Dunia Penyihir

Memesona (Bagian 2)



Memesona (Bagian 2)

0Sejak bereinkarnasi ke dunia ini, Angele selalu meningkatkan kekuatannya. Ia mau melakukan apa saja demi mendapatkan kekuatan yang lebih besar.     

Ia melompati pagar dengan mudahnya, kemudian memelankan langkahnya.     

Ia berjalan perlahan ke rumah batu di dekat pagar dan berdiri di depan pintu.     

Tepat di sebelah pintu itu, terdapat sebuah jendela berlekuk.     

Ia menyentuh kaca jendela dan melepaskan sedikit cairan logam. Cairan itu berubah menjadi ular logam kecil yang menyelinap masuk ke rumah dan membuka jendela dari dalam.     

Tepat di depan jendela, terdapat sebuah tempat tidur, di mana Nancy sedang tidur pulas dengan posisi tertelungkup. Rambut panjang emasnya tergerai di atas bantal, sementara salah satu tangannya tergantung di tepi kasur, keluar dari selimut merah tipisnya. Dari nafasnya yang lamban, sepertinya wanita itu sedang bermimpi indah.     

Angele mengambil setangkup bubuk kuning dari kantongnya, dan menaburkan bubuk itu di atas kasur Nancy.     

Sebelum jatuh menyentuh tempat tidur, semua bubuk itu menghilang. Beberapa detik kemudian, suara angin, serangga, daun dan cabang pohon yang bergoyang... menjadi semakin kecil dan menghilang. Kamar itu pun menjadi sunyi senyap.     

Setelah menaburkan bubuk itu, Angele segera masuk melalui pintu.     

Ia berjalan ke tempat tidur, menatap Nancy selama beberapa saat, sebelum melepaskan selimut merahnya.     

"Eh..." Angele terkejut melihat apa yang ada di bawah selimut itu.     

Tangan kanan gadis itu masih berada tepat di atas kemaluannya, dengan cairan bening masih menetes melalui kaki dan membasahi tempat tidurnya. Sepertinya, gadis itu menyempatkan diri untuk bermain sebelum tidur.     

Ditambah lagi, gadis itu tidur tanpa busana sama sekali.     

Merasa dingin setelah selimutnya terbuka, Nancy membuka matanya perlahan, melihat ada seseorang sedang menatapnya di samping tempat tidur.     

"Nini, sudahlah… aku mau istirahat…" Nancy melambaikan tangannya dan menutup matanya kembali.     

Tiba-tiba, Nancy tersadar. Ia menggeleng dan melihat siapa sebenarnya yang ada di sana.     

Angele tersenyum.     

"Ini aku," bisiknya.     

"Master... Green...?!" Nyaris tidak percaya apa yang sedang dilihatnya, ia segera menutup dadanya dengan tangan kanannya. Terlihat jelas bahwa jari-jari gadis itu masih basah.     

"Jangan!" teriak Nancy seraya menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia berdiri dan bersandar di tepi kasur.     

Wajah dan lehernya benar-benar merah seperti kelopak bunga mawar.     

Angele tertawa dan menunjuk kasur itu. Ada titik basah pada seprai.     

"Ah!" Lagi-lagi, Nancy berteriak. Ia berusaha menyembunyikan titik basah itu. Ekspresi wajahnya marah bercampur malu.     

Angele berjalan mendekati gadis itu dan memegang bahu kirinya. Ia membelai punggung gadis itu dengan tangan kanannya.     

"Hari yang indah, kan? Bagaimana menurutmu?"     

Masih belum benar-benar terbangun, Nancy berusaha menyadarkan dirinya. Seluruh tubuh gadis itu memanas. Selimut merahnya terlalu tipis untuk menutupi lekuk tubuhnya.     

Berkali-kali, ia telah membayangkan bagaimana rasanya bercumbu dengan Angele, namun ia tidak menyangka jika Angele masuk ke rumahnya saat ini.     

Walaupun hubungan antara penyihir dan pelayan adalah hal yang lumrah, Nancy masih seorang perawan. Entah mengapa, sesuatu dalam pikiran gadis itu masih tidak mau menerima Angele.     

Nancy terlahir dalam keluarga kaya. Dulu, orang tuanya akan memberikan apa pun yang ia inginkan. Namun, keluarganya hancur termakan perang politik, sehingga sekarang ia terpaksa menjadi pelayan Angele agar dapat bertahan hidup.     

Dari dulu, ia selalu menginginkan seseorang untuk menjadi sandarannya.     

Semua orang pasti pernah merasakan nafsu, termasuk Nancy. Kebanyakan penyihir dan calon penyihir sangatlah terbuka; bahkan ada gosip yang mengatakan bahwa ada penyihir yang mau bertukar pasangan dengan penyihir lainnya.     

Satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk memuaskan nafsunya adalah bermain dengan jarinya sendiri.     

Setelah perang politik, hidup Nancy sangatlah berat. Terkadang, gadis itu masih ketakutan akan kemungkinan bahwa ada pembunuh bayaran yang mengejarnya, sehingga masturbasi membantunya untuk menenangkan diri sebelum tidur.     

Masturbasi sebelum tidur sudah menjadi rutinitas baginya. Namun, ia tidak menyangka bahwa Angele akan mengetahui rahasia kecil itu.     

"Jangan, jangan sekarang... Kumohon… Aku masih belum siap," gumam gadis itu seraya menarik selimutnya kuat-kuat dan menunduk. Ia takut bertatap muka dengan Angele.     

"Tidak apa-apa, aku bisa menunggu." Angele melepaskan bahu gadis itu dan tersenyum. Tubuh Nancy terasa hangat dan lembut, sehingga ia merasa nyaman.     

Bagi Angele, Nancy sangatlah berbeda dengan wanita lain. Angele menginginkan lebih dari kepuasan seksual semata.     

Di dunia ini, sangat sulit untuk menemukan perawan cantik seperti Nancy, sehingga terkadang para penyihir membeli gadis budak kecil dan melatih mereka sejak dini.     

Angele tidak sedang terburu-buru. Baginya, Nancy seperti makanan enak dengan berbagai rasa. Ia ingin merasakan semua rasa gadis itu perlahan-lahan.     

Angele sadar bahwa setelah melihatnya mencapai banyak hal sebagai seorang penyihir dengan talenta tingkat dua, perasaan Nancy bercampur aduk. Saat ini, gadis itu hanya punya Angele sebagai sandarannya, sehingga gadis itu ingin berhubungan lebih dekat dengan Angele. Namun, Nancy tidak tahu apakah Angele akan membuangnya setelah penyihir itu bosan bermain dengannya.     

"Baiklah, sampai jumpa besok." Angele tersenyum dan membelai wajah Nancy yang masih merona.     

Angele berbalik, meninggalkan rumah Nancy, dan kembali ke rumahnya.     

Angele menenangkan dirinya dan berjalan masuk ke kamar untuk bermeditasi.     

Ia ingin mengubah nafsunya menjadi motivasi agar ia bisa terus maju.     

Kekuatannya memberinya banyak sekali hak di dunia ini. Tanpa kekuatan, ia tidak akan mengangkat Nancy sebagai pelayannya.     

Walaupun ia membutuhkan kesenangan dalam hidup, ia tidak boleh jatuh dan menjadi ketagihan.     

Keesokan paginya, hari masih sangat gelap.     

Angele membuka mata, mengenakan jubah hitam panjang, dan membuka pintu kamar.     

Walaupun ia berada di lantai dua, terdengar jelas suara seseorang sedang berjalan-jalan di ruang tamu.     

Ia berjalan mendekati pagar kayu lantai dua dan melihat ke bawah.     

Nancy, mengenakan terusan abu-abu dari wol, dipadukan dengan legging hitam dan sepatu kulit, sedang sibuk bekerja di ruang tamu. Pakaian gadis itu membuatnya terlihat menawan dan seksi.     

Legging hitam yang dikenakan gadis itu sangat cocok dengan kakinya yang ramping dan panjang.     

Nancy merunduk dan mulai membersihkan bantalan sofa.     

Angele menatap kedua kaki gadis itu. Hampir tidak ada jarak di antara kedua pahanya. Ia melihat ke atas dan terpaku pada bagian gelap yang tertutup baju terusan itu.     

"Nancy, kau terlihat sangat cantik hari ini," sapa Angele seraya berjalan menuruni tangga.     

Nancy berdiri tegak dan berbalik. Wajahnya memerah saat ia melihat wajah Angele.     

"Anda bangun lebih pagi hari ini. Makan pagi sudah siap." Nancy membungkuk dan menjawab dengan sopan.     

"Ternyata, keputusanku benar. Kau adalah pelayan yang baik." Jubah hitam yang dikenakan Angele memiliki hiasan keperakan pada tepiannya. Rambut cokelatnya halus dan berkilau. Wajahnya memang tidak terlalu tampan, namun cahaya keemasan matanya membuatnya terlihat mempesona dan misterius.     

Ia berjalan ke sofa dan duduk dengan senyum di wajahnya. Di atas meja, semangkuk sup daging dan jamur, bersama dengan sepotong sandwich, telah disajikan oleh Nancy.     

Sandwich itu berisi daging panggang dan selada. Roti putih sandwich itu telah dipanggang dengan sempurna, sehingga menjadi renyah di luar dan lembut di dalam.     

Nancy berdiri di samping meja. Ia menunggu Angele menghabiskan makanannya.     

Tidak lama kemudian, Angele selesai memakan sandwich-nya. Ia meminum sup dan membersihkan tangannya.     

"Apa ada yang terjadi saat aku mengurung diri di ruang bawah tanah?"     

Nancy mengangguk. Rona merah di pipinya perlahan-lahan menghilang.     

"Um... Anu... AH!" Tiba-tiba, Nancy berteriak dan memegang pakaiannya erat-erat.     

Angele memasukkan tangan kanannya ke dalam baju Nancy dan membelai pantatnya.     

"Please…" she whispered as her face blushed again.     

"Kumohon..." bisiknya. Wajahnya kembali memerah.     

"Ada banyak orang di luar..." Nancy memalingkan wajahnya. Ia memohon agar Angele berhenti melakukan itu.     

Tubuh Nancy terasa semakin hangat saat Angele menyentuh wanita itu.     

"Aku hanya bercanda." Angele tertawa dan mengeluarkan tangannya dari pakaian Nancy.     

"Kau wangi sekali. Apa kau sudah mandi pagi ini?" Angele mengendus tangan kanannya.     

"Master Green..." Nancy mundur selangkah. Ia menunduk dan mendengarkan suara Angele meminum sup. Nancy tentu saja mau menjadi pacar Angele, namun ia masih ragu apakah Angele akan meremehkannya atau tidak. Jika ia setuju menjadi pacar Angele, ia harus menunjukkan tubuh telanjangnya dan membiarkan pria itu melakukan apa pun yang ia inginkan.     

Rasa malu adalah satu-satunya yang membuat Nancy ragu.     

Menyadari bahwa jawabannya tidak menjawab pertanyaan Angele, Nancy segera menenangkan dirinya.     

"Master, aku akan melaporkan situasi…"     

"Tentu." Angele mengedikkan bahunya. "Katakan."     

"Seorang penyihir bernama Shiva berkunjung kemarin lusa. Ia meninggalkan surat setelah aku menghentikannya masuk area ini," jawab Nancy.     

"Shiva...?" Angele mengusap dagunya. "Aku sudah hidup cukup lama di sini, tapi aku belum sempat berkunjung ke penyihir sekitar sini. Tunjukkan surat itu padaku."     

Nancy berjalan ke perapian, mengambil amplop surat berbahan kulit hitam, dan memberikannya pada Angele. Setelah memberikan surat itu, Nancy segera menjaga jarak dengan Angele. Ia tidak ingin melihat wajah Angele dan fokus menatap tangan tuannya itu.     

Angele menggeleng. Ia tidak tahu mengapa Nancy masih belum mau menerimanya.     

Ia mengambil surat itu dan membukanya perlahan.     

Terdapat lukisan gagak hitam di atas surat itu. Gambar itu terlihat sangat nyata hingga Angele bisa merasakan mata hijau sang gagak menatap mata emasnya. Rasanya seperti gagak itu bisa melayang keluar dari kertas.     

Di bawah gagak itu, terdapat surat yang tertulis dalam bahasa Anmag.     

'Master Green, namaku Shiva Rita, penyihir yang hidup di sekitar sini. Aku baru saja datang dari petualangan di Tebing Merah, dan saat pulang, aku baru tahu kau pindah kemari. Aku ingin berbincang-bincang denganmu. Jika mrmungkinan, datanglah dalam kurun waktu lima tahun. Setelah lima tahun, aku akan pergi.     

Sebuah peta kecil bergambar lokasi Angele dan Shiva tertulis di bawah surat tersebut. Rumah Shiva berada di seberang danau.     

Setelah membaca surat itu, Angele melemparkannya ke atas meja dan duduk santai di sofa seraya menikmati angin sejuk dari jendela.     

Nancy mengambil piring-piring di meja dan pergi meninggalkan ruang tamu.     

Angele mengangkat tangan kanannya dan mengaktifkan rune komunikasi, rune biru yang mengeluarkan asap di ujung kukunya.     

Suara Isabel bergema dalam telinganya.     

"Apa kau marah padaku?     

"Maaf, Green. Bahan-bahanku diambil nenekku. Aku tidak bisa melakukan apa-apa.     

"Terima kasih."     

Pesan itu terhenti di sana.     

Angele terdiam. Isabel masih tidak tahu cara berbicara dengan seorang teman, dan Flan masih memonitor seluruh kegiatan wanita itu.     

Angele mengirim kembali sebagian besar bahan kiriman Isabel dan menyimpan sisanya sebagai bayaran jasa memurnikan darah badak untuk wanita itu.     

Sebelum berkunjung ke rumah si penyihir bernama Shiva itu, Angele memutuskan untuk memeriksa perbedaan antara penyihir tingkat Gas dan Cairan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.