Dunia Penyihir

Mimpi Buruk dan Kekacauan (Bagian 2)



Mimpi Buruk dan Kekacauan (Bagian 2)

0Setelah mengikuti jejak darah itu, Angele tiba di depan sebuah bangunan berbentuk jamur berwarna putih. Bangunan itu sangat mencolok dibandingkan bangunan di sekitarnya.     

Pintu dan jendela ruangannya telah lama hancur. Cahaya dari luar masuk ke dalam dan menerangi seluruh ruangan.     

Cahaya itu terpantul pada lantai.     

Angele masuk ke dalam ruangan dengan hati-hati. Cahaya matahari yang bersinar pada tubuhnya, yang berlapis cairan logam, membuatnya terlihat seperti manusia hasil pahatan perak.     

Di dinding ruangan, tergantung sebuah foto keluarga beranggotakan tiga orang. Keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan seorang anak kecil berambut pirang itu terlihat sangat bahagia.     

Ketiganya mengenakan pakaian berburu. Mereka tampak sama persis dengan manusia-manusia di dunia utama.     

Akhirnya, Angele memutuskan untuk mengkategorikan dunianya sebagai 'dunia utama' agar Zero bisa mengorganisir semua informasi dalam penyimpanan dengan mudah. Namun, manusia-manusia di dunia ini terlihat identik dengan manusia-manusia di dunianya.     

Ia berjalan mendekati foto itu dan mengusap debu dari permukaannya.     

Prak!     

Foto itu terjatuh, meninggalkan sebuah paku yang masih tertancap pada dinding putih bersih bangunan tersebut.     

Angele menurunkan tangannya dan melihat sekelilingnya.     

Di samping meja-meja dan kursi, terdapat sebuah kasur yang lebar. Selimut putih menutupi dua mayat di atas kasur itu. Kedua mayat itu sangat tua, sehingga tangan dan kaki mayat yang telah mengering itu lebih mirip cabang pohon kering ketimbang bagian tubuh manusia.     

Angele berjalan mendekati kasur itu dan menyingkirkan selimut putih di atasnya.     

Seketika, bau busuk mayat memenuhi ruangan.     

Ia mundur beberapa langkah dan menutup hidungnya. Titik-titik cahaya biru bersinar di depan matanya.     

"Ha?" Tiba-tiba, ia melihat sesuatu yang aneh pada celah di antara kedua mayat.     

Seorang gadis dengan pakaian kumuh sedang tidur di lengan kedua orang tuanya.     

Rambutnya telah menjadi kelabu, namun masih terlihat sedikit warna pirang. Gadis itu mengenakan baju dan celana hitam. Ia tak memakai alas kaki.     

Gadis itu berkulit abu-abu, sama sekali tidak mirip dengan gadis yang ia lihat di foto.     

Gadis itu memegang sebuah benda hitam mirip tengkorak manusia pada kedua tangannya.     

Angele menganalisa gadis itu dengan bantuan Zero sebelum mendekat dan menyentuh wajah gadis itu dengan pisau di tangan kanannya.     

Shing!     

Sebilah pisau hitam berayun ke arah Angele.     

Gadis itu menggenggam sebilah pisau hitam erat-erat. Jelas bahwa dialah yang telah menyerang Angele.     

Klang!     

Pisau baselard Angele bertemu dengan pisau berburu gadis itu.     

Tidak mampu menahan kekuatan Angele, gadis itu mendengus dan terdorong mundur hingga menabrak dinding.     

"Ah!" Gadis itu berteriak. Darah berwarna merah gelap mengalir dari kedua mata dan mulutnya, sehingga bau busuk tempat itu menjadi semakin tajam.     

Gadis itu bersandar di dinding dan menatap Angele dengan sorot mata penuh kebencian. Teriakan melengking gadis itu semakin keras, dan semakin banyak darah yang mengucur dari kedua matanya.     

Teriakan itu berubah menjadi gelombang supersonik yang menyebar ke seluruh penjuru.     

Angele mengerutkan bibirnya. Ia mengangkat senjatanya dan mengayunkannya ke bawah.     

Shing!     

Pedang itu memanjang dan berubah menjadi pedang panjang berwarna perak dengan bilah sepanjang lebih dari dua meter. Kepala gadis itu terbelah di tengah menjadi dua bagian.     

Akhirnya, teriakan terkutuk itu berhenti.     

Tubuh gadis itu terkapar dan tak bergerak. Setelah mendekat, Angele menyadari bahwa gadis itu tidak memiliki tengkorak; kepalanya seperti bola yang kempes.     

Angele mendekati leher gadis itu dan menarik sebuah kalung.     

Kalung itu adalah kalung dengan bandul berupa ukiran kayu berbentuk mata yang diikat dengan tali sederhana.     

'Kukira gadis ini masih hidup. Yah…' Angele segera berdiri. 'Sepertinya, mereka adalah korban wabah yang diceritakan di ukiran menara itu.'     

Angele membalik tubuh gadis itu dengan pedangnya. Kalung itulah satu-satunya benda berharga yang ia miliki. Tengkorak retak di tangannya bukanlah sebuah benda sihir.     

Angele membersihkan bilah pedangnya dan berjalan keluar.     

Tak! Tak!     

Terdengar suara tapak kaki dari salah satu bangunan jamur di sebelah kanan.     

Angele terdiam sesaat, sebelum memutuskan untuk berlari ke arah bangunan itu.     

Seorang pria berbaju hitam yang tadi berdiri di dekat bangunan itu segera menghilang.     

Angele menggenggam pedangnya erat-erat dan berlari mengejar. Pria itu masih terus berlari.     

Ia mengangkat tangan kirinya dan melemparkan seutas benang perak untuk menghalau pria itu.     

Seluruh tubuh pria itu tertutup jubah hitam, dan matanya dilindungi oleh kacamata hitam berbentuk aneh. Kulit pria itu tidak terlihat sedikit pun.     

Ia memiliki tinggi sekitar 160 sentimeter, lebih pendek ketimbang Angele. Pria itu menatap Angele selama beberapa saat sebelum memutuskan untuk berlari. Sepertinya, dia sangat ketakutan.     

"Apakah kau salah satu korban wabah ini?" Angele memicingkan matanya dan bertanya dalam bahasa Chaos.     

Berbicara menggunakan Bahasa Chaos sangatlah sulit; kata-katanya nyaris tidak bisa dieja. Seseorang yang berbicara menggunakan Bahasa Chaos akan terdengar seperti pria dan wanita yang berbicara secara bersamaan.     

Saat mendengar Angele berbicara, pria itu terlihat kaget dan senang.     

Tubuhnya gemetar karena lega.     

"Molasuxiliyeji?" jawabnya seraya berbicara pada Angele.     

"Yehu! Thjjlinan!" Pria itu mencoba beberapa bahasa untuk berbicara pada Angele.     

"Kau tidak memahami Bahasa Chaos?" Ekspresi Angele menjadi bingung.     

"Gofanliya?" Pria itu mencoba bahasa lainnya.     

"Apa maksudmu?" Angele menunjuk ke bibirnya dan melambaikan tangan.     

"Siapa… kau?" Akhirnya, pria itu berbicara dengan bahasa kuno universal, namun dialek-nya terdengar aneh.     

"Jangan mengikuti kata-kataku… Itu adalah perbuatan para mutan aneh sialan itu!" Pria itu terdengar ketakutan.     

"Aku… hanyalah orang yang terasing. Rumahku ada di tempat yang jauh dari sini. Aku baru memutuskan untuk keluar, dan kaulah orang pertama yang kutemui." Angele segera membuat sebuah cerita dan memperkenalkan dirinya.     

"Orang terasing…?" tanya pria itu. Suaranya terdengar berat. "Akulah satu-satunya orang yang masih hidup di kota ini." Pria itu menjawab. Ia mulai terbiasa dengan bahasa kuno yang ia gunakan.     

"Bisakah kita mencari tempat aman dan berbicara sebentar? Aku tidak tahu ada apa di tempat ini. Aku baru saja diserang gadis aneh beberapa waktu lalu." Benang perak yang dilemparkannya kembali ke dalam tubuhnya.     

"Tentu saja." Pria itu mengangguk dan memeriksa tubuh Angele. Setelah beberapa detik, ia bernafas lega.     

"Apa kau mengoleskan sesuatu pada kulitmu? Warnanya keperakan, sementara aku harus menutupi tubuhku…"     

"Iya, aku ingin tahu…" Angele terdiam. "Mengapa kau berpakaian seperti ini?"     

"Kau tidak tahu?! Makhluk-makhluk mutan itu akan menyerang siapa pun yang tidak menggunakan pakaian hitam. Mereka akan menusuk tubuhmu, memakan dagingmu, dan menyedot darahmu hingga kau mati!" Pria itu terdengar sangat terkejut. "Yah, ayo kuantar ke tempat perlindungan kita." Ia berbalik dan berjalan ke arah kiri.     

"Baiklah."     

Angele mengikat pisaunya dan berjalan mengikuti pria itu.     

Setelah beberapa menit, mereka sampai di depan sebuah bangunan kumuh berbentuk seperti jamur. Bangunan itu rusak parah. Entah mengapa, separuh atapnya hilang.     

Pria itu berjalan masuk dan memeriksa lantai. Sepertinya, ia mencari sesuatu. Setelah beberapa saat, ia menemukan sebuah pegangan pintu dan menariknya.     

Brak!     

Sebuah batu besar ditarik dari atas lantai, memperlihatkan sebuah pintu masuk di dalamnya.     

"Keluargaku menemukan tempat ini sekitar 3 tahun lalu…" Ia menjelaskan seraya berjalan menuruni tangga. "Ikuti aku, dan tutup pintunya."     

Angele mengernyitkan alisnya. Ia memeriksa ruang bawah tanah itu dan berjalan turun.     

Ruangan itu berukuran kira-kira 10 meter persegi.     

Ditambah lagi, tempat itu sangat gelap, nyaris tidak terlihat adanya dinding-dinding pemisah kayu dan perabot di dalamnya.     

Tempat itu berbau seperti campuran telur busuk dan air seni. Lantainya lengket dan basah.     

Pria itu berdiri di samping sebuah tempat tidur, dan dua anak kecil melompat naik ke lengannya.     

"Isa!"     

"Isaliqu!"     

Anak lelaki dan perempuan itu menyapa pria tersebut dengan bahasa aneh yang tidak dikenal Angele.     

Pria itu melepaskan pakaian hitamnya. Ia berbalik dan menatap Angele.     

"Ini adalah anak laki-lakiku, Frey. Yang ini adalah anak perempuanku, Freia."     

Angele mengangguk. Ia melihat pria itu memberikan roti kering dan daging busuk pada anaknya.     

"Inikah tempat tinggal yang kau bicarakan?" bisiknya dengan lirih.     

Kedua anak kecil itu bersembunyi di belakang ayahnya sambil menatap Angele dengan sorot mata penuh rasa takut.     

"Iya… Sudah tiga tahun. Satu bulan terdiri dari 100 hari, dan satu tahun terdiri dari 64 bulan… Sekitar dua puluh ribu hari… Inilah satu-satunya tempat tinggal yang kami miliki…" Pria itu menghela nafas. Perasaannya bercampur aduk.     

"Apa yang terjadi?" Angele duduk di sebuah kursi seraya melakukan kalkulasi dengan Zero. Satu tahun di Dunia Mimpi Buruk sama dengan 17 tahun di dunia nyata, sehingga pria dan kedua anak itu sudah hidup disana selama 51 tahun.     

"Akan kujelaskan." Pria itu tersenyum kecut. "Lima tahun lalu, segalanya berubah. Wabah aneh, yang muncul entah dari mana, menghancurkan tempat ini. Semua makhluk menjadi mutan, dan wabah itu menyebar dengan sangat cepat hingga sang Ibu, Licolin, tidak mampu menyembuhkan wabah itu. Pendeta Agung terakhir meninggalkan pesan di atas menara putih sebelum semuanya jatuh dalam kegelapan. Terkadang, ilusi menjadi nyata, dan yang nyata menjadi ilusi. Dunia ini sudah hancur."     

"Ha? Ilusi dan kenyataan? Apa maksudmu?" tanya Angele. Ia semakin ingin tahu tentang dunia ini.     

"Iya, kenyataan dan ilusi." Pria itu duduk di samping Angele. "Terkadang, kau akan melihat rumah-rumah, danau, dan pepohonan muncul entah dari mana, sementara bangunan yang sudah ada kana menghilang begitu saja. Makhluk mutan menguasai seluruh penjuru negeri hingga langit sekalipun. Tahukah kau? Aku pernah melihat sebuah kaki manusia berjalan di hutan. Ia tidak punya tubuh, hanya kaki yang bergerak-gerak dan terus berjalan tanpa henti…"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.