Dunia Penyihir

Jejak Pergerakan Musuh (Bagian 1)



Jejak Pergerakan Musuh (Bagian 1)

0Setelah Henn menyerah, mata Angele perlahan-lahan kembali ke warna semula.     

Ia menatap Stigma dan mengusap dahinya. Ia merasa pusing, seolah kepalanya ditusuk seribu jarum.     

"Sialan, bajing*n tua itu nyaris mengambil alih tubuhku…" gerutu Angele. "Mari kita pergi. Setelah ini, kita harus cepat-cepat meningkatkan kekuatan."     

Stigma menatap Angele dengan tatapan aneh. "Master Henn sangat cantik dan menawan… Dasar bajing*n beruntung…"     

"Kau pikir aku akan senang jika kau memujinya…?" Angele terdiam. "Ayolah, kita harus segera pergi." Angele mengambil gulungannya dan mencari lokasinya.     

"Sampai ketemu nanti."     

"Iya, sampai ketemu."     

Mereka berpisah dan berjalan menuju dua arah yang berbeda.     

Angele berbelok ke kiri dan segera berlari kencang.     

Ia meninggalkan Tebing Neraka dan menyusuri jalanan di antara rerumputan kuning. Rumput-rumput setinggi lebih dari satu meter itu bergerak-gerak dan menari mengikuti arah angin.     

Setelah Angele berjalan selama setengah jam, tekstur jalanan berubah. Lumpur di kakinya berubah menjadi becek dan lembut. Angele pun berhenti dan melihat sekelilingnya.     

'Ini dia… Ini adalah tempat yang ditandai di peta…' Ia mengambil gulungan pemberian Stigma, membukanya, dan menjatuhkan gulungan itu ke atas tanah.     

Wush!     

Cahaya merah bersinar terang di atas gulungan itu, hingga gulungan itu terbakar habis dan menyisakan abu yang tercerai berai tertiup angin.     

Angele mendongak dan melihat sebuah tenda putih besar di atas tebing kecil. Beberapa penyihir berjubah hijau sibuk memasak daging di atas api unggun.     

Ia berjalan mendekati tenda itu. Dalam satu menit saja, ia sampai di depan tenda tersebut.     

Begitu menyadari keberadaan Angele, para penyihir berjubah hijau itu segera berdiri.     

"Siapa kau?!" teriak seorang pria tua. Rambut putihnya tampak berantakan. "Kami adalah anggota Keluarga Unochi! Menjauhlah dari tebing ini!"     

"Keluarga Unochi, ya? Bagus, inilah tempatnya." Angele menganalisa para penyihir itu dengan bantuan Zero.     

Pria tua itu adalah seorang penyihir tingkat 2. Penyihir di sebelah kirinya adalah penyihir tingkat 1, sementara yang lainnya hanya calon penyihir.     

"Apa maksudmu?" Ekspresi pria tua itu segera berubah.     

"Tidak apa-apa. Ha." Angele tersenyum dan mengangkat tangan kanannya, menciptakan sebuah bola lahar sebesar kepala.     

Ia menunjuk ke arah keempat penyihir itu. Bola lahar di tangannya terbang mengejar mereka dengan secepat kilat, hingga tampak seperti garis merah di langit.     

"Ayo!"     

"Tangkis bola itu!"     

Mereka pun berteriak ketakutan. Salah satu calon penyihir menciptakan sebuah perisai raksasa untuk menangkis bola lahar tersebut.     

Duar!     

Terdengar suara ledakan. Cahaya merah menerangi tempat itu, diikuti oleh hujan lahar panas yang mengubah tebing itu menjadi lautan api.     

Akibat ledakan tersebut, dua sosok berjubah hijau terlempar jauh. Tubuh mereka menjadi kehitaman. Sepertinya, mereka telah mati.     

Salah satu penyihir cepat-cepat berguling keluar dari daerah hujan lahar itu, namun jubahnya terbakar, sehingga ia berusaha untuk memadamkan api pada jubah itu dengan partikel air. Sementara itu, penyihir kedua menangkis hujan lahar tersebut dengan sebuah medan pelindung transparan.     

"Sialan! Terimalah balasan kami!" teriak si penyihir tingkat 2 dengan geramnya. Ia mengambil sebuah busur silang kecil dan menembakkan sebilah panah ke arah Angele.     

Shing!     

Panah itu menghilang, menjadi kilat hitam, dan baru kembali muncul satu meter di depan Angele.     

Tanpa membuang waktu, Angele menciptakan sebuah perisai perak di depannya.     

Klang!     

Panah itu masuk ke dalam perisai-nya, namun tidak menembus logam perak yang tebal itu.     

Dalam beberapa detik, panah tersebut meleleh menjadi bola logam hitam, sebelum akhirnya berubah kembali menjadi panah yang melesat ke arah penyihir itu.     

Angele mengangkat tangannya. Ia hendak menciptakan bola lahar lagi, namun tanda not musik di dadanya sedikit bergetar.     

Tadi, Henn berusaha mengambil alih tubuhnya, namun rencananya gagal. Angele hampir saja menyerap tenaga Henn. Ia tidak mengaktifkan signet darah kuno itu, namun signet itu melawan sihir pemikat Henn dengan sendirinya.     

Signet itu terasa hangat dan berdenyut-denyut, seolah mengingatkan bahwa signet itu telah menyelamatkan hidupnya. Henn tidak pernah berubah. Angele harus mencari cara untuk menangkal Henn.     

'Yah, mari kita coba kekuatan benda ini.' Angele menyentuh bagian tengah dadanya.     

Ting!     

Terdengar suara seperti lonceng yang diketuk satu kali. Suaranya terdengar jernih dan indah.     

Angele melihat si pria tua itu akan menggunakan sihir lain setelah menghindar dari panahnya sendiri. Namun, pria itu tiba-tiba berhenti bergerak.     

Angele sedikit terkejut.     

Signet-nya hanya aktif sebagian, namun kekuatannya sudah sangat kuat.     

Ia segera mendekati penyihir tua itu dan berjalan mengelilinginya.     

Pelindung putih di sekitar pria tua itu telah menghilang. Wajahnya seperti membeku karena marah. Ia memasukkan tangan kanannya ke dalam kantongnya. Sepertinya, ia akan mengambil sesuatu.     

Ia memeriksa keadaan pria tua itu dengan bantuan chip-nya. Detak jantung pria itu melambat, namun ia masih hidup, dan semua tanda-tanda vital terlihat normal.     

Angele mengernyitkan alisnya dan mencoba meletakkan tangan kirinya di atas kantong penyihir itu.     

Wush!     

Tiba-tiba, api melalap tubuh pria tua itu dan menyelimuti jubah hijaunya dengan kobaran api merah.     

Tubuh penyihir tua itu meleleh seperti lilin sebelum Angele sempat menyentuh kantong pria tua itu. Dalam beberapa detik, pria tua itu menjadi setumpuk abu putih, termasuk pakaian dan barang-barang bawaannya.     

Angele tidak mengerti apa yang terjadi. Ia melihat orang-orang lain yang ada di sana.     

Ia mendekati kedua calon penyihir dan si penyihir tingkat 1, yang baru saja memadamkan api pada jubahnya sebelum terkena serangan signet Angele.     

Dua di antaranya dilalap api. Dalam beberapa detik, api merah itu telah mengubah si calon penyihir tingkat 3 dan penyihir tingkat 1 menjadi abu putih juga.     

Calon penyihir terakhir benar-benar terluka parah terkena hujan lahar, namun ia masih hidup.     

'Ha? Dia berhasil bertahan hidup? Jadi, gelombang suara dari signet ini tidak berhasil membunuhnya.' Angele berjalan mendekati calon penyihir itu. Ia berjongkok dan memeriksa keadaan ototnya.     

Otot calon penyihir itu terasa keras seperti batu, namun ia terus bertahan dan tidak menyerah saat melihat ilusi-ilusi tersebut.     

'Jadi, serangan ini berhubungan dengan ketahanan mental…' Titik-titik biru bersinar di depan mata Angele.     

Dalam satu menit, titik-titik cahaya biru itu menghilang.     

'Kekuatan signet darah: Gelombang Suara Ilusi, serangan yang bisa ditangkis dengan ketahanan mental. Jika ketahanan mental mereka lemah, mereka tidak akan bertahan melawan ilusi, sehingga tubuh mereka akan terbakar habis. Namun, jika mereka bisa bertahan, mereka dapat bertahan hidup. Durasi efektif kekuatan ini adalah 30 menit, namun akan lebih pendek jika sasaran memiliki ketahanan mental yang kuat. Jarak efektif: 20 meter.'     

Setelah selesai menganalisa, Zero segera melapor.     

Angele perlahan mengangguk puas dan berdiri, lalu ia mengangkat tangan kirinya dan menembakkan sebilah jarum pada dahi calon penyihir itu.     

Seketika, darah mengucur dari luka kecil tersebut. Penderitaan si calon penyihir itu pun berakhir. Angele berjalan mendekati tenda mereka yang kosong, seraya menunggu jarum perak itu kembali ke tubuhnya.     

Pintu masuk tenda terbuka, memperlihatkan koper-koper hitam yang berceceran di sekitar tenda.     

Di luar tenda, api unggun mereka terus menyala dan memanggang dua ekor kelinci tanpa kulit yang diletakkan di atasnya. Bagian atas daging itu terlihat berlemak, sementara bagian bawahnya sudah gosong.     

Angele mengangkat tangan kanannya dan menyerap semua api yang masih menyala.     

Setelah semua api terserap, ia berjongkok dan menarik sepotong daging dari kelinci bakar itu. Walaupun daging itu masih panas, ia tetap memakannya.     

Rasanya asin, renyah, dan enak. Lemak dari daging itu benar-benar gurih.     

Setelah memakan sedikit daging, ia segera berdiri dan masuk ke tenda.     

Bagian dalam tenda itu terlihat gelap.     

Tenda itu sangat besar, namun dekorasi di bagian dalamnya terlihat sederhana. Tiga tempat tidur berjajar di tepi dinding, dengan selimut yang tidak dilipat.     

Di meja sebelah kiri deretan tempat tidur itu, terdapat sebuah buku yang masih terbuka.     

Angele berjalan mendekati meja, mengambil buku itu, dan mulai membacanya.     

Pada sampul buku, tertulis judul: 'Catatan Penjelajahan Tebing Neraka.'     

Sebelum ia datang, sepertinya seseorang sedang membaca buku ini, yang ditandai dengan banyaknya lipatan-lipatan di tepinya sebagai pembatas. Angele membuka salah satu halaman dan mulai membaca.     

'12 April. Tim kami memasuki tebing dan berjalan sejauh satu kilometer. Kami menemukan sebuah gua di bagian kiri. Ya ampun! Ada…'     

Separuh halaman itu sobek. Angele membalik halaman itu dan membaca halaman selanjutnya.     

'Rumput merah… Langit kuning… Tempat apa ini sebenarnya?! Kita tidak bisa kabur… Kita akan mati kelaparan dan kehausan… Aku benci monster-monster kotor itu dan…'     

Tiba-tiba, sebuah benda kecil terjatuh dari buku itu.     

Angele mengambil benda itu.     

Benda itu adalah selembar daun merah; teksturnya masih basah dan lembut. Dengan hati-hati, ia meletakkan kembali rumput itu.     

Angele menutup buku itu. Ia membawanya dan berjalan keluar dari tenda.     

Setelah berjalan selama beberapa menit, ia menciptakan bola api sebesar kepala di tangan kanannya dan melemparkannya ke belakang,     

Duar!     

Kobaran api melalap tenda, api unggun, mayat-mayat, dan separuh tebing kecil itu.     

Angele melihat tenda itu roboh. Apinya bergabung dengan api unggun di bawah dan membakar semua yang ada di atas tebing itu. Gumpalan asap hitam membumbung tinggi ke langit.     

Cahaya oranye dari api tersebut menerangi tebing. Dalam beberapa detik, api tersebut padam karena kehabisan bahan bakar.     

Pekerjaannya sudah selesai. Ia hanya harus menunggu teman-temannya.     

Ia mulai berjalan ke tempat sebelumnya. Setelah setengah jam, Hikari, Della, dan Stigma terlihat dari kejauhan. Mereka sibuk membicarakan sesuatu.     

Melihat Angele mendekat, Hikari melambaikan tangannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.