Dunia Penyihir

Kumbang Knell (Bagian 1)



Kumbang Knell (Bagian 1)

Kilat menyambar dan membelah langit, diikuti oleh suara gemuruh yang memecahkan keheningan.     

Duar!     

Hujan deras turun dari langit yang gelap gulita, sehingga memelankan kapal yang masih terus melaju di antara lautan luas yang seakan tak berujung.     

Di bawah cahaya rembulan, kapal kecil itu seperti sehelai daun yang mengapung di tengah ombak yang dahsyat.     

Di dalam kabinnya, Angele berdiri dan menatap permukaan laut yang terombang-ambing terkena hujan melalui jendela. Tetesan air hujan yang membanjiri dek, yang terdengar seakan ingin menghancurkan kapal mereka.     

Duar!     

Kilat kembali membelah langit, sehingga menerangi kabin itu selama beberapa detik.     

Api pada lilin menari-nari mengikuti gerakan ombak yang tak henti-hentinya menerjang kapal. Lilin cair menetes perlahan mengikuti tempat lilin perak dan menggenang di meja kayu.     

Isabel duduk di samping meja, mengambil segenggam bubuk perak dari kantong kulit hitam dan menaburkannya di atas meja.     

Ia mengenakan baju putih ketat berbahan kulit, yang memamerkan lekuk tubuh dan dadanya, seperti seorang musisi kerajaan yang anggun. Rambut hitamnya yang dikuncir kuda tergerai dengan indahnya di atas dadanya.     

Ia sedang berkonsentrasi untuk mengubah bubuk perak itu menjadi bentuk tertentu.     

Setelah beberapa menit, pola-pola rumit dari bubuk itu berubah menjadi rune yang besar dan rumit.     

Angele berhenti menatap lautan dan berbalik.     

"Apa kau siap?" bisiknya.     

"Sebentar lagi." Isabel mengangguk.     

"Sekarang, kuserahkan padamu. Sihir-sihirku tidak berfungsi dalam situasi ini. Aku sudah mencobanya, tapi aku tidak bisa menemukan jalan ke daratan." Angele sudah berusaha keras.     

Isabel mengernyitkan alisnya, "Yah, sihir yang akan kugunakan adalah kombinasi antara teknik ramalan dan pelacakan. Walaupun sihir ini memiliki jangkauan yang bagus, aku tidak bisa menjamin jika ini akan berhasil. Jika ada pulau-pulau lainnya di antara target kita, hasil sihir ini akan menjadi tidak akurat. Partikel energi di Lautan Permata itu sangat pekat. Aku harus memastikan bahwa mantra diucapkan dengan benar dan dengan bahan yang mendukung.     

"Itu jauh lebih baik ketimbang terombang-ambing di laut." Angele tersenyum kecut. "Kita mulai sekarang?"     

Isabel mengangguk.     

Kemudian, ia menyentuh rune itu dengan jari telunjuk tangan kanannya.     

Rune itu memancarkan sinar terang berwarna putih dan berubah menjadi layar putih yang buram.     

Perlahan-lahan, sebuah pulau yang terlihat tidak asing muncul di tengah layar itu.     

Prajurit, kapal-kapal di dermaga, menara pengawal di pantai, bendera segitiga dengan motif benang perak di tengahnya - semuanya tidak asing baginya.     

"Itu adalah pulau di mana kita berangkat!" Walaupun ekspresi wanita itu masih terlihat datar, kilat kegembiraan muncul di dalam kedua matanya.     

"Sejauh apa pulau itu dari posisi kita?" Angele segera berjalan mendekati meja. Cahaya putih layar itu terpantul pada wajah mereka.     

Tersadar akan apa yang harus ia lakukan, Isabel menggoreskan rune di udara dengan jarinya. Rune itu berubah menjadi cahaya putih dan tenggelam masuk ke layar.     

Layar itu menjadi buram selama beberapa detik, namun tidak ada yang terjadi.     

Angele melihat layar itu dengan seksama. Ia menyadari bahwa gambar pulau itu sangat buram. Tidak terdengar suara apa pun.     

"Gambar di layar itu tidak bisa diperbesar. Suaranya pun tidak terdengar... Artinya, kita masih sangat jauh dari pulau..." Ekspresi isabel berubah kecut. "Sepertinya, pulau itu berada pada jarak maksimum sihir ini."     

"Berapa jarak maksimal sihir ini?" tanya Angele dengan suara berat.     

"Sekitar tiga ribu mil laut..." jawab Isabel.     

"Apa?! 3000 mil laut?" seru Angele. Jarak itu kira-kira sama dengan jarak dari Alaska ke New York di bumi, yaitu sekitar lebih dari 5000 kilometer. Dengan kapal mereka, akan membutuhkan berbulan-bulan untuk sampai ke pulau itu.     

"Bahkan jika kita menggunakan sihir untuk mempercepat pergerakan kapal, kita masih harus berlayar di lautan selama 15 hari." Isabel menenangkan dirinya dan mencoba berpikir. "Ada ide, Master Green?"     

"Tidak..." Angele mengernyitkan alisnya. "Panggil saja Green, kita teman kan? Tidak perlu terlalu ... formal."     

"Apa? Bolehkah?" Isabel bertanya dengan ragu.     

"Tentu." Angele mengangguk. "Kita telah kehilangan tiang pancang dan layar kapal, sehingga kapal ini berjalan dengan kecepatan terendahnya. Sekarang, kapal ini hanya bisa bergerak dengan kecepatan dua mil laut per jam. Kita harus mencari cara untuk mempercepat laju kapal ini. Jika tidak, kita akan mati di sini sebelum sampai ke pulau."     

"Tidak masalah, kita bisa menggunakan sihir untuk mempercepat gerakan kapal ini. Masalahnya, sekarang kita berada jauh dari teritori bangsa duyung; artinya, kita sekarang berada di daerah yang berbahaya di bagian tepi Laut Permata, zona yang ditakuti oleh para duyung sekalipun." Isabel menatap layar itu. "Setidaknya, aku bisa mengubah air laut menjadi air minum. Sebentar lagi, perbekalan kita akan habis."     

"Untunglah, aku sempat khawatir dengan suplai air kita. Aku tidak ingin meminum air dari sihir elemen Air. Air dari sihir itu tidak murni dan dapat merusak tubuh kita." Angele berhenti sejenak. "Jadi, bagaimana cara untuk mempercepat kapal ini?"     

Isabel menggigit bibirnya dan mulai berpikir.     

Layar putih itu bersinar terang, dan gambar yang ditampilkan pun berubah.     

Sekarang, layar itu menampilkan batu-batu karang berwarna kelabu dan pantai berpasir kuning yang tak berpenghuni. Hanya ada beberapa penyu yang berjalan-jalan di pantai. Pulau itu sangat kecil dan ditutupi oleh pepohonan berwarna hitam. Sepertinya, tidak ada yang hidup di sana.     

Beberapa detik kemudian, gambar pada layar itu kembali berubah.     

Kini, layar itu menampilkan permukaan laut. Isabel menjentikkan jarinya pada meja dan mengayunkan tangannya.     

Gambar pada layar itu berubah-ubah dengan cepat, namun hanya terlihat laut di sana. Sepertinya, hanya ada dua pulau dalam jarak sihir itu.     

"Hanya itu. Kita harus pergi ke pulau itu." Isabel menatap Angele.     

"Kita harus mencari cara untuk mempercepat pergerakan kapal terlebih dahulu. Jika tidak, akan membutuhkan berbulan-bulan untuk sampai ke pulau. Perbekalan kita nyaris habis, jadi kita harus segera mendarat." Angele mengerutkan bibirnya.     

Isabel mengangguk.     

Suasana menjadi hening. Mereka baru saja menyelamatkan diri dari reruntuhan, tapi sekarang mereka terombang-ambing di laut.     

Hujan terus jatuh ke dek kapal; kilat dan guntur berkecamuk di langit. Angin kencang berhembus melewati lubang-lubang kabin dan membuat pintu-pintu bergerak-gerak.     

Ruangan itu benar-benar sunyi, karena Angele dan Isabel tenggelam dalam pikiran masing-masing.     

"Ke mana para Ksatria Agung itu?" Tiba-tiba, Angele bertanya.     

"Mereka ada di luar untuk menjaga agar air tidak membanjiri dek," jawab Isabel. Waktu sihir layar itu telah habis, sehingga layar putih itu perlahan-lahan menghilang.     

Hanya tersisa sedikit bubuk perak yang ditaburkan Isabel. Rune yang rumit itu telah menjadi berantakan. Asap putih membumbung dari bubuk perak itu, dan sebagian pola bubuk itu menyatu.     

Isabel melambaikan tangannya perlahan-lahan di atas meja dan menyerap bubuk perak itu. Proses itu terlihat mirip dengan bubuk besi yang bergerak ke arah magnet.     

Wanita itu menghela nafas dan berbisik. "Green, apa kau menyukai lautan?"     

Angele, yang tengah berpikir untuk memperbaiki layar kapal dan tiang pancang dengan Sihir Logam-nya, maju setelah mendengar pertanyaan Isabel.     

"Mengapa kau bertanya begitu?"     

Isabel menatap permukaan meja dan menurunkan tangannya. Ia menutupi telapak tangannya dengan bubuk perak.     

"Aku bermimpi bisa berpetualang mengarungi Laut Permata sendirian. Aku juga ingin menjelajahi dunia dan bertemu dengan banyak orang. Cerita-cerita legenda tentang Penyihir kuno selalu membuatku tertarik. Aku membayangkan tentang berpetualang sendirian di laut dan menyeberangi badai yang besar seperti ini. Rasanya seperti hanya ada kita di dunia ini, dan hanya kapal inilah yang akan memberi kita kehangatan."     

Terlihat betapa kesepiannya wanita itu dari sorot matanya. Bubuk perak di telapaknya langsung menghilang menjadi asap putih. "Aku ingin pergi sendiri,meninggalkan semuanya, dan menemukan tempatku sendiri, tempat yang hangat dan nyaman, seperti kehangatan kapal di bawah terpaan badai. Aku suka mendengar deru angin dan rintik hujan. Kau mengerti perasaanku... Kan?"     

"Um..." Angele terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.     

"Sepertinya kau suka membaca novel dan puisi, ya?"     

"Benar, keadaan yang kuceritakan memang terasa seperti puisi." Isabel mengangguk. "Aku sudah bosan bermeditasi dan mencari bahan langka. Aku sudah melakukan itu selama lebih dari 100 tahun di kastil. Aku ingin kehidupan yang penuh warna."     

"Maksudmu kehidupan yang damai? Kau tidak perlu mencari tempat terpencil. Kau hanya perlu menyewa rumah di kota besar dan istirahat." Angele menjawab.     

Angele mengerti bahwa jika keluarga Isabel tidak memaksa, Isabel tidak akan menjadi Penyihir. Seorang Penyihir harus terus belajar dan terus berkembang. Tapi, wanita itu sudah kehilangan motivasinya.     

"Aku ... sudah lelah," gumam Isabel.     

Angele tidak menjawab.     

Walaupun Isabel sangat cantik dan menawan, Angele sama sekali tidak memiliki keinginan untuk merebut hatinya. Walaupun mereka berdua tengah sendiri, Angele hanya ingin membuat wanita itu senang, seperti kedekatan di antara dua sahabat.     

Setelah ia mengobrol dengan Isabel di atas dek, ia menyukai wanita itu sebagai teman.     

Semenjak dulu, seluruh aspek kehidupan Isabel dikendalikan oleh keluarganya, sementara Angele diperlakukan sebagai orang asing saat kembali ke keluarganya setelah empat tahun belajar. Mereka kesepian. Tak ada keluarga yang memahami mereka.     

Itulah mengapa Angele mampu memahami perasaan Isabel. Jika ia menceritakan situasinya saat ini, ia yakin bahwa Isabel pasti akan mengerti.     

"Isabel, perjalanannya masih panjang." Angele menatap mata Isabel.     

Isabel tidak menjawab.     

"Aku akan memeriksa situasi di atas dek." Angele mengenakan tudung kelabunya dan berjalan keluar, sehingga air hujan bercampur angin dingin memasuki kabin itu.     

Kriet     

Pintu kembali tertutup.     

Hujan terus turun, sehingga ia menarik kerahnya agar tidak kedinginan. Seluruh jubah Angele dilapisi oleh cairan perak tipis, sehingga air hujan tidak mampu membasahi jubahnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.