Dunia Penyihir

Pengejaran (Bagian 2)



Pengejaran (Bagian 2)

0Zero telah mendeteksi keberadaan orang-orang yang bersembunyi di hutan saat Angele mengejar gajah itu. Kemungkinan besar, mereka tidak tahu bahwa Angele menyadari keberadaan mereka, karena ia memiliki chip yang dapat membantu mendeteksi apapun di sekelilingnya.     

'Aku harus segera kembali. Tidak mungkin dua ekor Glowing Elephant itu muncul begitu saja di dekat kota. Orang-orang yang bersembunyi di rerumputan itu… Mungkin mereka sedang mengincar Harland,' Angele mengernyitkan alisnya. Walaupun Glowing Elephant sangat kuat, hewan tersebut cukup cerdik untuk mengambil keputusan, sehingga tidak mungkin mereka terus bertarung tanpa henti hingga titik darah penghabisan. Tapi Glowing Elephant yang tadi mereka temui sangat berbeda. Jika dilihat dari mata merah mereka, mungkin mereka terkena sihir yang membuat mereka haus darah.'     

Mantra Haus Darah adalah salah satu mantra dasar tingkat 0 untuk atribut air. Mantra ini memiliki efek yang mirip dengan Ramuan Amuk Murka, namun efek mantra ini sedikit lebih lemah daripada ramuan itu. Mantra ini tidak akan menambah kekuatan penggunanya dan hanya membuat sasaran mantra itu kehilangan kesadaran. Pola mantra untuk Haus Darah dijual di sekolah, namun Angele tidak membelinya. Ia hanya merekam informasi gratis yang ia dapatkan dari sumber lain.     

Angele berhenti berpikir dan mempercepat langkahnya. Dia yakin bahwa ada yang tidak beres di sini.     

Area penebangan.     

Cahaya matahari senja menyinari sekitar kota dan memandikan seluruh hutan dengan pendar merah yang berpadu dengan kabut putih tipis yang tersisa.     

"Mengapa kau masih disini?" bentak pria berambut perak itu. "Walaupun aku tidak yakin dapat membunuhmu, kau tetap tidak akan bisa mengambil gajah itu. Kau tahu kan, siapa yang akan datang?"     

"Campbell, kan? Ksatria agung dengan dua pedang," kata Harland dengan suara berat. Terlihat bahwa tangan kirinya masih terluka.     

"Tangan kirimu tidak retak. Mengapa kau terus berpura-pura?" tanya pria itu sambil memandang tangan kiri Harland.     

"Yaah,"—Harland meregangkan punggung dan tangannya. –"Aku berencana untuk memancingmu keluar, namun sepertinya aktingku jelek," Harland tersenyum.     

"Jika satu lawan satu, Campbell akan kalah. Namun, bagaimana jika aku dan Campbell melawanmu?" pria itu tertawa kecil.     

"Aku pasti akan kalah," Harland menjawab tanpa ragu.     

"Ayo kita pergi," Harland melambaikan tangan pada kelompoknya, "Aku akan mundur hari ini. Namun, berhati-hatilah. Hutan ini jauh lebih berbahaya dari perkiraanmu…"     

"Kita lihat saja," kata pria itu sembari menginjak perisai Harland yang hancur.     

"Kalian akan menyesal…" Tinos menatap ketiga pria itu dengan geram, sementara para prajurit di belakangnya saling membantu satu sama lain untuk berdiri. Mereka berjalan menuju kuda mereka.     

Harland bergerak mundur sambil memegang kapak. Ia tetap menatap tangan pria berjubah hitam itu. Ia pernah bertarung dengan penyihir, dan ia tahu bahwa mereka dapat menggunakan sihir aneh dengan pergerakan tangan maupun mantra.     

Harland terus berjalan mundur, hingga ia sampai ke bawah pohon besar. Tiba-tiba, sebuah pedang perak besar muncul di balik kepalanya, namun ia tidak menyadarinya sama sekali.     

CLANG!     

Sebuah pedang crossguard muncul di depan pria yang berusaha membunuh Harland itu, namun pria itu menangkis pedang crossguard itu menggunakan pedang besarnya yang lain.     

Harland dan Tinos turun dari pohon itu dan berjalan mundur.     

"Campbell!" seru Harland. Keringat dingin bercucuran di wajahnya. Ia sama sekali tidak menyadari serangan pria itu.     

"Bagaimana mungkin? Kau menggunakan semacam mantra untuk menyamarkan keberadaannya?" Harland menatap Campbell, namun ia bertanya kepada pria berambut perak itu.     

Campbell, ksatria agung berjenggot tebal yang memiliki dua pedang besar berwarna perak, sedang menggosok bagian leher belakangnya. Terlihat sedikit jejak darah menetes dari luka di sana. Angele berdiri di seberang pria berjenggot itu sambil memegang pedangnya dengan tenang.     

"Kau sangat cepat. Kau bisa menggunakan kekuatan misterius juga?" Campbell tertawa. "Kaulah alasan mengapa Harland belum menyerah, kan?"     

Tidak ada satupun dari para prajurit itu yang menyadari keberadaan Campbell sebelum Angele menangkis serangan ksatria agung itu. Mereka tidak menyangka jika Campbell mampu menyerang secepat dan seakurat itu. Wajah Tinos terlihat pucat pasi, matanya penuh rasa takut, dan tangan kanannya menggenggam pedangnya kuat-kuat.     

"Kau pikir aku tidak bisa bertarung melawanmu?" tanya Harland sembari mengangkat kapaknya dan berlari ke arah Campbell. Langkahnya sangat berat, hingga tanah di sekitar tempat itu hampir bergetar.     

Campbell melompat dan berjungkir, sehingga ia mendarat di atas pohon di belakangnya. "Harland, aku sudah lama tidak bertemu denganmu. Beginikah caramu menyapa seorang teman lamamu?"     

CLING!     

Campbell mengayunkan pedangnya dan menghancurkan kedua pisau yang melesat ke arahnya hingga berkeping-keping.     

Angele menurunkan lengannya dengan ekspresi wajah serius. "Hebat sekali."     

Angele menarik pedang crossguard-nya dan mulai berjalan maju, namun ia dihalangi oleh pria berambut perak itu.     

"Kau juga seorang calon penyihir, kan? Aku akan melawanmu."     

Para prajurit yang lain masih kebingungan melihat apa yang sedang terjadi, namun kedua Vinci bersaudara telah menghalangi mereka agar tidak mendekati Harland. Medan pertarungan telah terbagi menjadi tiga: Harland melawan Campbell, para prajurit melawan Vinci bersaudara, dan Angele melawan pria berambut perak itu.     

Pria berambut perak itu tersenyum. "Tempat ini terlalu sempit untuk kita, ikut aku."     

Pria itu berbalik dan menghilang masuk ke dalam hutan secepat kilat.     

Angele mengikuti pria itu, sembari menjaga jarak dan mengatur kecepatannya. Mereka bersama-sama menghilang ke dalam kabut.     

Di salah satu jalan utama di luar Kota Lennon     

Di jalan yang terbuat dari lumpur berwarna kelabu, tiga kereta kuda hitam terhenti karena dihalangi para penyamun. Sekitar sepuluh pengawal mereka sedang bertarung melawan mereka.     

Suara teriakan terdengar nyaring di sekeliling kereta.     

Salah satu penyamun tertawa dan menusuk dada seorang pengawal. Pedangnya menembus pelindung dada dari kulit putih itu dengan mudah. Darah mengucur dari luka itu saat sang penjahat menarik keluar pedangnya.     

Semua penjahat itu menutup wajah mereka dengan topeng putih dan mengenakan syal abu-abu.     

Di dalam salah satu kereta, ibu Avril memeluk anaknya sembari mengintip situasi di luar jendela. Ayah Avril memegang sebilah pedang di tangannya dan memimpin para pengawal untuk melawan kelompok penjahat yang telah berhasil merusak formasi pertahanan mereka. Dengan cipratan darah di pakaiannya, ayah Avril terlihat gagah berani. Sepertinya ia tahu cara bertarung.     

"Kau pikir aku tidak tahu siapa kalian? Terkutuk kalian anjing-anjing Terrio! Aku tidak akan menyerahkan hidupku dan teritoriku pada kalian!" bentak ayah Avril marah.     

Avril memeluk ibunya lebih erat setelah mendengar perkataan ayahnya itu.     

"Jangan khawatir, Ibu ada disini. Tidak akan ada yang menyakitimu." bisik ibu Avril, namun Avril tidak dapat mendengarnya.     

"Ibu, Ayah akan menang, kan?" tanya gadis itu.     

"Iya… Ayah adalah orang terkuat di dunia," jawab ibunya.     

Tiba-tiba, terdengar suara erangan dari luar kereta.     

Ayah Avril menatap pria di depannya dengan tatapan terkejut. Sebilah pisau menancap di perutnya, dan darah mengucur dari lukanya.     

"Kau… Dunleavy… Mengapa kau…" tanya pria itu, namun Dunleavy bergeming.     

"Jangan salahkan aku," kata Dunleavy dengan suara berat.     

"Avril, jangan keluar!" kata ibunya dengan ekspresi yang aneh sembari melepaskan anaknya dari pelukannya. "Saat ada kesempatan, larilah! Kau akan aman!"     

Ibu Avril mengelus kepala anaknya, dan mendorong anak itu menjauh. Ia berdiri, mengambil pedang perak yang tergeletak di sampingnya, membuka pintu kereta, dan melompat keluar.     

Avril meringkuk sendirian di kereta. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah kedua orang tuanya pergi.     

Avril terkejut. Ia mendengar suara teriakan orang dari luar dan tapak kaki penjahat mendekati keretanya.     

"Ibu…" Avril duduk di lantai dan memeluk lututnya, dan air mata membanjiri pipinya.     

"Lari… Ibu bilang aku harus lari…" Gadis kecil itu tiba-tiba menyadari apa yang harus ia lakukan, dan membuka pintu rahasia di lantai kereta. Terlihat tanah yang berlumpur dari pintu itu.     

Angele dan pria berambut perak itu sudah sangat jauh dari kelompok Harland. Mereka berlari sangat cepat, hingga pemandangan sekitar mereka terlihat buram.     

Tiba-tiba, terdengar suara pertarungan dari dekat mereka.     

"Hah?"     

Pria berambut perak itu terdiam sesaat. Ia kemudian berganti arah dan lari ke lokasi pertarungan itu.     

Dari celah di antara pepohonan, terlihat beberapa kereta kuda diserang oleh penjahat yang mengenakan syal abu-abu. Pria berambut perak itu hendak mengatakan sesuatu, namun ekspresinya tiba-tiba berubah, dan ia menangkis serangan Angele dengan menggunakan benda berwarna hitam di tangannya.     

TANG!     

Serangan Angele mengenai pria itu, namun pria melayang di udara seperti bulu dan terbang melewati kereta-kereta itu ke sisi lain hutan itu. Pria itu seakan menggunakan kekuatan serangan yang diterimanya untuk mundur.     

Perlahan-lahan, Angele berjalan keluar dari hutan dan mengayunkan ujung pedangnya ke jalanan di mana kereta itu berada.     

"Kita bertarung disini saja."     

Wajahnya tenang, dan titik-titik cahaya hijau bertebaran di sekitarnya, sehingga ia terlihat mengerikan seperti monster berwarna hijau.     

"Aku tidak peduli."     

Jawab pria berambut perak itu sambil tersenyum. Ia berjalan keluar dari semak-semak dan mengangkat tangan kanannya. Bola listrik berwarna biru muncul di telapak tangannya.     

Kereta-kereta kuda dan penjahat itu berada di tengah kedua penyihir. Mereka langsung berhenti bertarung saat kedua penyihir itu muncul.     

"Penyihir…" kata salah satu dari mereka dengan suara gontal.     

Tempat itu hening seketika, dan semua perhatian tertuju pada kedua penyihir.     

Beberapa dari mereka mulai gemetar.     

Avril sedang berada di bawah kereta kuda dan mencari kesempatan untuk kabur. Menyadari bahwa sesuatu telah terjadi, Avril mengintip keluar dan melihat Angele berjalan keluar dari hutan.     

Angele melihat kereta-kereta kuda itu dan mengernyitkan alisnya. Ia mengenal semua kereta itu.     

"Kereta kuda keluarga Avril."     

Angele memicingkan matanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.