Dunia Penyihir

Takdir Tak Terduga (2)



Takdir Tak Terduga (2)

0Setelah melihat Angele memasuki gubuk, Morrisa langsung berdiri. Hikari, Stigma, dan Reyline masih belum sadar. Mereka ditopang oleh benang-benang perak Angele.     

"Master Green, apa kau baik-baik saja?" Morrisa berpikir sejenak, tapi ia bingung mau memulai dari mana.     

"Aku baik-baik saja, tapi kita harus pergi sekarang juga! " jawab Angele. Ia meletakkan ketiga penyihir itu. "Mereka masih hidup. Tolong bangunkan mereka. Cepat!"     

Para penyihir cukup kuat untuk bertahan di tempat dengan kadar oksigen yang rendah dalam waktu yang lama berkat partikel energi yang tersimpan di tubuh mereka.     

"Baiklah." Morrisa langsung mengangguk.     

Ketiga penyihir itu pun langsung terbangun karena mantra Morissa.     

Langit kembali bergemuruh, dan awan-awan tebal kembali mengeluarkan hujan deras. Jarak pandang di luar gubuk itu semakin buruk. Air hujan yang sangat deras itu berjatuhan di atap gubuk itu, hingga terdengar seperti batu-batu kecil yang menjatuhi papan logam.     

Angele terdiam di samping pintu. Ia menatap Kota Kabut Putih seraya berpikir selama beberapa saat.     

"Terima kasih telah menyelamatkanku." Suara Hikari terdengar dari belakang.     

"Tak masalah. Aku mendengar adanya pergerakan dari rune komunikasi Reyline, sehingga aku bisa menemukanmu," jawab Angele santai. "Aku pernah bertemu dengan hantu beberapa kali. Kau seharusnya mendengar apa kataku."     

"Reyline?" Hikari terdiam sejenak, kemudian ia berjalan mendekati Angele.     

"Bukan aku. Rune komunikasiku bahkan belum aktif." Reyline berjalan keluar gubuk dan ikut berjalan mendekati Angele. Ia juga tampak bingung.     

"Tadi, kami makan bersama. Aku tidur setelah mandi di bangunan itu. Begitu aku bangun, aku sudah berada di gubuk kayu ini." Reyline menggeleng pelan. "Kurasa aku sudah tidur seharian." Ia melihat ke bawah sambil mengernyitkan dahi.     

"Hikari berkata bahwa kau menemukan kami di sebuah makam. Green, kau tidak bercanda, kan? Aku yakin bahwa tadi aku tidur di bangunan itu…"     

"Aku tidak bercanda," sela Hikari. Kejadian itu tadi sangat mengerikan. Ia tidak tahu kapan mereka dipindahkan ke makam itu.     

Setelah terdiam sejenak, Reyline akhirnya berkata, "Aku berhutang padamu, Green."     

Angele memandang Reyline. Ia terkejut karena Reyline berani mengorbankan harga dirinya dan berterima kasih atas bantuan Angele.     

"Aku ingin tahu sesuatu. Apa kau pernah mendengar tentang penyihir pemegang takdir? Ia adalah penyihir wanita bernama Arisma," tanya Angele.     

Reyline dan Hikari saling menatap. Ia tampak bingung.     

"Penyihir pemegang takdir?" tanya Stigma. Ia berjalan mendekati kelompok itu. "Hanya penyihir terkuat di benua tengah yang akan diberi gelar seperti itu. Di mana kau menemukan nama ini, Green?"     

Ekspresi pria itu tampak aneh.     

Angele berbalik dan menatap Stigma.     

"Dari batu nisan. Stigma, aku ingin menanyakan banyak hal."     

"Aku tak tahu..." Stigma menggeleng. "Aku jatuh pingsan saat aku berusaha keluar dari kota. Sepertinya, ada yang mengikutiku. Aku mendengar langkah kakinya, namun aku tak bisa melihatnya. Bahkan sihir terkuatku tak berhasil melawannya. Luka-luka ini adalah akibat dari sihirku sendiri."     

Angele memicingkan matanya dan terus menatap Stigma. Ia melihat ada sesuatu yang berbeda, namun penyihir lainnya masih kebingungan.     

"Tak apa. Stigma, tolong bantu kami keluar dari sini."     

Stigma heran mengapa Angele menekannya. Setelah saling menatap selama beberapa saat, mereka memutuskan untuk tidak mengatakan yang sesungguhnya saat ini.     

"Tentu." Stigma mengangguk. "Jangan buang-buang waktu."     

""Yah, apa yang kau sembunyikan dari kami?" Hikari mengerutkan bibirnya setelah mendengar percakapan mereka.     

"Maaf, aku tak bisa mengatakannya sekarang," jawab Stigma.     

"Baiklah. Mari kemasi barang-barang kita dan pergi dari sini."      

Reyline tak mengatakan apa pun. Ia berjalan langsung ke gubuk kayu itu.     

Setelah selesai mengemasi barang-barang, mereka semua meninggalkan Kota Kabut Putih yang kini sedang hujan. Mereka menyeberangi Tebing neraka dn berjalan menuju dataran.     

Kota Kabut Putih perlahan menghilang dari pandangan mereka.     

Stigma masih melihat kota itu dengan raut wajah sedih.     

Reyline berjalan memimpin kelompok itu, diikuti Hikari, Morissa, Angele dan Stigma.     

"Mengapa kau melihat kota itu seperti itu? Apa kau sudah merindukannya?" Angele berbicara melalui partikel energi.     

Stigma menatap Angele dan menggeleng. "Seberapa banyak yang kau tahu?"     

"Aku tahu semua yang kau tahu," jawab Angele dengan tenang.     

Reyline tak menanggapi perkataan Angele.     

Jarak pandang mereka semakin buruk. Angele hampir tak bisa melihat apa pun. Mereka berjalan menuju titik yang ditunjuk Stigma.     

Mereka semua memeriksa apakah perisai energi mereka telah aktif.     

Seiring berjalannya waktu, hujan perlahan mereda.     

Mereka menemukan daerah yang aman di sebuah hutan kecil. Di sana, mereka membangun sebuah gubuk kayu. Morissa membuat api unggun kecil, sementara penyihir lainnya mengeringkan pakaian mereka dengan menggunakan partikel energi Api.     

Setelah duduk di samping api unggun sejenak, Angele dan Stigma pergi bersama.     

Mereka berdua saling bertatapan dan mengangguk pelan.     

Mereka berjalan ke dua arah yang berbeda dan memasuki hutan yang gelap.     

Angele melihat sekeliling dan memastikan bahwa tidak ada yang mengikutinya.     

Kemudian, ia berhenti dan mengeluarkan kotak hitam dari kantongnya.     

Pola yang terukir di kotak itu telah menghilang, digantikan oleh gambar berlekuk berwarna hitam.     

Gambar itu tampak seperti dua tangan yang mengangkat kristal berbentuk berlian. Gambar yang dihiasi garis-garis emas itu sederhana, namun tampak aneh.     

Tangan kanan Angele memegang kotak itu, sementara tangan kanannya menyentuh tutupnya.     

*TAK*     

Kotak itu pun terbuka dengan mudah.     

Di dalamnya, ada bola gas yang berputar.     

'Apa lagi yang kau mau dariku?' Suara serak seorang perempuan bergema di telinga Angele.     

Ia tidak terkejut mendengar suara itu. Sepertinya, ia sudah mengetahui kotak itu.     

'Apa kau yakin? Aku hanyalah penyihir kegelapan tingkat 1 yang tidak berbakat, semetara kau adalah penyihir yang hebat. Kurasa aku tak bisa...' jawab Angele dengan tenang.     

'Aku tak akan mendekatimu jika kau tak mempunyai Kunci Bayangan...' Suara itu terdengar tak sabar. 'Pertarungan antara aku dan Arisma berlangsung selama beberapa dekade, dan tak akan berakhir walau kita sudah mati. Arisma menemukan penerus yang baik untuknya. Aku harus segera meninggalkan teritoriku. Jika tidak, ia akan meminta siswanya untuk membunuhku nanti. Sekarang, kau dan aku berada di pihak yang sama. Tak ada gunanya membicarakan ini."     

'Setidaknya, sebutkan namamu... atau gelarmu.' Angele mengerutkan bibirnya.     

'Gelar? Aku tak peduli. Orang-orang akan memberimu banyak gelar saat kau mencapai tingkat tertentu. Aku tahu bahwa kau ingin menelitiku, tapi aku tak akan memberitahu apa pun.'     

'Maaf, tapi aku tak mau ada yang merasuki tubuhku.' Angele tertawa.     

'Kau beruntung, bocah. Arisma memilih Stigma, sementara aku memilihmu. Hanya hal baik yang akan terjadi. Tak ada konsekuensi apa pun. Sekarang, aku harus beristirahat. Jangan ganggu aku kecuali ada hal yang sangat penting.'     

Suara itu menghilang.     

Angele menggeleng. Ia berusaha mencari bagian tubuh yang ditinggali 'legenda' ini dengan menggunakan berbagai cara, namun tak ada yang berhasil. Kotak hitam itu hanya membantunya berkomunikasi.     

"Arisma, Penyihir Pemegang Takdir..." Angele memicingkan matanya dan mencari tahu nama itu.     

Ia mempunyai banyak rahasia, namun 'legenda' di dalam tubuhnya tak bisa mendeteksi Zero. Angele tak mempercayai wanita itu sepenuhnya.     

Ia mengujinya beberapa kali dan akhirnya yakin bahwa wanita itu tidak mengetahui Zero.     

Angele memeriksa keadaan di sekitarnya dan berjalan kembali.     

Ia harus mempertimbangkan situasi saat ini.     

Setengah jiwa Stigma diambil alih oleh Arisma. Jika wanita itu berkata jujur, Stigma tak akan bergantung pada keluarganya lagi. Ia bisa mengikuti jalan yang sama seperti penyihir kuno, sehingga ia akan menjadi salah satu penyihir terkuat sepanjang sejarah.     

Setelah berjalan selama lima belas menit, Angele melihat Stigma berjalan kembali ke gubuk mereka.     

Ia menyadari bahwa kekuatan mental Stigma telah meningkat dua kali lipat, dan gelombang mentalnya jauh lebih kuat dari sebelumnya.     

Angele terkejut. Stigma melambaikan tangannya ke Angele, namun ia tak berhenti.     

"Green, jangan terkejut. Aku tahu bahwa aku sudah berbeda," kata Stigma dengan tenang. Ia terlihat bahagia.     

"Apa kau Stigma yang kukenal?" tanya Angele sambil memicingkan matanya.     

"Manusia pasti berubah, Green, begitu juga kau dan aku. Tapi, aku masih Stigma yang dulu."     

"Apa rencanamu? Kembali ke keluargamu?"     

"Tidak, aku masih belum kuat. Ada tiga penyihir tingkat 2 di keluargaku: ayahku dan dua tetua. Aku tak akan diizinkan berbicara di rapat keluarga dengan kekuatanku saat ini." Stigma menggeleng.     

"Katakan padaku jika kau membutuhkan bantuan," bisik Angele. Ia menganggap Stigma sebagai teman, karena Stigma telah menyelamatkan nyawanya.     

"Baik, terima kasih."     

Angele melihat Stigma berjalan ke api unggun dan mengira-ngira apa yang terjadi bila Stigma kembali ke keluarganya.     

"Tujuanku selanjutnya adalah kota dengan tempat transportasi udara di benua tengah. " Angele menghela nafas panjang.     

"Bagus. Aku sudah lama tidak mengunjungi kota yang ramai dengan manusia." Suara wanita itu tiba-tiba menyela pembicaraan Angele dan Stigma.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.