Dunia Penyihir

Kembali (Bagian 1)



Kembali (Bagian 1)

0Angele segera kembali ke Kota Moss. Tempat itu masih sangat sepi. Tidak ada orang di jalan, dan tidak ada aktivitas apa pun di dalam bangunan-bangunan rumah.     

Kabut menyelimuti jalanan, dan garis-garis kecil cahaya matahari gagal menghilangkan kabut itu. Angele berjalan perlahan-lahan di tengah jalan, dan matanya melihat sekeliling.     

Dari keadaan yang masih sangat sepi itu, Angele yakin bahwa orang-orang di sana masih belum bangun. Seekor gagak mendarat di atas atap salah satu rumah dan menatap Angele tanpa suara dengan mata kecilnya yang berwarna merah.     

Gagak itu tidak bergerak dan tidak memekik, hanya berdiri di sana sambil menatap Angele. Angele melihat gagak itu selama beberapa saat sebelum berjalan kembali ke hotel.     

Kriet…     

Angele membuka pintu, memelankan langkahnya, dan mengernyitkan alisnya.     

Di samping bangunan, tiga kereta kuda masih terparkir, dan semua kuda itu masih tidur. Kusir Tom tidur terbaring dan mendengkur.     

Angele memutuskan untuk memeriksa keadaan kusirnya terlebih dahulu. Ia membuka pintu kereta, berjalan mendekati Tom, dan menggerakkan pundak Tom.     

"Hey, Tom. Ayo, bangunlah." Angele terus menggerakkan bahu Tom dan menarik telinga kanannya.     

"Ah…" Tom mengerang kesakitan dan membuka matanya. "Master… Apa yang terjadi?"     

"Kita harus pergi." Angele memelankan suaranya. Ia berdiri dan menarik telinga kedua kudanya, sehingga mereka bangun.     

"Urusan kita sudah selesai?" Tom masih tidak mengerti apa yang terjadi, namun ia memutuskan untuk tidak banyak berpikir. "Baiklah, saya akan segera bersiap-siap!"     

"Seluruh penduduk kota sedang tertidur. Kita harus segera pergi. Ada yang tidak beres di sini." Angele merasa tidak nyaman, tapi tidak tahu pasti apa yang terjadi disana.     

Angele mengingat hari pertamanya saat tiba di kota. Satu-satunya penduduk kota yang ia temui adalah orang-orang di hotel, sementara Tom melakukan semua urusan lain untuknya. Saat itu, Zero telah mendeteksi pergerakan manusia di dalam rumah-rumah itu, jadi Angele yakin bahwa mereka semua adalah manusia, namun hari ini semua benar-benar berbeda.     

Tom berjalan masuk ke hotel. Angele mengatakan bahwa semua orang di kota telah tertidur, namun hanya ada keheningan yang mencekam, sehingga Angele gemetar ketakutan dan cepat-cepat mulai mempersiapkan barang-barangnya.     

Angele berjalan-jalan mengelilingi tempat itu dan memeriksa setiap kereta. Ia tidak menemukan hal yang aneh di sana, dan ia menjadi bingung apa yang sebenarnya terjadi pada orang-orang yang masih ada di taman itu.     

'Mungkin mereka sudah mati?'     

Pintu di seberang ruangan akan membawanya masuk ke area lain di hotel itu, jadi ia memutuskan untuk tidak memeriksa tempat itu karena sudah tidak ada waktu lagi. Ia mengambil keputusan berdasarkan hasil analisa Zero, sehingga ia yakin bahwa keputusannya sudah benar, dan itulah alasan mengapa ia meminta cucu Messi untuk mengikutinya. Delanya meninggalkan tempat itu dengan terburu-buru, sehingga Angele tidak sempat bertanya padanya. Namun, Angele yakin bahwa mereka tidak hanya bertemu dengan Claw Warrior.     

Angele menggelengkan kepalanya. Bagaimanapun juga, ia tidak akan kembali ke sana. Ia berjalan keluar dari tempat itu. Ia ingin memeriksa keadaan penduduk lainnya.     

Di sisi kiri hotel, terdapat sebuah rumah kayu yang dilindungi oleh pagar kayu pula. Rumah itu terlihat tua, sepertinya dibangun bertahun-tahun lalu.     

Pagar rumah itu tertutup, namun Angele melompati pagar itu dengan mudahnya dan memasuki halaman depan. Halaman itu tertutup ilalang, seakan menunjukkan bahwa pemilik rumah jarang berkebun.     

Angele berjalan perlahan mendekati pintu dan mendorongnya perlahan.     

Krak!     

Pintu terbuka perlahan-lahan, dan asap hitam memasuki ujung jari Angele. Kunci rumah itu telah dikikisnya menggunakan energi negatif, namun teknik itu hanya efektif jika kunci rumah tidak terlalu rumit.     

Tercium bau jamur saat Angele memasuki rumah itu.     

"Tunggu…" Ia berjalan mundur dan terbatuk beberapa kali.     

Menggunakan partikel energi angin, ia membersihkan debu dari pintu tersebut.     

Setelah hampir semua debu hilang, ia berjalan memasuki rumah. "Apa? Bagaimana mungkin?" tanyanya dengan terkejut.     

Rumah itu kosong, tidak ada orang di dalamnya. Hanya ada satu meja kayu ditemani oleh beberapa kursi, dengan busur kayu yang tergantung di dinding. Perapian rumah itu tertutup sarang laba-laba.     

Krak!     

Angele menginjak sendok kayu dan ia mulai melihat sekeliling.     

Ia memicingkan mata, dan ekspresinya berubah. Ia cepat-cepat berbalik dan meninggalkan rumah itu untuk memeriksa rumah-rumah lainnya.     

"Apa-apaan…" Keringat dingin membasahi dahinya. Walaupun tubuhnya hangat setelah berlari-lari, hanya terasa dinginnya rasa takut di punggungnya.     

Semua rumah di sana, semuanya – benar-benar kosong.     

Tidak ada orang di sana. Bahkan tidak ada seekor tikus pun yang berlarian, dan semua perabotan tertutup debu, seakan-akan tidak pernah ada kehidupan di sana.     

'Kemana mereka semua? Aku yakin bahwa Zero telah mendeteksi keberadaan mereka sebelumnya.' Angele menjadi semakin panik.     

"Tunggu…" Angele menarik nafas dalam-dalam dan menenangkan dirinya. Ia berbalik dan berlari ke arah hotel.     

"Tom!" teriak Angele seraya mendorong pintu keras-keras dan memasuki hotel.     

"Tom! Cepatlah, kita harus pergi!" teriaknya.     

Namun, tempat itu sunyi, dan tidak terdengar suara Tom menjawab panggilannya. Angele terdiam selama beberapa saat. Ketakutan terbesarnya menjadi kenyataan.     

Angele segera meninggalkan hotel dan keluar untuk memeriksa keadaan keretanya. Kuda-kuda itu masih ada dan meringkik disana, namun masih tidak ada tanda-tanda keberadaan Tom. Tempat itu sangat kecil, jadi ia yakin bahwa Tom akan mendengarnya jika ia masih ada di sekitar hotel.     

Ia menarik pisaunya dan menggenggamnya kuat-kuat seraya berjalan ke arah halaman belakang.     

Sebuah rumah kecil dengan cerobong asap di puncaknya berdiri di sana; rumah itu adalah dapur hotel. Angele berjalan masuk dan berteriak, namun tidak ada sedikit pun jejak keberadaan Tom.     

"Sialan!" umpat Angele. Ia menyadari bahwa ia harus segera pergi. Dengan cekatan, ia mengambil barang-barang yang dapat dibawanya dan kembali ke kereta.     

Ia melompat ke kursi kusir dan menggerakkan tali kekangnya.     

"Ayo!"     

Kereta kuda itu melesat meninggalkan hotel dan berlari menyusuri jalan.     

"Bahkan Tom pun menghilang…" Angele merasakan kulit kepalanya menjadi mati rasa, "Baru saja kita mengobrol…"     

"Apakah tempat ini hanya ilusi? Tapi, aku sudah berbicara dengan pemilik hotel dan memakan makanan dari tempat itu. Aku yakin bahwa mereka benar-benar nyata. Namun, kondisi sekarang berbeda. Bahkan semua perabot di sana terlihat seperti tidak pernah digunakan selama bertahun-tahun…"     

Ia terus berpikir, namun ia tidak mendapatkan kesimpulan. Semua kejadian ini terlalu aneh.     

"Lebih cepat!" Angele menggerakkan tali kekangnya lagi agar kedua kuda itu berlari lebih cepat.     

Sepuluh menit kemudian…     

Ia telah meninggalkan Kota Moss. Ia melewati jalan persimpangan, dan kembali melalui rute yang sama dengan yang dilewatinya beberapa waktu lalu. Angin dingin bertiup mendinginkan wajahnya, sehingga pikirannya menjadi lebih jernih.     

Pepohonan pinus mulai terlihat di sisi jalan, dan bebatuan berwarna abu-abu menutupi jalanan. Angele mengingat pertemuannya dengan si tupai saat ia mencoba mengambil jamur.     

Angele melihat ke sisi kiri jalan. Ia ingin berbincang-bincang dengan si tupai lagi. Ia ingin berbincang-bincang dengan makhluk hidup apa pun.     

Kereta kuda berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan berbatu. Setelah beberapa saat, akhirnya ia bertemu lagi dengan si tupai, yang sedang duduk di rerumputan dan menggigit buah pinus.     

"Berhenti." Angele menghentikan keretanya, melompat turun, dan berjalan mendekati si tupai dengan cepat.     

"Hei, kau kembali lagi." sapa tupai itu seraya mengangkat kepalanya. "Bagaimana, apakah kau mendapat apa yang kau cari?"     

Angele tersenyum kecut. "Yah, aku mendapatkan benda yang kucari."     

Ia berjongkok, dan ekspresinya sedikit lega.     

"Tetua hutan ingin bertemu denganmu. Maukah kau menerima undangannya?" tanya si tupai.     

"Tetua?"     

"Iya. Sebenarnya, ia ingin membeli camilan yang kau berikan padaku beberapa waktu lalu. Kami hidup di dekat jalan, sehingga kami bisa bertemu dan berbicara pada para pedagang yang lewat dengan mudah." tambah si tupai.     

"Aku tidak membawa terlalu banyak camilan…" jawab Angele dengan ragu.     

"Tidak apa-apa. Aku yakin kau masih punya sedikit sisa," jawab si tupai seraya mengibaskan tangannya.     

"Baiklah." Mengobrol dengan tupai itu membuatnya tenang.     

"Ikutlah aku," ajak si tupai, yang membawa buah pinus itu dengan kedua kukunya. Mereka mulai berjalan masuk ke hutan.     

"Bagaimana dengan kereta kudaku?" tanya Angele.     

"Teman-temanku akan menjaga keretamu." jawab si tupai sambil menunjuk ke arah kereta kuda Angele.     

Angele berbalik dan melihat seekor tupai hitam berdiri di atas atap kereta kudanya. Tupai itu melambaikan tangannya pada mereka.     

"Berhati-hatilah, Allen~" kata si tupai hitam.     

BUAK!     

Allen melemparkan buah pinus yang dibawanya tepat ke arah kepala tupai hitam itu.     

"Ayolah, kerja yang benar!" Allen bertepuk tangan. "Nah, ayo kita pergi."     

Angele tersenyum, "Jadi, kau punya nama?"     

"Hanya nama panggilan." Alen mengangkat bahunya.     

Mereka berdua segera menghilang ke dalam hutan.     

"Allen! Hubungan kita sudah selesai!" teriak si tupai hitam dari belakang. "Adikku juga! Tidak akan kuperbolehkan adikku untuk mengobrol denganmu!"     

Setelah melewati hutan, Angele mengikuti Allen ke arah sebuah danau.     

Kabut membumbung dari danau hijau besar itu. Kabut itu sangat tebal, hingga pemandangan di seberangnya tidak terlihat.     

Sebuah dermaga panjang dibangun di atas danau itu. Terlihat tiang-tiang panjang menyangga dermaga itu di bawah permukaan air. Dermaga itu lebih mirip jembatan yang mengarah ke tengah danau.     

Melihat makhluk yang ada di ujung dermaga itu membuat Angele terdiam. Di sana, ada kucing yang sedang berdiri tegak dengan kedua kaki belakangnya. Kucing itu melipat kedua tangannya di punggung dan menggumamkan sesuatu. Di balik kakinya, terdapat sebuah alat pancing. Pemandangan aneh itu membuat Angele berpikir bahwa kucing itu telah menyaksikan naik-turunnya kehidupan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.