Dunia Penyihir

Pernikahan (Bagian 2)



Pernikahan (Bagian 2)

0"Jangan terlalu dipikirkan, Della. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi dari yang kulihat, sekarang Stigma sudah menjadi lebih percaya diri," ujar gadis berbaju putih itu.     

Della, si wanita berbaju merah, berjalan ke jendela ruang belajar dan mengintip keluar.     

Terlihat sebuah spanduk bersimbol sekelompok Ksatria berbaju zirah lengkap berwarna hitam sedang mengantar seorang pria muda tampan keluar dari manor mereka.     

Pria muda itu berambut pirang lembut dan berkilau, hingga memantulkan cahaya keemasan matahari.     

Ia sedang berpamitan dengan seorang wanita paruh baya dengan tersenyum sopan.     

"Dia adalah Philip, kan? Dia datang lagi untukmu," celetuk gadis berbaju putih itu seraya menatap keluar.     

"Iya… dia keras kepala." Della mengedikkan bahunya. "Dia terus menempel padaku seperti lem super saja. Padahal, bertahun-tahun sudah berlalu. Sampai sekarang pun, dia belum berhasil membuatku kagum."     

"Setidaknya, dia bukanlah playboy. Dia adalah penyihir resmi. Dia bisa mencari wanita cantik jika dia mau." Gadis berbaju putih itu menggeleng dan tertawa.     

"Sudah kubilang, aku tidak suka padanya. Pilihanku tidak akan berubah hanya karena dia sering pergi ke sini. Kita sudah saling kenal sejak umur 7 tahun… Kapan dia akan mengerti?" Della berkata dengan gugup. "Dia terlalu memaksa! Aku sudah lelah melihat wajahnya!"     

"Jangan salahkan dia seperti itu. Philip sering membantu kakakmu, sampai Barry tidak menyukainya. Ditambah lagi, sekarang Philip berada dalam tekanan." Gadis berbaju putih itu menjelaskan. "Dia juga dekat dengan kakakmu, kan?"     

"Yah, terserah kau saja. Aku mendapat pesan dari ibu bahwa Hiberick akan bertugas di tambang kelima. Sekarang, dia sudah dalam perjalanan." Della berbicara dengan bantuan partikel energi.     

Gadis berbaju putih itu terdiam sesaat. "Ini semua adalah perbuatan Barry, kan?"     

Della mengangguk perlahan. "Iya, aku sudah meminta Stigma untuk sembunyi dulu selama beberapa tahun. Saudaraku hanya tersisa empat. Hiberick tidak akan bertahan lama melawan gagak-gagak pembunuh di tambang kelima. Setelah Hiberick, pasti Rondo adalah yang selanjutnya."     

"Stigma hanyalah calon penyihir tingkat 3, jadi tidak akan ada yang menyadari keberadaannya. Tapi, kita harus bergerak cepat. Barry akan berusaha menghilangkan semua kemungkinan ancaman."     

"Fiona, bagaimana perkembanganmu saat ini? Apa kau sudah mendapat bahan yang cukup untuk mencapai tingkat Kristal?" tanya Della.     

"Belum, tapi jangan khawatir. Tidak banyak penyihir yang tersisa dalam keluarga ini. Perang saudara yang baru-baru ini terus terjadi sudah sangat parah, sampai membunuh banyak sekali anggota keluarga kita. Barry harus melindungi kekuatan keluarga. Kepala keluarga akan melindungi kita." Fiona menggeleng.     

"Kalau aku bisa sampai ke tingkat 2, akan kulindungi kalian semua dari Barry!" Della menghela nafas. "Akan kubunuh Barry dan si pewaris pertama jika mereka membuatku marah!"     

"Bermimpilah." Fiona mengusap pipi Della dan tertawa. "Kau baru saja melampaui batas. Kau harus bersyukur."     

"Hah, sekarang aku akan mencari Stigma. Dia sangat malas!" Della menggeleng dan berbalik. "Sampai nanti."     

"Berhati-hatilah." Fiona mengangguk.     

**     

Seminggu kemudian…     

Plok! Plok!     

Terdengar suara tepuk tangan orang-orang dari dalam hutan kecil tepat di luar kota.     

Dua baris kursi putih berjajar rapi di sekitar jalan yang berselimut kelopak bunga. Dari kejauhan, tempat itu tampak seperti garis berwarna-warni yang diapit oleh dua garis putih.     

Kelopak bunga itu berwarna-warni, mulai dari merah, kuning, biru, ungu, dan putih.     

Buket bunga putih berkualitas tinggi menghiasi bagian depan barisan kursi itu.     

Dua sejoli sedang berjalan di atas jalan berhias kelopak itu dengan diiringi oleh suara musik.     

Sebagian besar tamu duduk di kursi-kursi yang telah disediakan.     

Beberapa orang berdiri di dekat pohon dan bertepuk tangan.     

Di bawah bayang-bayang sebuah pohon besar, terdapat empat orang bertudung putih, sehingga wajah mereka tidak terlihat. Mereka menyaksikan upacara pernikahan itu tanpa ada yang menyadari keberadaan mereka.     

Hikari, Reyline, Stigma, dan Angele.     

Angele menatap pasangan baru itu.     

Morissa mengenakan gaun pernikahan berwarna putih yang elegan dan cantik. Rambutnya dikuncir, dan ia tersenyum manis.     

Pria yang menggenggam tangan Morissa sangatlah tampan. Mereka berdua berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan di antara barisan kursi.     

Di ujung jalan itu, berdiri seorang pria tua yang membawa tongkat.     

"Apa kau tahu latar belakang suami Morissa?" tanya Hikari.     

"Kudengar dia adalah penyihir pertama di keluarganya," jawab Reyline.     

"Jadi, dia adalah generasi pertama…? Apa yang dipikirkan Morissa?" Hikari menggeleng. "Ia berasal dari keluarga penyihir baru, berarti kepala keluarganya hanya seorang pendatang baru. Hidup mereka akan sangat sulit. Seharusnya, dia bertanya ke kita terlebih dulu sebelum membuat keputusan."     

"Dia sudah menyerah, dan dia ingin hidup normal. Morissa berhasil sampai di Omandis hidup-hidup karena dia beruntung dan kita melindunginya," gumam Stigma. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, namun dia nyaris mati. Dia juga kehilangan harapan untuk mencapai tingkat selanjutnya. Tentu saja, ia ingin kehidupan yang normal setelah nyaris mati seperti itu."     

Angele mengangguk. "Iya, wanita itu mengambil keputusan bijak. Tidak semua penyihir bisa sampai ke tingkat selanjutnya. Jika Morissa berpikir pria itu baik untuknya, sebaiknya kita mendukung keputusannya. Menikmati hidup yang bahagia dan damai akan lebih baik ketimbang berjalan dalam jalan tanpa harapan. Dia sudah menjadi penyihir resmi. Itu saja sudah termasuk pencapaian yang hebat."     

"Kau benar." Reyline mengangguk.     

Pembicaraan mereka terhenti. Keempat penyihir itu memutuskan untuk fokus pada acara pernikahan Morissa.     

Akhirnya, pasangan baru itu sampai ke ujung jalan bunga dan membungkuk hormat di depan pria tua itu. Kemudian, mereka berciuman mesra. Ucapan selamat terdengar dari para tamu.     

**     

Morissa tersenyum dan menggandeng tangan suaminya.     

"Kuharap kalian selalu berbahagia, Hank dan Morissa!" Seorang wanita paruh baya berbadan tambun menyerahkan kotak hitam berisi hadiah.     

Morissa mengambil kotak itu dan meminta seorang pelayan untuk meletakkannya.     

"Terima kasih, Bibi Annie." Morissa tersenyum dan membungkuk hormat pada wanita tua itu.     

"Segeralah pergi ke lokasi kedua. Kami akan menyusul." Hank membungkuk hormat.     

"Baiklah." Wanita itu mengangguk. Ia berbalik dan segera pergi.     

Morissa menatap suaminya.     

"Hank, apa kita sudah menyapa semua tamu?"     

"Sepertinya sudah." Hank tersenyum manis. Tampaknya, ia adalah pria yang baik.     

"Teman-teman Ayah, Keluarga Victor, Keluarga Marry, Paman Rook, dan Alfred bersaudara…" Hank memeriksa daftar tamu.     

"… Sepupuku, Salt beserta anaknya, adikku Elvin… Sudah semua. Teman-teman dan keluargaku sudah ada di sini." Hank memegang tangan istrinya erat-erat. "Di mana teman-temanmu?"     

Morissa menggeleng. "Benjamin dan Barren sudah datang, kan? Aku datang kemari beberapa waktu lalu. Aku tidak punya keluarga di sini, dan teman-temanku semua ada di perbatasan."     

"Ini sedikit tidak adil bagimu, kan?" Hank mengernyitkan alisnya dan mencium kening istrinya. "Ah, apa kau sudah mengundang Paman Blaze dan Keluarga Bradley? Mereka tinggal di daerah terpencil, kan?"     

"Paman Blaze akan datang besok, sementara Keluarga Bradley akan datang lusa," jawab Hank seraya mencium pipi istrinya. "Kau cantik sekali, Sayangku." Ia memeluk Morissa dan menutup mata. Mereka menikmati momen kedekatan mereka.     

"Aku mencintaimu, Hank," gumam Morissa.     

Setelah beberapa detik, mereka berhenti berpelukan.     

Seorang pria tua berambut putih berjalan mendekati mereka.     

"Hank, Morissa, waktu berlalu begitu cepat. Terkadang, aku masih menganggap Hank sebagai anak kecil yang suka mengejar kupu-kupu. Dia beruntung memiliki istri yang cantik sepertimu. Semoga aku bisa hidup cukup lama agar aku bisa melihat anak pertama kalian." Pria tua itu menghela nafas.     

"Paman Clark, kau ini masih muda. Aku masih ingat hari saat kau kembali dari hutan sambil membawa mayat beruang!" Hank tertawa.     

Mereka mulai membicarakan masa lalu.     

Morissa menunduk dan melihat-lihat sekitar pohon seakan sedang mencari sesuatu.     

Para tamu sudah pergi, dan para pelayan sibuk membersihkan dekorasi dan sampah-sampah yang berceceran.     

Setelah berbicara dengan Clark, Hank melihat sikap aneh Morissa.     

"Ada apa, Sayang?" Hann melihat sekelilingnya. Ia bingung karena tidak melihat apa-apa.     

"Hank, apa kau bisa pergi ke lokasi kedua dulu? Aku ingin ke kamar kecil." Morissa tersenyum kecut.     

"Tidak apa-apa, tapi jangan biarkan para tamu menunggu lama." Hank mengangguk. "Apa kau tidak enak badan? Apa yang kau makan kemarin malam?"     

"Tidak… Aku tidak apa-apa." Morissa menatap Hank. "Aku harus berbicara dengan teman-temanku."     

"Baiklah." Hank tertawa dan melepaskan tangan Morissa. "Kalau kau mau, undang saja mereka ke pesta perjamuan."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.