Dunia Penyihir

Kedatangan (Bagian 4)



Kedatangan (Bagian 4)

0Beberapa pengawal telah siap dengan sekop besi mereka masing-masing. Mereka mengangguk tanda mengerti dan segera mulai menggali. Tidak lama kemudian, sebuah peti mati berwarna merah dikeluarkan dari lubang makam itu. Mereka membuka peti tersebut. Benar saja, mayat Maggie ada di dalamnya.     

Wanita cantik itu diselimuti dengan bunga yang dikeringkan. Tubuhnya berbalut terusan hitam yang bersih. Matanya tertutup, kulitnya pucat, dan tanda-tanda pembusukan terlihat di leher dan wajahnya. Jika tidak ada tanda itu, mungkin Angele akan mengira jika gadis itu sedang tertidur.     

"Bahan peti mati ini cukup baik, sehingga bisa mengawetkan dan mencegah mayat cepat membusuk." Angele mengangguk.     

"Iya, peti mati ini terbuat dari kayu berkualitas tinggi dari pohon Red Diamond Tree. Satu peti besar harganya lebih dari 100 koin emas." Seorang pengawal menjelaskan.     

Koin di tempat ini berbeda dengan koin dari luar negeri. Koin di sini lebih berat dan lebih murni, sehingga 100 koin emas di tempat ini sama dengan 1000 koin emas dari Kerajaan Ramsoda.     

Para pengawal meletakkan selimut putih besar di rerumputan dan meletakkan mayat Maggie di atas selimut itu. Bau mayat menusuk hidung Angele.     

Setelah menyelesaikan tugasnya, para pengawal itu menutup hidung masing-masing.     

"Jaga pintu masuk. Pastikan tidak ada yang masuk tanpa izinku. Katakan pada Rayben bahwa aku belum selesai." perintah Angele.     

"Baik, Master."     

Para pengawal itu langsung pergi setelah Angele menyelesaikan perkataannya. Mereka mengerti bahwa mayat yang telah membusuk mungkin akan bisa menularkan virus mematikan.     

Angele menunggu para pengawal itu pergi dan memastikan bahwa tidak ada orang lain di sana.     

Angele maju selangkah dan berjongkok di samping mayat Maggie. Ia melepaskan terusan wanita itu dengan cepat dan memeriksa luka-lukanya.     

Ia mengangkat tangan kanannya dan menunjuk mayat itu.     

'Penyakit mendadak... Kuharap itulah yang sebenarnya terjadi,' Angele menggigit bibirnya.     

Pendar merah menghiasi tangan kanannya. Titik-titik cahaya merah menetes pada mayat wanita itu. Tetesan itu bergerak-gerak dan berkelap-kelip mengelilingi tubuh wanita itu.     

Di saat yang sama, sebuah titik hitam muncul di dada kiri mayat itu, yang terlihat kontras dengan cahaya merah dari tangan Angele.     

Angele menekan dada kiri Maggie dengan tangan kanannya dan menggosok titik hitam itu beberapa kali. Ia juga memeriksa perut Maggie dengan fungsi pemindaian Zero.     

"Mati mendadak karena penyakit apa?" Angele menggertakkan giginya.     

Pemuda itu sangat marah, namun tidak ada ekspresi di wajahnya. Angele mengangkat tangannya dan memakaikan terusan hitam itu kembali ke mayat Maggie.     

Angele berdiri dan mengelap tangannya dengan selembar kain.     

"Kemarilah kalian!" Ia berteriak ke arah pintu masuk, sehingga beberapa pengawal cepat-cepat berlari mendekatinya.     

"Master, apa yang harus kami lakukan?"     

"Masukkan mayat ini kembali ke peti dan kuburkan."     

Para pengawal segera mengembalikan mayat itu ke dalam peti dan mengubur peti itu dengan lumpur. Setelah semuanya selesai, Angele langsung berjalan keluar dari pemakaman tersebut.     

'Aku yakin bahwa Maggie tidak mati karena sakit mendadak.' Angele duduk di dalam kereta kudanya dan mendengus.     

'Tanda-tanda hitam di tubuh Maggie adalah bukti bahwa ia telah menjadi korban kekerasan, sebelum ia dibunuh dengan racun dari Green Dot Flower. Racun dari bunga itu dapat membuat otot menegang, sehingga kematian korbannya akan terlihat sangat mirip dengan orang yang terkena serangan jantung. Siapa pun yang membunuhnya pasti telah membayar banyak uang kepada pihak forensik.'     

Angele menutup matanya dan membiarkan titik-titik energi hitam memanjati lengannya.     

'Aku akan mencoba sihir pelacak yang kupelajari baru-baru ini,' pikir Angele sambil menggambar sebuah segitiga di udara menggunakan partikel-partikel energi itu.     

Setelah segitiga itu memadat, Angele mengambil botol kecil berwarna hitam dan menuangkan bubuk kelabu pada tepi segitiga tersebut.     

Shing!     

Dalam beberapa detik, tepi segitiga hitam itu berubah menjadi seperti kristal transparan dengan ruang gelap di tengahnya. Dari ruang gelap itu, muncul sebuah mulut merah.     

Mulut itu terbuka sedikit. Angele dapat mendengar bisikan-bisikan aneh. Mulut itu tidak berbicara dalam Bahasa Anmag, melainkan bahasa lain yang tidak dimengerti orang lain selain Angele.     

"Katakan padaku, apa yang ingin kau tahu?"     

Angele memicingkan matanya.     

"Maggie, temanku, siapa yang membunuhnya?" Angele balas bertanya dengan bahasa yang digunakan mulut itu.     

"Manor terbesar di sisi barat laut kota ini. Pemilik manor itu adalah pembunuhnya," jawab mulut itu tanpa ragu.     

"Baiklah," Ekspresi Angele berubah.     

Perlahan-lahan, mulut itu menghilang dalam kegelapan. Tidak lama kemudian, segitiga kristal itu pun berubah menjadi kabut hitam dan menghilang, seolah tidak ada yang terjadi.     

"Rayben, ada manor besar di sisi barat laut kota, kan? Siapa pemiliknya?" tanya Angele dengan dingin.     

"Iya, manor milik Sipir Penjara kota, Gerald." jawab Rayben dengan sopan.     

Menyadari perubahan suara Angele, Rayben menambahkan, "Master, jika Anda membutuhkan sesuatu, saya akan melakukannya. Pangeran Justin telah memberikan otoritas tertinggi di kota ini pada Anda."     

"Panggil para pengawal dan perintahkan mereka untuk membunuh seluruh anggota keluarga Gerald."     

"Tapi..." Rayben terkejut. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi.     

"Dia membunuh kekasihku," jawab Angele.     

"Yah, jika Anda punya bukti, saya bisa..." jawab Rayden dengan sopan.     

"Bunuh mereka. Kau kira aku berbohong?"     

Rayben hendak mengatakan sesuatu, namun akhirnya ia memutuskan untuk diam saja.     

**************************     

Malam itu, sekelompok pembunuh bayaran masuk ke manor Gerald dan membunuh semua orang di sana.     

Seluruh anggota Keluarga Gerald, termasuk para pelayan, tewas terbunuh. Saudara Gerald yang hidup di daerah lain kota pun ikut diserang.     

Dalam jangka waktu semalam saja, ratusan orang terbunuh. Manor itu pun bermandikan darah. Namun, sang Gubernur hanya mengatakan bahwa mereka sedang menyelidiki siapa pembunuhnya.     

Para penduduk kota sudah sadar bahwa Gerald telah menyinggung seseorang yang berkekuatan politik, sehingga awak media pun tidak berani menggali kasus itu terlalu dalam. Karena tidak ingin terlibat masalah itu, mereka berpura-pura tidak mengenal Gerald.     

Keesokan paginya.     

Manor Gerald.     

Bangunan-bangunan kelabu berdiri di atas rerumputan hijau di tengah taman yang indah, yang dinaungi oleh langit biru yang cerah dan awan-awan yang bergerak perlahan.     

Beberapa mawar merah dan mawar putih di sisi taman bergoyang perlahan mengikuti arah angin. Noda darah mengisi celah di antara rerumputan. Bau amis darah bercampur dengan bau wangi mawar itu.     

Perlahan-lahan, sebuah kereta kuda perak melewati pintu masuk manor itu.     

Pria muda berambut coklat panjang membuka jendela kereta dan melihat ke arah manor itu. Wajahnya biasa saja, namun tatapannya tajam, dan aura mistis menyebar di seluruh tubuhnya.     

"Kerja bagus." puji pria itu.     

Seorang prajurit berkuda di samping kereta membungkuk sedikit. "Melayani Anda adalah kehormatan bagi saya."     

Pria muda itu mengangguk dan menutup jendela.     

"Antar aku ke rumah Wakil Gubernur. Sudah bertahun-tahun aku tidak berbincang-bincang dengannya."     

"Baik, Master." Prajurit itu mengangguk.     

Kereta itu berjalan melewati jalan dengan kecepatan penuh. Dalam beberapa menit, kereta itu sudah pergi jauh.     

******************     

"Angele, selamat datang kembali!" Adolf memeluk Angele erat-erat.     

"Sudah waktunya kau mengunjungiku."     

"Maaf saya terlambat, Profesor." Angele tersenyum dan memeluk Adolf kembali.     

"Masuklah." Adolf berbalik dan mengajak Angele memasuki rumahnya.     

Adolf tidak pindah rumah. Ia masih hidup di rumah yang sama seperti dulu. Mereka masuk ke ruang baca dan duduk di sana. Adolf memerintahkan pelayannya untuk membawakan dua gelas minuman panas. Mereka berhenti berbincang-bincang selama beberapa saat dan saling menatap satu sama lain.     

"Kau sudah melampaui batas?" Adolf tiba-tiba bertanya.     

"Iya."     

"Jadi, sekarang kau adalah seorang Penyihir resmi?"     

"Iya!" Angele menatap mata Adolf.     

Bibir Adolf bergetar saat ia membuka mulutnya. Setelah beberapa detik, ia mengambil selembar saputangan sutra dan menghapus air matanya.     

"Selamat!" Setelah terisak beberapa saat, Adolf berhasil menenangkan dirinya.     

Angele tahu bahwa Adolf telah gagal mewujudkan impiannya menjadi seorang Penyihir resmi, sehingga ia sangat senang melihat muridnya yang berhasil melewati batasnya, seakan-akan ia sendiri yang mencapai keberhasilan itu.     

Adolf menatap Angele, tapi kedua matanya menunjukkan bahwa ia sedang memikirkan sesuatu. Dialah yang telah membantu Angele menjadi seorang calon Penyihir, hingga akhirnya menjadi Penyihir resmi, namun ia tidak dapat membayangkan kerja keras Angele untuk mencapai prestasi itu. Angele masih sangat muda, dan masa depan cerah pun menantinya. Adolf tahu bahwa muridnya itu meraih prestasi yang luar biasa.     

"Teruslah bekerja keras, dan suatu hari nanti seluruh dunia Penyihir akan mengenal namamu." Nafas Adolf masih terengah-engah.     

"Tanpa bantuan Anda, saya tidak akan bisa sampai ke negeri seberang. Anda-lah alasan kesuksesan saya sekarang." Angele memegang tangan Adolf dan menatap mata gurunya itu.     

"Berhati-hatilah, Profesor. Jika Anda butuh bantuan, saya selalu siap membantu."     

"Terima kasih..." Adolf menarik nafas dalam-dalam dan perlahan menenangkan dirinya.     

"Inilah buku sihir yang pernah Anda pinjamkan pada saya." Angele melepaskan tangan gurunya dan mengambil sebuah buku dari tasnya.     

"Sebelum saya menjadi calon Penyihir, Anda memberikan buku ini pada saya. Sekarang, saya ingin mengembalikan buku ini ke pemiliknya."     

Adolf mengambil buku itu dengan hati-hati dan meletakkannya ke dalam rak.     

"Oh, aku hampir lupa. Kau ingin bertemu Sophia?"     

Angele mengangguk. "Tentu saja, sudah bertahun-tahun semenjak terakhir kalinya kami mengobrol, dan obrolan terakhir kita berakhir buruk. Bagaimana kabarnya?"     

Adolf menghela nafas. "Sophie depresi berat semenjak penyair itu selingkuh, dan sekarang ia membenci semua pria."     

Angele mengernyitkan alisnya.     

"Penyair waktu itu? Apa Anda sudah mencoba mencarinya?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.