogram!" Allen berlari ke samping kucing itu dan berteriak di telinganya.     

"Satu kilogram?" Kucing itu mengangguk. "Sebenarnya, aku ingin lebih banyak, tapi aku akan tetap mengambil semuanya. Yah, sudah lama aku tidak makan kacang asin. Waktu aku masih tinggal di Santiago, ada kota kecil bernama Kodo, yang terletak di sisi utara Liliado. Orang-orang sana menjual kacang asin yang sangat enak… Baiklah, Allen, biarkan ia memilih benda yang ia inginkan."     

"Baiklah."     

"Maaf, sebenarnya aku ada pertanyaan. Apakah kau tahu Kota Moss?" tanya Angele. "Ada apa? Tidak ada yang tinggal di sana?"     

Sang Tetua tidak mendengar pertanyaan itu, namun Allen mampu mendengarnya. "Kota Moss? Tempat itu sudah ditinggalkan sepuluh tahun lalu, kenapa?" tanya Allen dengan bingung.     

"Apa? Sepuluh tahun?" tanyanya dengan terkejut. "Tidak apa-apa, aku hanya… bertanya."     

"Baiklah. Sepuluh tahun lalu, salah satu orang yang berhasil keluar dari Moon Gin Garden kehilangan kewarasannya dan membunuh semua penduduk kota itu. Setelah kejadian itu, tidak ada yang berani mencoba membangun kembali kota tersebut. Sudah kubilang, Moon Gin Garden itu sangat berbahaya. 9 dari 10 orang yang masuk kesana akan mati. Jujur saja, aku pun terkejut melihatmu berhasil keluar hidup-hidup." kata Allen. "Baiklah, ayo kita ambil benda yang kau mau."     

'Tapi, informasi yang kudapat tidak mengatakan apa pun tentang itu…' Angele yakin bahwa makanan yang ia makan, dan pemilik hotel itu bukanlah ilusi semata. Setelah berpikir selama beberapa saat, akhirnya ia sadar bahwa informasi itu berasal dari buku-buku lama.     

Satu jam kemudian, Angele meninggalkan hutan dengan membawa sebutir telur berwarna abu-abu, sementara kerumunan tupai mengambil camilan dari kereta kudanya.     

Setelah melompat ke keretanya, Allen muncul entah dari mana dan melompat ke atas punggung salah satu kuda. "Tunggu, Angele. Sang Tetua memiliki pesan untukmu. Kutukan Moon Gin Garden itu belum sirna, jadi jangan pergi sendirian." kata Allen dengan nada serius.     

"Apa? Jangan pergi sendirian?" Angele ragu. Entah kenapa, bulu kuduknya berdiri lagi. Setelah semua kejadian itu, ia mengira bahwa urusannya dengan taman itu telah selesai.     

"Katakan terima kasih pada sang Tetua untuk informasinya." Angele tersenyum kecut. "Aku biasanya sangat beruntung, jadi sepertinya aku akan baik-baik saja."     

"Kuharap begitu." Allen melompat turun dari kuda dan berjalan kembali ke dalam hutan.     

Angele menarik tali kekang kudanya, sehingga keretanya mulai berjalan.     

"Berhati-hatilah, Angele!" teriak Allen dari belakang. "Kuharap kita bisa bertemu lagi."     

Mendengar perkataan tupai itu, Angele tersenyum     

Angele berjalan dalam kecepatan tinggi selama lima hari, dan akhirnya ia keluar dari Pegunungan Moss     

Sesampainya di suatu kota kecil, ia segera menyewa satu kamar hotel.     

"Kue plum minyak dan susu pesanan Anda, nikmatilah."     

Angele mengangguk sambil menatap anak pemilik hotel itu meletakkan sepiring kue dan segelas susu. Setelah memeriksa dan memastikan bahwa pesanannya sudah benar, wanita itu pergi.     

Ia mengambil sepotong kue berwarna cokelat dan menggigitnya. Kue itu telah dipotong menjadi bagian-bagian kecil, dan rasa manis dan asam bercampur menjadi satu. Ia memakan beberapa potong dan menghabiskan segelas penuh susu manis. Ia meletakkan beberapa koin perak di meja dan kembali masuk ke kamarnya di lantai dua.     

Ia menyewa kamar di ujung lorong agar tidak ada suara-suara yang mengganggu meditasi dan proses pengawetan bahan-bahan yang diperolehnya sebelum semua tanaman itu mengering.     

Setelah masuk ke kamar, Angele mengunci pintu, menutup jendela, dan menyalakan lampu minyak. Untuk memastikan bahwa tidak ada yang mengintipnya, ia melepaskan sedikit partikel energi untuk memberitahunya saat ada orang di dekat kamarnya.     

Pertama-tama, ia mengambil capit kuning besar yang ia dapatkan setelah pertarungan dengan Claw Warrior. Berat capit itu sekitar lima kilogram, dan permukaannya berminyak, sehingga capit itu terlihat berpendar di bawah cahaya lampu ruangan. Untuk mengawetkan capit itu, Angele mengoleskan minyak yang diperolehnya dari perguruannya.     

Setelah itu, ia mengambil sebuah botol hitam dari kantongnya dan membuka sumbat botol itu. Ia menuangkan bubuk putih ke atas capit dan menggosoknya dengan teliti.     

Waktu terus berjalan, dan tanpa Angele sadari, ternyata hari sudah gelap.     

Angele mengusap matanya. Ia berdiri dan meregangkan tubuhnya. Tiba-tiba, sesuatu yang aneh menarik perhatiannya.     

Di pantulan kaca jendela, terlihat seorang gadis kecil berpakaian terusan merah berdiri di belakangnya.     

"Kumohon, tolong aku!" rengek gadis itu. "Aku baru saja melihat mereka lagi, namun tidak ada yang percaya padaku."     

Angele segera berbalik. Ia mengenali gadis itu. Gadis kecil itu adalah cucu Messi.     

Tatapannya kosong, kata-katanya tidak beraturan. Terlebih lagi, ia terus menangis. Terusan merah yang dikenakannya nyaris hancur terkoyak-koyak.     

"Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Angele.     

Ruangan itu terkunci, tapi gadis itu tiba-tiba muncul di tengah ruangan. Angele tak mengerti apa yang gadis itu katakan.     

"Kumohon!" Gadis kecil itu menatap Angele. Matanya yang tidak berkedip membuat Angele sedikit tidak nyaman.     

Angele menarik nafas dalam-dalam. "Apa maksudmu? Kau pergi ke mana pada hari itu?"     

"Aku…" Gadis itu ragu. Angele yakin bahwa gadis itu mengenakan terusan merah yang sama dengan yang dikenakan cucu Messi saat masuk ke Moon Gin Manor, dan gadis itu terluka parah.     

Cahaya lampu minyak menghilang selama beberapa saat. Angele menoleh untuk memeriksa keadaan lampu itu, namun saat ia berbalik, gadis itu telah menghilang.     

Dinginnya rasa takut menusuk tulang punggungnya.     

"Aku harus pergi sekarang. Aku tidak bisa tinggal di sini terus!" Angele mulai berkemas.     

Ia segera meninggalkan kota itu dan melanjutkan perjalanannya kembali. Setelah kejadian di hotel malam itu, gadis kecil itu tidak muncul lagi.     

Namun, gadis itu kembali muncul beberapa hari kemudian. Saat itu, Angele sedang duduk sendirian di tepi api unggun, hanya ditemani bayang-bayang pepohonan dan cahaya bulan.     

Gadis kecil itu berjalan keluar dari kegelapan malam. Ketakutan dan kegelisahan menghiasi wajahnya.     

"Tolong aku, kumohon…" erang gadis itu. "Aku benar-benar tidak mau… aku tidak mau…"     

Angele berdiri dan mundur selangkah. Ia berusaha menjauhi gadis itu.     

"Kau mau apa?" teriak Angele.     

"Tolonglah aku! Kumohon, tolong aku!" gadis kecil itu menangis dan mendekati Angele.     

"Waktu itu, kau tidak menjawab pertanyaanku! Sekarang, jawablah!" Angele sadar bahwa kemungkinan besar yang ia hadapi saat ini bukanlah manusia yang masih hidup. Gadis itu terlihat aneh, seakan tidak memiliki jiwa. Ia mampu menemukan keberadaan Angele dengan mudah.     

"Pertanyaan? Pertanyaan apa?" Gadis itu terhenti sejenak.     

"Hari itu kau ada di mana? Di taman?" tanya Angele dengan suara serak.     

"Taman? Taman apa?"     

Angin bertiup dan memudarkan cahaya api. Saat penglihatan Angele memudar, gadis itu pun kembali menghilang.     

"Sialan!" umpat remaja itu seraya mengusap keringat dingin dari dahinya.     

Sepuluh hari kemudian, Angele sudah semakin dekat. Ia hanya membutuhkan satu hari lagi untuk sampai ke Kota Lennon.     

Ia memutuskan untuk menghabiskan malam dengan menginap di satu kota kecil, lalu ia melanjutkan perjalanan dan langsung kembali ke kota. Angele berpikir bahwa bayang-bayang gadis kecil itu tidak akan muncul jika ia terus berjalan. Walaupun ia tidak istirahat selama beberapa hari ini, ia merasa lega. Saat gadis itu muncul, Zero sama sekali tidak memperingatkan Angele maupun menyimpan informasi, sehingga ia tidak tahu makhluk apa gadis itu sebenarnya.     

Ditambah lagi, sepertinya waktu gadis itu berhenti di detik-detik terakhirnya di taman. Gadis itu terus memohon pertolongan Angele, namun ia hanya keluar saat Angele sedang sendirian dalam gelapnya malam.     

"Mungkin aku sudah terlalu jauh dari taman, dan kekuatan aneh taman itu tidak lagi dapat mencapaiku? Ah, aku tidak peduli. Aku harus istirahat."     

Angele menggosok pelipisnya. Saat ini, seluruh tubuhnya sangat kelelahan. Ia berdiri dan menuangkan segelas air.     

"Kumohon, tolong aku!" Suara gadis itu tiba-tiba terdengar dari belakang     

Angele terhenyak dan diam mematung. Suara itu sangat dekat, seakan-akan gadis itu sedang berteriak langsung di telinganya.     

Perlahan-lahan, ia berbalik dan melihat gadis itu berdiri di sudut ruangan. Tidak ada jendela di ruangan ini. Pintu yang terkunci itu adalah satu-satunya akses masuk.     

"Kumohon, tolong aku!" gadis itu berteriak lagi sambil menatap Angele tanpa berkedip.     

"Bangs*t kau!" bentak Angele seraya mengangkat tangannya dan melemparkan sebilah pisau ke arah gadis itu.     

TAP!     

Pisau itu menancap ke dinding. Gadis itu lagi-lagi menghilang, dan kamar itu kembali menjadi sunyi.     

Angele menghapus keringat di wajahnya dengan kedua tangannya.     

"Apa-apaan ini!" Remaja itu semakin takut, ekspresi wajahnya mengerikan.     

"Sialan! Apa-apaan ini?! Kalau semua ini adalah akibat kutukan, pasti akan terjadi sesuatu padaku, jadi aku bisa mencari penawarnya."     

Angele berjalan-jalan mengelilingi kamarnya dan melihat cahaya terang muncul dari tas perbekalannya. Untuk beberapa saat, ia ragu, namun keraguan itu segera berubah menjadi kegembiraan.     

Ia cepat-cepat berlari mendekati tas itu dan membukanya. Di dalam tas itu, terdapat jubah abu-abu dari Perguruan Ramsoda. Simbol salib di bagian punggung jubah tersebut bersinar terang.     

"Master! Master memanggilku! Akhirnya aku bisa kembali!" Inilah pertama kalinya ia tidak sabar melihat wajah penyihir tua yang 'imut' itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.