Dunia Penyihir

Reruntuhan (Bagian 3)



Reruntuhan (Bagian 3)

0"Ada yang tidak beres!" Terdengar suara teriakan Melissa dari seberang.     

"Pintu masuknya sudah dibuka." Melissa berdiri di samping salah satu rune penunjuk jam dengan raut wajah putus asa.     

Semua penyihir terkejut. Mereka segera berkumpul di samping Melissa.     

Melissa menunjuk ke sebuah titik putih, yang terlihat kontras dengan garis jam yang gelap itu. Titik itu perlahan berubah menjadi abu-abu.     

Raut wajah Ainphent berubah serius.     

"Titik putih ini menandakan bahwa pintu ini baru dibuka beberapa waktu lalu. Setelah pintu dibuka, titik ini akan berubah menjadi putih dan kemudian perlahan-lahan menjadi abu-abu. Seseorang atau sesuatu telah masuk mendahului kita..."     

"Sesuatu? Maksudmu makhluk-makhluk lain?" tanya Belem.     

"Aku tidak tahu. Kali ini, kita melewati daerah berbatu. Separuh daerah ini penuh dengan pepohonan hitam. Saat kita kemari, kita sudah mengelilingi pulau ini, namun kita tidak menemukan makhluk hidup." Melissa mengernyitkan alisnya.     

"Aneh. Aku yakin bahwa tidak ada yang mengikuti kita ke sini... Artinya, ada pihak lain yang sudah menemukan lokasi pulau ini," bisik Ainphent.     

"Itu tidak mungkin. Kita tidak pernah membocorkan informasi tempat ini."     

Sebelum sempat mengatakan sesuatu, ekspresi Melissa tiba-tiba berubah.     

"Menjauh dari jam matahari itu!" teriaknya.     

Pulau itu bergetar keras, seperti ada gempa bumi yang ingin memusnahkan mereka.     

Mereka segera menjauhi jam matahari itu.     

Gumpalan asap hitam yang membentuk sebuah garis muncul dari puncak penunjuk jam itu. Bentuknya seperti ular yang melilit dan memanjat. Setelah beberapa detik, ular itu berubah menjadi sebuah titik cahaya hitam.     

Gempa itu berhenti. Asap putih perlahan membumbung dan melayang-layang dari permukaan jam matahari itu.     

Tiba-tiba, terdengar suara wanita yang sangat indah dan melengking. Suara itu terdengar seperti suara penyanyi opera.     

"Kampung halamanku yang tercinta.     

Suatu hari nanti, aku akan kembali     

Telah lama diriku pergi berlabuh.     

Aku merindukan keindahan musim panas dan nyanyian katak yang indah.     

Bersama-sama, kita akan menikmati camilan serangga     

Sambil mendengarkan suara teriakan yang indah,     

kita bernyanyi, menari, dan berpesta.     

Di bawah naungan langit merah darah, di atas tanah yang hangat seperti lahar.     

Darah dalam gelas minuman kita terasa lembut dan enak.     

Kita tertawa, kita mencongkel bola mata kita...     

Kita bernyanyi dan mengunyah bola mata masing-masing..."     

"Lagu macam apa ini?"     

Angele melihat sekelilingnya. Sepertinya, suara itu datang dari segala arah, sehingga memecahkan kesunyian pulau yang kosong dan sepi ini.     

"Aku tidak tahu. Aku tidak pernah mempelajari bahasa ini. Tapi, entah kenapa, aku tahu arti lirik lagunya." Isabell mengernyitkan alisnya.     

"Aku tidak suka lagu menjijikkan ini."     

Ainphent menggeleng.     

Para pengikut memeriksa sekeliling mereka dengan raut wajah serius, sementara lagu mengerikan itu terus bergema. Akhirnya, selama beberapa menit dan beberapa pengulangan, lagu itu akhirnya berhenti.     

Krak!     

Tiga lorong gelap terbuka di atas jam matahari. Ketiganya memiliki lebar sekitar 1 meter, dengan tangga batu putih panjang berbentuk spiral yang mengarah ke kegelapan yang tak berujung.     

Anehnya, ketiga pintu itu perlahan menjadi buram, seperti akan menghilang.     

"Tunggu apa lagi? Masuklah ke dalam reruntuhan itu! Ada seseorang yang mengaktifkan jebakan di dalam, sehingga ada yang berubah di sini!" Melissa berteriak dan menunjuk ke arah tiga pintu masuk itu.     

Secercah cahaya putih melesat dari ujung jarinya. Cahaya itu terbagi menjadi tiga, yang kemudian menempel di ketiga pintu itu.     

Ketiga lorong itu tidak lagi buram.     

Tanpa mengatakan apa pun, Melissa berlari memasuki pintu masuk terdekat dan menghilang dalam kegelapan.     

"Ayo!" Ainphent berteriak dan mengikuti Melissa memasuki pintu yang sama. Pengikutnya pun segera mengikuti.     

Kuirman melihat sekelilingnya dan berlari masuk ke pintu yang berbeda. Angele melihatnya sekilas seraya melihat lorong mana yang dimasuki penyihir lainnya.     

"Hmm."     

Ia berjalan memasuki pintu lorong pilihan Kuirman.     

Lorong itu sangat gelap, hingga Angele merasa seperti memasuki dunia kegelapan. Tidak ada yang terlihat selain tangga batu yang melayang di udara.     

Angele berjalan menuruni tangga. Suara tapak kakinya bergema di sekitar tempat itu.     

Ia melihat sekelilingnya dan memastikan bahwa tidak ada benda lain di sana. Kemudian, ia menciptakan sebilah pisau perak di telapak tangannya.     

Shing!     

Ia melemparkan pisau itu ke kanan. Pisaunya terbang dan memasuki kegelapan, seperti ditelan makhluk halus. Ia tidak mendengar suara pisau itu menabrak benda lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa sisi kiri dan kanan tangga itu kosong.     

Ia tidak tahu panjang tangga itu. Bahkan, ujung tangga itu saja tidak terlihat.     

Tap! Tap!     

Angele hanya mendengar suara telapak kakinya dan merasa bulu kuduknya berdiri.     

Angele menoleh ke belakang. Ia melihat pintu masuk telah menghilang dalam gelapnya bayangan itu.     

Setelah melihat bagian bawahnya, Angele pun terkejut. Ia perlahan maju selangkah dan berhenti.     

Setelah Angele pergi selangkah saja, anak tangga yang awalnya ia lewati tiba-tiba menghilang.     

Ia mencoba naik ke anak tangga yang menghilang itu, namun ia tidak merasakan apa-apa.     

"Tempat ini..."     

Jantung Angele berdegup kencang.     

Dengan menjentikkan jarinya, ia memunculkan sebuah bola api merah. Bola api itu melayang di sisi kanannya, sehingga sinar kuning terang bola itu menerangi tempat di sekitar Angele.     

Angele hanya terdiam. Dengan bantuan cahaya itu, Angele dapat memeriksa sekelilingnya dengan teliti.     

Namun, ia hanya bisa melihat tangga di depannya. Area lainnya diselimuti aura gelap yang aneh.     

"Ha," Angele menyeringai. Tiba-tiba, titik-titik biru muncul di depan matanya.     

'Zero, bisakah kau memeriksa keadaan di sekelilingku?'     

'Misi telah dibuat… Memeriksa... Memindahkan… Selesai.' Zero melaporkan.     

Hissss!     

Suara aneh seperti desisan ular bergema di pikiran Angele. Tiba-tiba, kedua matanya berpendar biru.     

Duar!     

Pemandangan di sekitarnya berubah. Seketika, ia berdiri di atas anak tangga yang becek di dalam sebuah lorong gelap.     

Bola api yang melayang di sekitar kepalanya menerangi tempat itu.     

Dinding lorong itu dibangun dengan bata berwarna kuning muda, sehibgga terlihat kontras dengan lantai yang berwarna hitam. Terdengar suara tapak kaki pelan di depannya - ada orang di sini.     

'Peringatan... Medan gaya tidak diketahui telah terdeteksi! Chip sedang… css… terganggu! Medan gaya... adalah...'     

Angele tidak mengerti perkataan Zero. Suara chip yang biasanya seperti robot telah bercampur dengan berbagai macam suara lainnya.     

Pandangan Angele kembali menjadi buram dan berubah-ubah antara terang dan gelap. Awalnya, ia merasa bahwa ia berdiri di sebuah lorong, namun tiba-tiba ia melihat kegelapan yang tak berujung di depannya.     

"Sialan! Tempat macam apa ini?!" umpat Angele pelan.     

Ia berbalik dan berlari keluar.     

Ia berlari kencang, sementara pemandangan di sekitarnya terus berubah-ubah. Dalam beberapa menit, ia melihat sebuah pintu dan langit biru yang cerah.     

Angele langsung keluar tanpa membuang waktu.     

"Di mana aku...?" Angele melihat sekelilingnya.     

Pepohonan di sana berwarna hijau. Angin sepoi-sepoi menggoyangkan dedaunan itu.     

"Lorong itu masih ada di sini?" Angele menoleh ke belakang. Ia melihat lorong yang masih gelap itu.     

Tiba-tiba, sebuah rencana terlintas di kepalanya. Ia segera berjalan kembali ke lorong.     

Shing!     

Chip-nya tidak lagi terganggu, dan akhirnya berfungsi normal. Dari dalam lorong, terlihat bebatuan hitam di luar, yang menunjukkan bahwa jalan keluar itu mengarah ke jam matahari di mana mereka masuk.     

'Jadi, itu hanya ilusi?"     

Angele mengangkat tangan kirinya. Ia melihat signet di tangannya terus mengepakkan sayap. Sepertinya, signet itu telah menjadi lebih besar.     

'Medan gaya tidak diketahui telah menghilang.' lapor Zero.     

Signet it memanas dan menyerap energi di udara perlahan-lahan. Sepertinya, darah harpy pada signet-nya membantunya bertahan melawan ilusi itu, namun ia membutuhkan beberapa saat untuk menciptakan pertahanan. Itulah mengapa ia masih melihat ilusi selama beberapa saat.     

Angele menenangkan dirinya dan segera menuruni tangga.     

Lorong itu lembab. Bau khas lumut dan jamur tercium di udara.     

Setelah berbelok dua kali, sosok yang tidak asing terlihat di depan matanya.     

Kuirman. Cahaya dari obor pria itu menciptakan bayangan hitam yang menari-nari di atas jubah hijau spesial itu. Kuirman perlahan-lahan berjalan maju dan menyusuri tempat itu.     

Setelah mendengar suara tapak kaki seseorang, Kuirman berbalik dan melihat Angele menatapnya dari ujung lorong.     

"Kau datang padaku sendiri?" tanya Kuirman. Ia nampak terkejut. "Kau tahu kau tidak bisa mengalahkanku, kan? Apa kau bodoh? Bagaimana kau bisa jadi penyihir resmi?" Kuirman baru saja memprovokasinya. "Mati saja kau!"     

Tanpa membuang waktu, Angele melemparkan sebuah jantung biru pada Kuirman.     

Duar!     

Tetesan cairan biru yang sangat dingin terciprat ke mana-mana, sehingga seluruh dinding dan lantai lorong itu menjadi berwarna biru.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.