Dunia Penyihir

Resep (Bagian 1)



Resep (Bagian 1)

0Setelah Nancy menyetujui syarat-syaratnya, Angele menyuruhnya untuk meminta kontrak pelayan kepada Ivan. Kemudian, ia menutup pintu rumahnya dan berjalan ke lantai dua.     

Rumah itu sangat gelap dan sunyi, hingga suara tapak kakinya bergema di seluruh rumah.     

Ia berjalan masuk ke ruang belajar di lantai dua dan membuka pintu.     

Lampu kristal di atas meja belajar masih bersinar terang. Cahayanya menembus kain hitam yang telah Angele gunakan untuk menutupinya. Cahaya redup itu membuat ruang belajar sedikit lebih terang ketimbang seluruh rumah.     

Ia menutup pintu, berjalan mendekati meja belajar, dan perlahan duduk.     

Sebuah buku catatan bertuliskan sistem penguatan benda tergeletak di atas meja itu.     

Tiba-tiba, titik cahaya biru bersinar di kuku jari tengah tangan kanannya. Titik biru itu mengeluarkan gumpalan asap berwarna senada.     

"Green, aku sudah menemukan resep yang kau inginkan di ruang penyimpanan keluargaku. Resep ini telah dilindungi dengan teknik spesial, sehingga resep itu akan menghilang dalam setengah jam jika ada yang menyalinnya." Suara Isabel bergema dalam telinga Angele.     

"Jadi, apa yang kau inginkan dariku?" Angele tidak terkejut saat Isabel berhasil menemukan resep yang ia inginkan. Wanita itu berasal dari keluarga yang kuat, sehingga kemungkinan besar keluarganya memiliki resep ramuan langka.     

"Besok lusa, akan ada pesta perjamuan. Aku akan mengirimkan undangannya untukmu," jawab Isabel dengan tenang. "Setelah membaca resep itu, kau harus pergi meninggalkan teritori yang dilindungi lingkaran sihir keluargaku dalam waktu 20 menit."     

"Baiklah."     

Asap biru itu menghilang di udara.     

Angele perlahan mengusap kukunya. Senyuman pun tersungging di wajahnya.     

Ia membuka sebuah laci. Laci itu penuh dengan kotak-kotak kristal transparan yang berisi berbagai macam bubuk bahan ramuan.     

Sudah waktunya bersiap-siap untuk meramu Ramuan Pembunuh Flora.     

**     

Dua hari kemudian, setelah matahari terbenam.     

Seekor elang raksasa berleher putih perlahan-lahan mendarat di atas pagar rumah Angele.     

Sayap elang itu membentang luas; panjangnya lebih dari enam meter. Bulu lehernya, yang berwarna putih, terlihat kontras dengan seluruh tubuhnya yang berbulu hitam.     

Seorang pria muda yang mengenakan baju kulit berwarna cokelat dan memakai helm kulit melompat turun dari punggung elang itu.     

Pria itu melihat sekelilingnya hingga ke seberang danau. Beberapa kurcaci hutan sedang sibuk membangun rumah. Suara riuh mereka terdengar jelas dari seberang danau.     

"Mereka sedang membangun pos penjagaan untukku." Pria itu terkejut mendengar suara seseorang dari belakangnya.     

Entah dari mana, seorang pria berambut hitam muncul di depannya.     

Pria itu memiliki mata berwarna emas yang bercahaya, dengan pupil yang memanjang seperti seekor kucing.     

"Ah, Penyihir Green, aku dikirim kemari oleh Master Isabel." Pria muda itu membungkuk hormat dan menjawab. "Silakan naik ke punggung elang itu. Aku akan mengantar Anda langsung ke pesta perjamuan."     

"Benarkah?" Angele menatap elang itu.     

Elang setinggi dua meter itu bergerak mundur. Binatang itu memekik ketakutan, dan sayapnya gemetar.     

Angele tertawa. "Sepertinya, elang ini tidak ingin membawaku."     

"Master, gelombang kekuatan mental Anda membuat elang ini panik…" Pria muda itu mendekati elang tersebut dan memberikan sebutir pil padanya, sehingga elang itu menjadi tenang.     

"Sudah selesai, Tuan. Naiklah."     

Angele mengangguk dan mengelus bulu keras burung itu. Kemudian, ia melompat naik dan mendarat tepat di punggung elang itu.     

Di luar perkiraannya, punggung elang itu sangat nyaman. Bulu-bulu punggungnya terasa hangat dan halus.     

Bau bunga aneh menyebar dari tubuh elang itu.     

Pria muda itu berdiri di samping elang dan kembali membungkuk.     

Seakan menerima perintah, elang itu segera mengangkat sayapnya.     

Untuk beberapa saat, gravitasi seolah menghilang, dan semuanya terlihat semakin kecil. Tanah, rumah-rumah, pepohonan, dan semua benda yang ada di bawah menjauh dari pandangannya.     

Angin dingin meniup leher dan kedua daun telinganya.     

Angele menoleh ke bawah.     

Rumah dan danau di dekat rumahnya terlihat semakin jauh. Beberapa kurcaci melihatnya terbang. Mereka semua menunduk hormat.     

Dahsyatnya angin dan suara kepakan sayap menenggelamkan semua suara di sana.     

Angele memegang bulu elang itu kuat-kuat untuk menyeimbangkan dirinya. Ia pun merunduk agar angin tidak menerpa tubuh bagian atasnya.     

Menara barter, hutan, jalan-jalan berbatu kelabu, semuanya bergerak cepat hingga terlihat buram.     

Elang itu melesat cepat, sehingga menarik perhatian beberapa calon Penyihir. Dari posisi Angele, mereka terlihat sekecil biji wijen.     

Angele menarik nafas dalam-dalam dan melihat ke sisi kanan.     

Angele melihat sebuah menara pilar putih, yang setengahnya tertutup oleh kabut. Rumah-rumah bercat cokelat dibangun di sekitar kabut itu. Di sana, ada beberapa ekor hewan udara tunggangan yang mendarat dan berangkat.     

Di antara dirinya dan pilar itu, terdapat sebuah hutan yang sangat lebat. Dari langit, hutan itu terlihat seperti lautan hijau. Pejalan kaki dan kereta kuda menyusuri jalan setapak yang berliku-liku.     

Angele menoleh ke kiri.     

Di sebelah kiri, terdapat jalan berbatu hitam, yang terlihat kontras seperti benang hitam di antara rerumputan.     

Hari semakin gelap.     

Dua puluh menit berjalan, sebelum akhirnya Angele melihat sekumpulan bangunan putih di bawah sana.     

Elang itu menukik dan bersiap-siap mendarat.     

Selain elang yang ditunggangi Angele, terdapat dua ekor elang lain yang juga bersiap-siap mendarat. Di tengah kompleks bangunan itu, terdapat sebuah lapangan, dengan lempengan putih di permukaannya. Ada lebih dari sepuluh elang yang sedang menunggu di sana.     

Para tamu yang baru saja turun dari elang berbincang-bincang dengan orang-orang lain seraya berjalan mendekati bangunan terbesar pada kompleks itu.     

Tamu-tamu tersebut terdiri dari laki-laki dan juga perempuan, namun hampir semuanya terlihat muda dan mengenakan jubah putih. Dari sikap mereka, sangat jelas bahwa mereka adalah kaum berpendidikan.     

Perlahan-lahan, elang Angele mendarat di lapangan itu.     

Seorang pelayan berjubah kelabu berjalan mendekatinya.     

"Master, pesta akan dimulai setengah jam lagi. Silakan menunggu di aula keluarga." Pelayan itu adalah seorang gadis muda dengan wajah yang bersih. Dari gelombang mentalnya, gadis itu adalah seorang calon penyihir tingkat 1.     

"Baiklah." Angele melompat turun dari punggung elang itu.     

Ia berbalik dan memandang elang tersebut. Ia senang dengan pengalaman pertamanya menunggang binatang terbang.     

"Berapa harga elang leher putih? Bisakah kubeli di pusat perbelanjaan?" tanya Angele.     

Gadis itu terdiam. Ia tidak menyangka bahwa Angele akan menanyakan hal itu.     

"Kau tidak bisa membeli elang itu di pusat belanja, sobat." Terdengar suara seorang pria muda dari sebelah kiri.     

Dua orang berpenampilan mencolok berjalan mendekati Angele.     

Pria berpenampilan mencolok itu terlihat kekar dan kuat, sementara wanita di sampingnya tampak seksi dan cantik.     

Mereka berdua mengenakan jubah merah dengan pola-pola rumit di bagian tepi jubah. Pola rumit itu memiliki bentuk seperti mata.     

"Kau siapa?" Angele tersenyum juga. Gelombang kekuatan mental mereka menunjukkan bahwa mereka adalah seorang Penyihir tingkat Cairan.     

Tidak ingin memotong pembicaraan antara dua orang penyihir resmi, gadis pelayan berjubah abu-abu itu segera pergi.     

"Namaku Vincent, Vincent Astin. Aku… adalah teman sekelas Isabel."     

Wanita cantik berkepala botak di sebelah Vincent ikut memperkenalkan diri. "Namaku Alice, teman sekelas Isabel."     

"Namaku Green. Aku adalah teman Isabel," jawab Angele dengan sopan.     

"Apa? Teman?" Pria itu terkejut. "Kau bisa berteman dengan wanita dingin itu?"     

"Sudah, ayo kita masuk ke istana dulu," potong Alice.     

Mereka bertiga berjalan perlahan melalui jalan yang terbuat dari lempengan putih itu. Ketiganya menuju ke kastil yang menjulang tinggi tepat di depan mereka.     

Di perjalanan, ada banyak penyihir yang menyapa mereka berdua. Sepertinya, mereka mengenal banyak orang di sini. Namun, ada beberapa penyihir yang menjaga jarak dengan mereka berdua. Angele melihat rasa takut di mata mereka.     

"Penyihir Green, sejujurnya, aku tidak menyangka bahwa Master Isabel akan mengundang orang asing ke pesta ini. Maaf, aku bukan menghina, namun kau tahu kan betapa pentingnya Isabel untuk keluarganya? Semua tetua keluarga adalah pendukung sistem garis keturunan," bisik Vincent.     

"Sistem garis keturunan?"     

"Ah, maaf, aku lupa bahwa kau baru datang ke Nola beberapa waktu lalu." Vincent mengusap dahinya. "Jadi, tempat ini dikuasai oleh dua tipe penyihir, dan setiap tipe mengendalikan tiga menara, tiga kota, dan satu organisasi. Para pendukung sistem garis keturunan ingin menghentikan masuknya imigran ke Nola agar darah mereka tetap murni. Daerah kekuasaan milik Enam Cincin memiliki sumber daya terbanyak, dengan banyak penyihir elit sebagai anggota."     

Angele mengangguk. "Jadi, sistem ini mirip dengan sistem bangsawan di dunia manusia, di mana para bangsawan menikahi keluarganya sendiri agar darah mereka tetap murni."     

"Benar." Vincent mengedikkan bahunya. "Sebenarnya tidak separah itu. Kastil Taring Putih dan Tebing Burung Ular jauh lebih serius. Tebing Burung Ular menikahi saudara agar darah mereka tidak bercampur dengan darah orang luar, sementara Kastil Taring Putih sibuk mencoba membuat ulang darah penyihir kuno pada anggotanya… Darah yang terkontaminasi itu dapat membuat orang menjadi gila. Mereka membuatku ingin muntah."     

"Jadi … keluarga yang mengendalikan Menara Enam Cincin juga mau melakukan hal yang sama?" tanya Angele.     

"Iya…" Vincent terdiam. Ia menegakkan tubuhnya dan membungkuk hormat. Alice juga berhenti tersenyum dan membungkuk pula.     

Angele mendongak dan melihat dua wanita berbalut jubah putih sedang berbincang-bincang sambil berjalan.     

Kedua wanita itu terlihat muda. Sepasang lingkaran perak seukuran kuku jari menghiasi kerah jubah mereka.     

"Hei, membungkuklah!" Vincent menarik lengan pakaian Angele.     

Angele pun mengangguk. Ia segera membungkuk pada kedua wanita itu. Vincent menariknya ke sisi kanan jalan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.