Dunia Penyihir

Pertemuan (Bagian 1)



Pertemuan (Bagian 1)

0Setelah beberapa saat, Angele akhirnya berhenti berpikir, lalu ia mengusap pelipisnya dan menutup matanya. Suara air hujan yang jatuh ke tenda terdengar sangat nyaring, hingga Angele nyaris tidak terdengar ringkikan kuda di luar. Di dalam tenda yang sangat gelap, ia menenangkan dirinya dan mulai bermeditasi. Nafasnya tenang dan teratur.     

'Peringatan! Peringatan!' Zero tiba-tiba melapor, dan Angele terkejut saat merasakan lukanya gatal.     

'Infeksi?' Angele membuka matanya dan melihat lukanya.     

Masih ada sisa ramuan tergenang di area lukanya. Luka itu berdarah, namun bagian luar luka itu berwarna merah gelap.     

'Bagaimana cara menyembuhkannya?' tanya Angele dengan ekspresinya tenang.     

'Menganalisa...'     

'Bahan yang dibutuhkan: Bunga Emas, 15 gram. Mata Rusa Bermata Satu, 180 gram. Ikan Kepala Besar, 520 gram...' Zero terus menyebutkan nama-nama bahan yang dibutuhkan untuk menghentikan infeksinya, namun Angele terlihat kecewa.     

'Di mana aku bisa menemukan benda-benda itu di tengah hutan ini?' Angele kembali memeriksa lukanya, dan melihat bebatuan kecil hitam putih seukuran biji wijen mulai tumbuh di sekitar luka itu. Infeksinya semakin buruk.     

Bebatuan kecil itu menutupi lukanya, sehingga luka itu terlihat sangat menjijikkan, sampai-sampai Angele tidak mau melihatnya.     

'Aku harus melakukan sesuatu.' Dia menggigit bibirnya, dan segera berkemas untuk mencari bahan-bahan untuk menyembuhkan infeksinya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika infeksi itu tidak diobati.     

***********************************     

Lima hari kemudian.     

Hari sudah siang.     

Kedua kuda kekar tunggangannya berjalan perlahan di antara pepohonan mengikuti jalan setapak hutan yang berliku-liku. Angele, yang masih mengenakan pakaian berburu yang ketat, sedang berbaring di punggung kuda pertama, namun ia kelelahan. Ini adalah hari kelima semenjak ia terkena infeksi. Wajahnya pucat, dan ia tidak lagi memiliki cukup tenaga untuk mengendalikan kudanya dengan baik.     

"Setidaknya, aku bisa memperlambat laju infeksi bakteri pada luka itu, namun aku masih harus mencari obat," gumamnya. Saat ini, luka itu ditutupi dengan sejenis gumpalan hitam sebesar genggaman tangan, untuk menjaga agar bebatuan kecil itu tidak menyebar ke area itu.     

Ia terus berjalan, sebelum akhirnya memutuskan untuk beristirahat sejenak. Setelah mengikat kedua kuda pada batang pohon, ia mengambil sedikit makanan untuk dirinya sendiri dan memakannya.     

'Sekuat apa bakteri ini... Setidaknya, jauh lebih kuat ketimbang bakteri di bumi,' pikirnya seraya meminum air dari botolnya. Ia mulai merindukan dunianya yang dulu, di mana antibiotik bisa didapatkan dengan mudah.     

"Sepertinya aku sudah melewati perbatasan, jadi mungkin sekarang aku sudah di Kerajaan Ramsoda. Namun, peta ini tidak memiliki informasi tentang jalan-jalan selanjutnya, sehingga aku tidak bisa menggunakannya lagi. Aku benar-benar ingin tahu kapan aku akan sampai kota terdekat," ia menggumam sembari memandang ke depan, ke arah lautan pepohonan dan jalan setapak di antaranya.     

Ia menoleh, dan melihat jalan setapak berliku di antara celah-celah semak belukar, namun ujung jalan itu tidak terlihat.     

Tiba-tiba, kabut menyelimuti pepohonan, dan di saat yang sama, penglihatannya menjadi kabur.     

***********************************     

Suara tapak kaki kuda menggema di dalam hutan dua kereta kuda putih muncul dari dalam kabut tebal. Kedua kereta itu masing-masing ditarik oleh dua kuda putih, dengan seorang kusir paruh baya berusia sekitar 40 tahun. Pria tambun itu mengenakan topi abu-abu dan menyetir kedua kuda itu dengan tenang, menunjukkan kemampuannya untuk mengontrol kedua kudanya.     

Kedua kereta itu bercat putih, namun sebagian cat itu telah memudar, sehingga terlihat kayu merah gelap di bawahnya.     

"Ayah, kapan kita akan sampai ke Kota Lennon?" tanya seorang anak kecil dari kereta terdepan dengan suara khas seorang gadis muda.     

"Sepuluh hari lagi, mungkin? Kita sudah setengah jalan, mengapa kau bertanya begitu?" jawab ayahnya.     

"Sepuluh hari lagi?! Ayah serius..." anak itu terdengar kecewa.     

"Iya. Teritori kita sangat jauh dari Kota Lennon. Tidak ada yang bisa kita lakukan," jawabnya.     

"Tapi kita bisa..." Gadis itu berusaha mengatakan sesuatu, namun si kusir memotongnya.     

"Tuanku, saya melihat seorang remaja muda tersungkur di tanah. Sepertinya, dia nyaris mati," kata si kusir.     

"Pria muda? Di mana?" tanya ayah gadis itu seraya membuka jendela. Pria itu mengenakan jas putih khas bangsawan. Ia terlihat baik hati dan terhormat.     

"Di sana," kata si kusir seraya menunjuk ke bagian kiri jalan. Mengikuti petunjuk kusir itu, sang tuan melihat ke arah yang ia tunjukkan, dan melihat seorang remaja muda tersungkur di tanah, di samping dua ekor kuda hitam.     

"Mark, apa yang terjadi?" tanya seorang wanita.     

"Ada seorang pria muda yang tersungkur di tanah. Ia terlihat kesakitan," jawab Mark.     

"Pria muda? Aku mau lihat!" gadis kecil itu berteriak.     

"Apakah dia dari teritori kita? Sudah lama aku tidak melihat orang dari luar negeri," tanya wanita itu.     

"Berhenti! Ayo kita tolong dia!" gadis kecil itu terus berteriak, hingga akhirnya kedua kereta itu memperlambat lajunya dan berhenti. Seorang pria berotot berbaju zirah lengkap berjalan keluar dari kereta kedua, dan berjalan ke arah kereta kuda pertama. Ia membantu gadis itu turun dari kereta pertama. Gadis kecil itu terlihat cantik dengan baju terusan putihnya.     

"Dunleavy, bisakah kau antarkan aku?" gadis kecil itu berkulit putih bersih dan berambut pirang yang terlihat lembut, mirip tokoh di cerita dongeng.     

"Baiklah," Dunleavy mengangguk, hingga menggerakkan janggutnya yang sangat panjang. Pengawal itu berjalan ke arah pria muda yang tak sadarkan diri itu sembari memegang tangan kiri gadis itu.     

"Dunleavy, waspadalah," kata ayah gadis itu sembari membantu wanita bangsawan yang sangat cantik itu turun dari kereta.     

"Jangan khawatir, Tuanku," Dunleavy mengangguk.     

Dengan langkah cekatan, mereka berjalan mendekati pria itu. Dunleavy merunduk untuk memeriksa kondisinya. Dia melihat luka berlubang di pinggang remaja itu. Luka itu berbau busuk dan berwarna hitam.     

"Lukanya infeksi," kata Dunleavy dengan nada serius.     

"Apakah dia tidak apa-apa?" tanya gadis kecil berpenampilan seperti putri raja itu dengan rasa ingin tahu.     

"Kukira orang yang kesakitan akan berteriak. Mengapa dia tidak berteriak?" Gadis itu bertanya seraya mendorong remaja itu.     

"Lukanya infeksi, dan dia pingsan. Nafasnya juga sangat lemah. Ia nyaris mati," Dunleavy tersenyum.     

"Dia akan mati?" tanya gadis itu dengan ekspresi panik.     

"Iya," jawab pengawal itu.     

"Kita harus menolongnya! Kita sudah dekat dengan Kota Lennon, kan?" kata gadis itu.     

"Aku tidak tahu apakah ayahmu memperbolehkan... Tanyalah ayahmu," jawab Dunleavy sambil menunjuk ke arah pasangan bangsawan yang berjalan perlahan mendekati mereka.     

"Kita tidak tahu siapa pria ini. Jika dia seorang pengintai, kita akan mendapat masalah besar," kata pria itu dengan lembut.     

"Ditambah lagi, dia sedang terluka. Jika kita menolongnya, kita akan menjadi sasaran orang yang memburunya," lanjutnya.     

"Tapi Ayah..." Gadis itu mencoba mengatakan sesuatu.     

"Ayah bilang tidak!" jawab pria itu.     

"Masuk kembali ke kereta, Avril!" pria itu hampir membentak.     

"Tapi Ayah, bagaimana jika dia adalah pangeran dari kerajaan lain? Jika kita menyelamatkannya, dia akan… dia akan…" jawab gadis itu.     

"Kau sering membacakan cerita semacam itu padaku, Ayah! Inilah bagaimana seorang pangeran menemukan cinta sejatinya!" teriak Avril.     

"Yah... Cerita itu tidak nyata..." ayahnya terdiam.     

"Avril, dengarkan Ayah dan masuklah ke kereta. Kita tidak bisa membuang waktu di sini," wanita bangsawan itu menambahkan.     

"Tidak mau!" Avril tetap berdiri di sana.     

"Ayah yakin, dia bukan seorang pangeran. Ayo kita pergi." kata bangsawan itu.     

"Kalau Ayah tidak mau menolong, aku akan tetap berdiri di sini selamanya!" gadis itu berteriak-teriak sambil melihat mereka bertiga.     

Sepuluh menit kemudian.…     

Dua kuda hitam itu mengikuti kedua kereta kuda putih.     

"Di mana aku…?" Angele membuka mata perlahan-lahan, dan melihat sekelilingnya. Ia sedang berada di dalam kereta kuda, ditemani oleh beberapa pengawal berbaju zirah berwarna hitam di sampingnya. Avril duduk di samping salah satu pengawal, dan menatap Angele penuh rasa ingin tahu.     

"Kami melihatmu pingsan di dekat semak-semak, jadi aku menyelamatkanmu," kata Avril. Raut wajahnya seakan memerintahkan Angele untuk berterimakasih.     

"Benarkah? Terima kasih," Angele tersenyum. Sebenarnya, saat itu dia masih sadar, dan masih bisa melihat dan mendengar dengan jelas, namun ia terlalu lemah untuk melakukan apa-apa. Ia berniat untuk melanjutkan perjalanan setelah tidur sebentar dan mengistirahatkan dirinya, namun luka dan demamnya menjadi semakin parah. Ia tahu bahwa ada kereta kuda yang datang, dan bahkan ia mendengar apa yang mereka katakan, tapi ia tidak dapat berdiri dan mengatakan apa-apa kepada pemilik kereta kuda itu.     

Angele tidak yakin apa penyebab pasti demam itu. Bisa saja karena efek infeksi, namun bisa juga karena cuaca buruk. Walaupun ia memiliki chip, ia masih harus mencari obat sendiri. Beruntung ada yang mau membantunya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.