Dunia Penyihir

Pergerakan (2)



Pergerakan (2)

0Di sebuah padang rumput yang jauh di sana.     

Awan-awan tebal berjalan perlahan mengikuti arah angin.     

Orang-orang berjubah putih dan biru saling serang di atas padang rumput itu.     

Di sebuah tebing tinggi, tepat di belakang prajurit berjubah putih.     

Vivian berdiri di tepi jurang sambil menatap pertarungan yang terus berlanjut di bawah sana. Tiga orang pengawal berdiri di belakangnya: dua lelaki dan satu wanita. Jubah putih yang mereka kenakan dihiasi oleh bordir-bordir emas.     

Suara-suara teriakan para penyihir, ledakan sihir-sihir, dan kilat-kilat yang ditembakkan bercampur aduk menjadi satu hingga cukup kuat untuk mengguncangkan seluruh tempat itu.     

Vivian mengerutkan bibirnya, menatap enam penyihir bersenjata lengkap yang sedang dilindungi oleh sekelompok penyihir berjubah biru di seberang.     

"Semua kepala sedang ada di sini, kita bisa melakukan serangan mendadak dan langsung menyerang kota mereka. Wajah mereka yang penuh rasa putus asa akan sangat menarik," kata Vivian dengan tenang.     

"Master Vivian, kukira kita hanya perlu melawan kepala pertama, karena kepala-kepala organisasi lainnya sangat lemah. Menurutku, pertarungan ini sudah menjadi kemenangan kita," kata seorang penyihir pria di belakang Vivian. Senyum tersungging di wajahnya.     

"Terlalu cepat untuk merayakan kemenangan." Vivian menggeleng. "Semua kepala ada di sini, artinya benda itu juga ada di sini. Jika benda itu diaktifkan, kita pasti akan kalah."     

Ketiga penyihir saling pandang. Mereka mengerti benda yang dimaksud Vivian.     

Vivian menatap kepala- kepala berzirah biru itu dengan pandangan bercampur antara marah dan bahagia.     

"Aku akan mengaktifkan lingkaran sihir gravitasi-ku. Aku ingin melihat apa yang bisa dilakukan 'Harta Para Ketua' ini. Alat sihir bernama 'Aura Ilusi' itu… Jika semua berjalan lancar, aku akan memberi alat itu pada Angele."     

**     

Angele berdiri di dalam hutan dan bersandar pada batang pohon besar. Ia memegang benda kecil yang mirip seperti jam saku.     

Benda itu terbuat dari logam dan berwarna hitam. Di tengah permukaan benda itu, terdapat sebuah tombol merah.     

Alat kecil yang berat itu berguna untuk mengaktifkan semua lingkaran sihir yang digambarkannya sejak tadi.     

"Perhatikan gelombang energi dari lingkaran sihir gravitasi, dan tekan tombol saat gelombang dari lingkaran itu cukup kuat," kata Henn.     

"Cukup kuat? Bagaimana cara mengetahui hal itu?" tanya Angele.     

"Hmm, lingkaran sihir gravitasi itu ditopang oleh enam lingkaran rune, yang berfungsi untuk mengirim semua energi tersebut ke tempat di mana Vivian berada. Setelah lingkaran rune terakhir aktif, tekan tombol itu."     

"Ini kedengarannya sangat mudah. Apa kau yakin bahwa Vivian tidak akan tahu jika jebakan ini adalah buatanku?"     

"Jangan khawatir, semuanya berjalan sesuai rencana," jawab Henn penuh percaya diri.     

"Baiklah kalau begitu."     

Mereka berhenti berbicara dan berdiam di hutan seraya menunggu aktivasi lingkaran rune.     

**     

"Giliran kita…" Vivian berdiri di atas tebing dan mengangkat tangannya. Matanya yang bersinar merah terlihat seperti dua kubus bercahaya dari kejauhan.     

Tap!     

Ketiga penyihir di belakang Vivian melompat turun dari tebing dan memasuki medan pertarungan. Mereka melepaskan gelombang energi bening yang terus membesar.     

Semua penyihir berjubah biru dalam radius gelombang itu meledak menjadi kubangan darah.     

Vivian masih terus menatap situasi di medan pertarungan. Keenam kepala organisasi itu memiliki umur dan jenis kelamin yang berbeda-beda. Ia melihat seorang pria tua berambut panjang berwarna putih, seorang pria muda bertubuh kekar, pria pendek bertubuh kurus, dan wanita muda yang cantik jelita.     

Di belakang prajurit berjubah biru itu, para kepala organisasi membentuk lingkaran; masing-masing membawa senjata. Ada yang membawa pedang panjang, namun ada juga yang membawa tongkat sihir pendek.     

Melihat mata Vivian yang bersinar, keenam kepala organisasi mengangkat senjata mereka masing-masing, seakan menunjukkan cahaya putih pada senjata mereka. Di tengah lingkaran yang mereka buat, sebuah lubang transparan muncul perlahan.     

Sebuah mata biru muncul dan terbuka di tengah lubang tersebut.     

Shing!     

Laser biru yang sangat dingin muncul dari mata itu dan melesat ke arah Vivian.     

Vivian, yang rambutnya menari-nari karena tertiup angin, segera mengayunkan tangan kanannya.     

Duar!     

Tebing tempat mereka berdiri tadi hancur terkena serangan partikel energi.     

Tebing itu hancur, sehingga batu-batu besar menghujani medan perang.     

Suara dari batu-batu yang berguling dan hancur itu benar-benar memekakkan telinga.     

Namun, tiba-tiba Vivian menghentikan batu-batu tersebut dan mengumpulkannya di sekitarnya. Ia menjadi kristal-kristal ungu yang dihubungkan dengan rantai raksasa.     

Vivian menarik semua batu itu dan menggabungkannya menjadi sebuah bola hitam raksasa.     

Duar!     

Cahaya laser biru itu menusuk bola buatan Vivian.     

Namun, laser itu tidak dapat menembus bola tersebut.     

Vivian dan keenam kepala terus berusaha mengerahkan lebih banyak energi untuk sihir mereka.     

Bola hitam di langit itu terus menarik sisa-sisa batu dari tebing yang hancur itu, sementara laser biru terus muncul dari tengah mata raksasa buatan para kepala organisasi.     

Vivian menurunkan tangan kirinya dan menatap lingkaran keenam penyihir berbaju zirah itu.     

Tiba-tiba, ia mengangkat tangan kirinya dan menunjuk ke arah formasi keenam kepala.     

Duar!     

Panah dari energi meledak di depan keenam kepala itu.     

Ledakan itu meninggalkan lubang sedalam lima meter dan mencipratkan bebatuan serta lumpur ke arah para kepala. Namun, mereka tidak terluka sama sekali.     

"Ha? Ada yang mengubah arah panahku?" tanya Vivian. Ia tampak terkejut dan penasaran.     

Ia memutuskan untuk menggunakan partikel energi dan mengeraskan suaranya.     

"Jadi, itu adalah kekuatan Aura Ilusi, ya? Sayangnya, kalian telah salah menilai kekuatanku." Setelah mendengar suara Vivian, seluruh ekspresi keenam kepala itu berubah.     

"Dia masih punya cukup kekuatan mental untuk menggunakan sihir! Morris! Kirimkan pesan pada kelompok pembantu di belakang!" teriak si pria tua berambut putih.     

Tidak peduli dengan situasi itu, Vivian menembakkan panah-panah energi pada pasukan berjubah biru.     

Duar! Duar! Duar!     

Ledakan-ledakan itu meninggalkan banyak lubang di tanah.     

Sisa-sisa lumpur dan kepingan batu terus beterbangan. Ada banyak penyihir berjubah biru yang hancur berkeping-keping, hingga menjadi sisa tangan dan kaki manusia yang terpotong-potong dan menghujani tanah.     

Darah dari mayat-mayat itu membuat tanah menjadi merah.     

Vivian tersenyum keji. Cahaya merah pada matanya semakin terang. Setiap kali ia menunjuk ke tanah, lubang besar akan muncul. Teriakan-teriakan takut dan putus asa para penyihir berjubah biru terus bergema, sehingga mewarnai tempat itu dengan keputusasaan dan kesedihan yang mengerikan.     

"Sudah cukup!"     

Saat suara marah dan berat seorang pria bergema, tangan biru raksasa tiba-tiba terbentuk dan bergerak cepat ke arah Vivian.     

Tangan itu memiliki panjang lebih dari sepuluh meter dan sangat besar, seperti tangan para raksasa kuno. Tangan yang terlihat berat itu menutupi seluruh langit.     

"Akhirnya, inilah yang kutunggu-tunggu!" Vivian segera menggambar salib merah di tengah dadanya.     

Salib merah itu terus bersinar.     

"Inti Torrea, kekuatan negeri yang kupijak, pinjamkan kekuatanmu padaku…" gumamnya sambil mengaktifkan lingkaran sihir gravitasi-nya.     

Setelah mantra itu selesai, seluruh tempat itu bergetar.     

Sisa-sisa tebing di bawah kakinya berubah menjadi raksasa setinggi 30 meter yang terbuat dari lumpur dan batu.     

Setelah raksasa itu terbentuk, Vivian melompat ke pundak kiri raksasa buatannya.     

Raksasa itu mengangkat tangan kanannya untuk menangkis tangan biru dari langit itu.     

Brak!     

Melihat kedua sihir kuat itu saling bertabrakan, semua penyihir berjubah putih dan biru segera mundur. Mereka tidak lagi bisa membantu.     

Vivian terus tersenyum di atas pundak raksasa buatannya.     

"Serangan dari dunia lain dengan memanggil tetua roh badai raksasa, ya? Kalau begitu…" Vivian menepuk tangannya beberapa kali.     

Asap merah keluar dari permukaan batu raksasa itu, yang diikuti oleh lahar panas merah membara.     

"Jika kau bisa menangkis serangan terkuat-ku, akan kubiarkan kau pergi dan kembali ke daerah asalmu." Suara Vivian menggema. Ia memastikan bahwa semua petarung dalam medan perang itu mendengarnya.     

"Bajing*n sombong!" Terdengar teriakan salah satu kepala.     

Vivian kembali mengangkat kedua tangannya. Tiba-tiba, muncul bola cahaya merah di kedua telapak tangannya. Bola itu menjadi semakin terang seiring berjalannya waktu.     

**     

"Ini dia! Inilah kesempatan kita!" teriak Henn.     

Angele mendongak dan melihat puncak gunung bersalju itu, tepat ke arah gelombang energi dari lingkaran rune keenam.     

Tap!     

Tanpa ragu, ia menekan tombol itu.     

Tidak ada yang terjadi.     

"Sial!" teriak Henn.     

Lingkaran rune keenam tidak aktif, sehingga tidak semua gelombang dari lingkaran buatan mereka terkirim ke lingkaran sihir gravitasi utama.     

"Yah, aku sudah melakukan permintaanmu. Aku sudah menekan tombolnya saat kau menyuruhku. Baiklah, aku sudah menyelesaikan misi," kata Angele dengan tenang.     

"Sial! Aku gagal! Misi ini gagal! Kau harus…" Henn berteriak-teriak.     

"Apa urusannya denganku? Apa lagi yang harus aku lakukan? Aku sudah bilang bahwa aku BUKANLAH BONEKAMU!" Angele sudah kehabisan kesabaran. "Aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk hal bodoh ini!"     

Ia mengaktifkan patungnya, kemudian berbalik dan menghilang di balik hutan. Ia memutuskan untuk kembali ke Sungai Bass.     

**     

Vivian perlahan menurunkan tangannya. Cahaya merah pada matanya telah meredup.     

Ia duduk di pundak batu raksasanya, yang sedang berlari dengan sangat cepat.     

Brak! Brak!     

Tapak kaki raksasa itu terdengar seperti petir yang menyambar-nyambar. Sementara itu, para prajurit berjubah putih ikut maju ke kota selanjutnya.     

Vivian menunggu sepuluh detik sebelum mengaktifkan lingkaran sihir gravitasi-nya.     

Walaupun penundaan itu nyaris saja membuatnya kalah, Vivian sama sekali tidak menyesal.     

Ia mengangkat tangan kanannya dan menatap rune hitam berbentuk ular yang masih berkedip-kedip di ujung jari telunjuknya.     

Beberapa hari lalu, Angele mengirimkan dua pesan prioritas tinggi yang memintanya untuk menunggu selama sepuluh detik sebelum menggunakan sihir terkuatnya.     

Vivian terheran-heran, karena Angele tidak mengatakan alasannya. Namun, ia memutuskan untuk mendengarkan anaknya. Ia sangat percaya pada anaknya, sehingga ia melakukan permintaannya tanpa ragu sedikit pun.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.