Dunia Penyihir

Kota Kabut Putih (Bagian 2)



Kota Kabut Putih (Bagian 2)

0"Stigma!" Angele tiba-tiba berteriak. Ia berusaha menghentikan mereka agar tidak memasuki tempat itu.     

"Ada apa?" Ketiga penyihir itu menoleh secara bersamaan.     

Angele mengangkat kotak hitam di tangannya.     

"Percayalah padaku. Aku yakin bahwa kotak ini bukan milikku, namun seseorang meletakkan kotak ini di tanganku entah kapan. Berpikirlah dua kali sebelum bertindak." Angele terdiam sebelum melanjutkan, "Jika hantu ini bisa memberiku kotak ini tanpa sepengetahuanku, aku yakin bahwa ia bisa menusuk jantung kita sebelum kita sadar apa yang sedang terjadi."     

Hikari dan Stigma terdiam, sementara Reyline menggeleng.     

"Green, aku bukan lagi penyihir yang kau kalahkan. Rasa takut hanya akan menghambat kemajuanmu."     

"Aku tidak takut," jawab Angele dengan tenang. "Untuk apa kau mengambil risiko yang tidak perlu? Setelah menantang bahaya, kita hampir sampai di Omandis, dan kita tidak bisa bertarung dengan makhluk tak kasat mata."     

"Akui saja bahwa kau takut." Reyline tersenyum kecut dan menatap kotak yang ada di tangan kanan Angele. "Kalau kau tidak takut, hantu itu tidak akan memberikan kotak itu padamu."     

Angele terdiam, karena ia tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan itu.     

"Sudahlah, tidak perlu bertengkar. Ini bukanlah masalah besar. Kita masih satu tim." Stigma berusaha melerai mereka.     

"Ayo kita masuk." Reyline menggeleng dan berbalik. Ia berjalan melewati kabut putih yang menyelimuti kota itu hingga menghilang dari pandangan semua orang. Stigma tersenyum kecut, seakan merasa bersalah. Ia pun mengangguk dan berjalan masuk mengikuti Reyline bersama dengan Hikari.     

Angele dan Morissa menunggu di luar gerbang kota dan menatap ketiga penyihir yang menghilang dalam kabut itu.     

Hari semakin gelap, awan semakin tebal, dan angin bertiup semakin kencang.     

"Mengapa kau tidak ikut?" tanya Angele.     

Morissa terdiam sesaat sebelum memutuskan untuk menjawab.     

"Aku melihat hal yang … sangat mengerikan. Sejujurnya, aku hanyalah penyihir lemah tanpa kemampuan bertarung yang fokus mempelajari dan memodifikasi sihir-sihir penyembuh di Menara Enam Cincin. Walaupun aku lemah, aku dapat merasakan keberadaan hantu, dan aku bisa melihat hal-hal yang tak kasat mata…"     

"Ha? Walau mereka tak mau menunjukkan diri…?" Angele memicingkan matanya.     

"Iya. Aku percaya bahwa kotak itu bukan milikmu. Aura-nya sama seperti wanita yang kulihat di kamar tadi. Bagaimana jika kau buang saja benda itu?" tanya Morissa dengan santai.     

Angele mengingat tantangan-tantangan yang ia temui dalam perjalanan ini, mulai dari Cloud Bee, roh badai, dan berbagai macam hewan-hewan lainnya. Namun, dengan bantuan Stigma, mereka berhasil menghindari sebagian besar makhluk-makhluk berbahaya dalam perjalanan menuju ke sini. Morissa, seorang penyihir yang lemah, bahkan banyak membantu saat Stigma terluka parah.     

Ada kemungkinan bahwa semua tantangan ini sudah dirancang Menara Penyihir Kegelapan. Mereka ingin tahu apakah ia cukup kuat untuk sampai di Omandis dalam keadaan hidup.     

Angele menggeleng dan menghela nafas. Perasaannya bercampur aduk. "Mari kita cari tempat untuk beristirahat. Kita akan menunggu mereka membunuh hantu itu."     

"Baiklah."     

Mereka berjalan masuk ke hutan, hingga akhirnya sampai ke dataran kecil yang kosong.     

Dengan kekuatan Sihir Logam-nya, ia memotong beberapa pohon besar menjadi papan-papan kecil. Kemudian, ia mengikat semua papan itu dan menancapkan-nya ke dalam lumpur.     

Dalam setengah jam, gubuk kecil dari kayu telah berdiri, dengan dinding dan atap yang dilapisi logam berwarna keperakan. Lapisan itu berfungsi untuk memperkuat gubuk agar gubuk itu tidak roboh karena terpaan badai.     

Gubuk itu kecil, namun cukup luas untuk menampung dua orang.     

Dengan bantuan pengukuran Zero, tidak ada bagian kayu yang terbuang atau tersisa. Saat malam tiba, gubuk itu telah siap ditinggali.     

Memotong kayu dan menghubungkan papan-papan adalah hal yang sangat mudah.     

Angele berdiri di depan pintu gubuk seraya menatap kota berkabut itu dari celah pepohonan.     

Morissa telah mengumpulkan cabang-cabang kering sebagai bahan bakar api unggun untuk memasak.     

Saat Angele memainkan kotak hitam di tangannya, titik-titik cahaya biru bersinar di depan matanya.     

Tiba-tiba, ia melemparkan kotak itu ke udara.     

Kotak itu melesat cepat, hingga terlihat seperti kilat yang melintasi langit, sebelum akhirnya menghilang.     

Ia melemparkan kotak itu sekuat tenaga, sampai akhirnya kotak itu masuk ke Kota Kabut Putih.     

"Apa … yang kau lakukan?" Terdengar suara seorang wanita dari belakangnya.     

Angele langsung berbalik dan melihat Morissa menatapnya dengan kebingungan. Wanita itu ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada suara yang terdengar dari mulutnya.     

Angele merasa seperti telinganya telah ditutupi oleh sepasang selimut tebal.     

Beberapa detik kemudian, akhirnya suara Morissa kembali terdengar.     

"Master Green? Apa kau baik-baik saja, Master Green?" Morissa menunjuk kaki Angele dengan kebingungan. "Kotak-mu terjatuh."     

Angele pun terkejut dan segera melihat ke bawah.     

Kotak hitam itu tergeletak di atas rerumputan, tepat di samping kakinya, seakan kotak itu terjatuh secara tidak sengaja.     

Bulu kuduk Angele berdiri. Ia yakin telah melemparkan kotak itu.     

Selain itu, suara pertama tadi bukanlah suara Morissa. Suara pertama terdengar berat dan serak, seperti suara seorang wanita tua yang gemetar.     

"Tidak ada apa-apa, aku tidak sengaja menjatuhkannya." Angele mengambil kotak itu.     

"Baiklah, aku akan memasak makanan dan sup." Morissa mengangguk, kemudian ia berbalik dan memasuki gubuk.     

'Zero, tunjukkan rekaman kejadian tadi. Aku ingin tahu apa yang tadi terjadi,' perintah Angele seraya menarik nafas dalam-dalam.     

'Memuat rekaman…'     

Beberapa detik kemudian, penglihatan Angele menjadi buram. Rekaman kejadian tadi muncul di depan matanya. Rekaman dimulai saat ia masih memainkan kotak itu.     

Ia melihat rekaman itu dengan teliti.     

Di rekaman itu, ia berdiri di depan gubuk dan menjatuhkan kotak itu tanpa sengaja, seakan-akan tubuhnya menjadi lumpuh selama beberapa detik. Setelah kotak itu terjatuh, Morissa berbicara padanya. Selain itu, tidak ada hal aneh yang terjadi.     

Ekspresi Angele berubah kecut. Ia tidak percaya bahwa rekaman chip-nya menunjukkan bahwa ia tidak melemparkan kotak tersebut.     

Zero merekam kejadian di sekitarnya dengan menggunakan pantulan gelombang mental Angele, sehingga rekaman itu tidak mungkin salah. Jika ingatannya berbeda dengan rekaman itu, maka hanya ada satu kemungkinan.     

Seseorang atau sesuatu mengubah ingatannya dan membuatnya berpikir bahwa ia telah melemparkan kotak itu. Padahal, ia hanya menjatuhkan kotak itu.     

"Apa-apaan ini… Ya ampun, inilah mengapa aku benci hantu…" Angele menghela nafas. Ia berusaha membuka kotak itu, namun kotak itu tersegel, sehingga tidak bisa terbuka. Tutup kotak itu hanyalah dekorasi palsu yang tidak berfungsi.     

Ia sudah beberapa kali terkena kutukan hantu. Berdasarkan pengalamannya, menghilangkan kutukan secara sepenuhnya adalah hal yang tidak mungkin. Sebagai seorang penyihir tingkat tinggi, awalnya Angele yakin akan mampu menghindari kutukan itu kali ini.     

Ia berjalan masuk ke gubuk dan menyantap sup jamur buatan Morissa.     

Hari sudah malam.     

Angin bertiup kencang melalui pintu. Terdengar suara seperti orang yang menangis dan mengetuk-ngetuk pintu agar diizinkan masuk.     

Angele duduk di dekat api unggun. Ia berusaha menghubungi Stigma dengan rune komunikasi-nya.     

Rune komunikasi Stigma, yang berwarna hitam dan berbentuk bunga matahari, bersinar di atas kukunya.     

"Bagaimana situasi di sana?" tanya Angele.     

"Kami baik-baik saja. Reyline sudah memeriksa seluruh gedung, tapi tidak ada apa-apa. Kita sedang makan sekarang," jawab Stigma.     

"Berhati-hatilah. Aku yakin bahwa hantu itu masih ada di sana. Apa kau ingat kotak hitam yang tadi kutunjukkan padamu?"     

"Iya, kenapa?"     

"Aku melempar kotak itu, tapi kotak itu muncul di samping kakiku dalam beberapa detik," kata Angele dengan suara berat.     

"Kembali ke kakimu?" tanya Stigma dengan terkejut. "Ayolah, jangan menakut-nakuti aku. Ini tidak lucu."     

"Aku tidak sedang bercanda…"     

Angele berdiri dan menoleh ke arah Morissa. Wanita itu telah tertidur pulas.     

Ia berjalan keluar dan melanjutkan pembicaraannya dengan Stigma.     

"Aku serius. Aku yakin sudah melemparnya, tapi…"     

Tiba-tiba, sosok yang tidak asing muncul di depannya.     

Rambut hitam pendek, wajah pucat, jubah hitam, dan dengan pisau hitam tersemat di pinggangnya.     

Stigma.     

Wajah pria itu berlumuran darah. Ia sedang berlari kencang menuju gubuk.     

"Green! Lari! Ada yang mengejar kita! Ya ampun!" Stigma berteriak.     

"Hei, Green, ada apa?" Terdengar suara Stigma dari rune komunikasi-nya. "Sup jamur kita sudah matang, tapi rasanya hambar. Kita butuh bumbu darimu…"     

Angele melihat pria yang berlari menuju ke arahnya dan mendengarkan suara dari rune komunikasi itu. Bulu kuduknya berdiri karena ketakutan.     

"Ada apa ini?! Kau hanya ilusi, kan?"     

"Green, kumohon dengarkan aku! Kita harus pergi sekarang!" Stigma berusaha terus berlari, hingga ia nyaris tersandung dan jatuh.     

Angele terdiam. Ia masih terus berusaha mencari Stigma yang sesungguhnya.     

Pesan dari rune komunikasi mengatakan bahwa Stigma sedang makan bersama Reyline, namun Stigma yang ada di depannya benar-benar berlumuran darah.     

"Apa kau benar-benar Stigma?! Buktikan padaku!" tanya Angele seraya mundur selangkah.     

"Sialan, lagi-lagi seperti ini! Makhluk sialan itu telah menipuku dan Reyline dengan metode yang sama!" Nafas Stigma terengah-engah. Ia segera mengaktifkan rune komunikasi di kukunya.     

Shing!     

Rune hitam berbentuk ular muncul di atas kukunya. Itu adalah rune komunikasi Angele.     

Seketika, suara dari rune komunikasi Stigma di kuku Angele berubah drastis.     

"Green, apa kau masih di sana? Ada apa?" Suara dari rune Stigma di kuku Angele berubah menjadi suara wanita tua yang gemetar.     

Itu adalah suara seorang wanita yang berusaha meniru suara Stigma.     

"Sialan! Yang mana yang asli?" Angele mengernyitkan alisnya dan mundur selangkah. Titik-titik berwarna biru bersinar di depan matanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.