Dunia Penyihir

Pedang Kebesaran Ular (Bagian 2)



Pedang Kebesaran Ular (Bagian 2)

0Angele membuka pintu dan berjalan masuk. Ia melihat ada orang yang sedang duduk di sofa.     

Ia nyaris saja menarik pedangnya, sebelum akhirnya ia sadar bahwa satu-satunya orang lain yang ada di sini hanyalah Freia.     

"Freia, kau belum tidur?" tanya Angele dengan lembut.     

"Green?" Freia berdiri dan berlari mendekat. "Kukira kau tidak akan kembali…"     

Freia melompat dan memeluk Angele. Tubuhnya gemetar karena dinginnya ruang tamu saat malam. Wajahnya terlihat pucat, dan alisnya berkedut-kedut. Sepertinya, ia baru saja bermimpi buruk.     

"Itu tidak akan pernah terjadi." Angele mengusap rambut hitam panjang Freia. "Ada apa? Kenakanlah pakaian yang lebih tebal."     

Angele menjentikkan jarinya dan memunculkan bola api merah untuk menghangatkan ruangan itu.     

Wajah Freia memucat, dan ia terdiam. Beberapa menit kemudian, akhirnya ia memeluk Angele erat-erat.     

"Green, aku tahu bahwa kau meninggalkan rumah saat malam tiba…" Tubuh kecil Freia gemetar ketakutan. "Mimpi buruk itu terus menghantuiku hingga aku tidak bisa tidur, jadi aku memutuskan untuk duduk di ruang tamu. Aku ingin pergi ke taman, tapi aku takut pergi sendirian. Saat hujan, aku melihat ada yang mengintip. Aku takut. Aku ingin bicara denganmu, namun kau tidak ada di rumah…"     

Angele hanya merasakan tubuh gadis yang sangat dingin dan lembut itu dan tidak menjawab. Ia harus kembali ke dunianya saat malam tiba. Ia tidak bisa tinggal di sini untuk waktu yang lama.     

Ia telah mencoba membawa Freia ke dunianya, namun semua percobaannya tidak berhasil.     

Terlalu banyak hal misterius di Dunia Mimpi Buruk, sehingga Freia tidak mungkin bisa tinggal sendiri di rumah itu. Rumah itu terlalu besar, dan saat gadis itu menyadari bahwa Angele tidak di rumah, ketakutan akan semakin mengakar di pikirannya.     

Angele yakin bahwa walaupun Freia adalah seorang pria, ia tidak akan bisa menahan rasa kesepiannya.     

"Dengarkan aku. Aku akan tinggal di sini menemanimu. Tidurlah." Angele berdiri, menggendong Frreia dengan kedua tangannya, dan berjalan ke sofa. Bola api merah itu masih terus menyala.     

"Terima kasih, Green…" Freia mendongak dan menatap Angele. Ekspresinya menjadi tenang saat ia menutup mata. Dalam beberapa detik saja, gadis itu telah tertidur pulas.     

Angele duduk di sofa, namun ia tidak tidur.     

Penyihir tidak butuh tidur. Walau tanpa istirahat sekalipun, ia tidak akan merasa lelah.     

Freia tertidur pulas dalam pelukan Angele, sementara Angele memutuskan untuk menggunakan waktunya untuk berlatih Lautan Pusat Api. Kekuatan mentalnya meningkat perlahan, tapi pasti.     

Tidak terasa, hari sudah pagi. Cahaya matahari bersinar pada karpet merah ruang tamu, hingga memenuhi ruangan itu dengan cahaya merah.     

Perlahan-lahan, Freia terbangun. Sepertinya, kali ini ia bermimpi indah.     

Freia tumbuh dengan baik. Dadanya lebih besar dibanding rata-rata anak seumurannya. Angele dapat melihat pertumbuhan itu melalui sweater hitam tipis yang dikenakan Freia.     

Gadis itu hanya mengenakan pakaian dalam berwarna putih, sehingga ia berusaha menutupinya dengan sweater panjang. Saat sadar bahwa pakaiannya terlihat seksi, wajah Freia pun memerah.     

Saat melihat Angele masih bermeditasi, Freia menyadari bahwa 'ayahnya' tidak akan pernah melihatnya secara seksual.     

Dulu, saat Freia masih kecil, Angele telah memandikannya, merawatnya saat ia sakit, dan melihat tubuhnya, sehingga wajah gadis itu tak lagi memerah. Ia hanya mengenal tiga pria, yaitu Frey, Todd, dan Angele, sehingga ia hanya malu karena memahami perbedaan dasar antara seorang pria dan wanita.     

Namun, ketiga pria yang ia kenal adalah anggota keluarga. Hanya saja, perasaannya mengatakan untuk tidak membiarkan pria melihat tubuhnya.     

Angele menyadari bahwa Freia telah terbangun. Ia membuka matanya untuk menganalisa keadaan langit. "Selamat pagi, apa tidurmu nyenyak? Pergilah makan sarapan."     

"Tentu." Freia melompat turun. "Aku akan memeriksa bunga matahari dulu!" teriaknya dengan gembira.     

Angele tersenyum dan mengangkat tangan kanannya.     

Wush!     

Phoenix meninggalkan tubuhnya dan mendarat di atas lengan Freia.     

"Pergilah bersama Phoenix."     

"Oke."     

Angele melihat Freia berlari ke taman dengan gembira, ditemani oleh Phoenix yang beterbangan di sekelilingnya. Ia berdiri dan menatap buku-buku bersampul merah dari makam.     

Setelah makan pagi bersama Freia, Angele mulai membaca buku-buku tersebut.     

Freia ikut membaca buku dengan penuh rasa ingin tahu, namun ia cepat merasa bosan. Puisi-puisi buku itu terlalu berlebihan. Kata-kata yang digunakan terlihat indah namun tak bermakna.     

Freia bersandar pada lengan kanan Angele dan tertidur.     

Angele meminta Zero menganalisa setiap puisi dan mencari informasi penting di dalamnya.     

Tidak lama kemudian, ia menemukan informasi yang ia cari.     

Shing!     

Angele menarik pedang perak yang ia temukan.     

Titik-titik biru bersinar di depan matanya. Akhirnya, ia tahu fungsi pedang itu.     

'Pedang Kebesaran Ular: Pedang upacara yang berfungsi untuk menjaga agar orang yang sudah mati tidak hidup kembali,' lapor Zero.     

Angele memegang pedang itu erat-erat dan memeriksanya dengan seksama, namun pedang itu terlihat seperti pedang biasa.     

Setelah memeriksa lingkaran-lingkaran sihir bertahan di luar, ia berjalan masuk ke dalam perpustakaan. Ia ingin menyelesaikan desain-nya untuk sebuah sistem baru.     

Setelah memeriksa sampel makhluk di laboratorium-nya, ia memutuskan untuk kembali ke dunianya.     

Saat siang, Dunia Mimpi Buruk terasa seperti dunia yang berbeda dan tidak berbahaya.     

Ia memutuskan untuk memeriksa tempat yang ia kunjungi kemarin malam.     

Setelah menuruni tangga, ia mengambil sebuah tudung hitam.     

"Freia, aku harus pergi sebentar. Aku akan segera kembali. Tinggallah di rumah bersama Phoenix." Angele menatap Freia.     

"Aku mau ikut!" Saat mendengar perkataan Angele, seketika Freia terbangun.     

"Baiklah…" Angele telah mengajak Freia ke hutan beberapa kali, sehingga ia yakin bahwa siang di Dunia Mimpi Buruk tergolong cukup aman. Ia hanya perlu menghindari tempat-tempat gelap.     

Freia juga mengenakan jubah hitam. Bersama-sama, mereka keluar dari pelindung rumah, diikuti oleh Phoenix.     

Setelah memeriksa peta pada chip-nya, Angele menemukan tempat yang ia kunjungi dengan mudah.     

Dengan mengikuti peta itu, ia berjalan ke padang rumput yang penuh dengan pohon-pohon tinggi, namun ia tidak menemukan sedikit pun jejak dari mata yang diciptakannya kemarin.     

Angele melihat sekelilingnya dengan lebih teliti, namun hasilnya tetap sama.     

Cahaya keemasan matahari bersinar di atas tanah dan menerangi rerumputan hijau di bawah mereka.     

"Green, apa yang kau cari?" Freia berjalan mengelilingi tempat itu, namun tidak menemukan sesuatu yang menarik, sehingga ia kembali pada Angele.     

"Mencari… benda-benda misterius," jawab Angele.     

Ia memeriksa keadaan tempat itu. Kemarin, dalam perjalanan pulang, ia tidak memadamkan api dari bola laharnya, namun tidak terlihat adanya pohon-pohon yang terbakar.     

Tidak ada jejak-jejak sesuatu yang terjadi kemarin – ia yakin telah menghancurkan sebagian hutan itu.     

Karena masih merasa heran, ia kembali memeriksa keadaan sekitarnya, namun tidak menemukan informasi. Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali bersama dengan Freia.     

Mereka berhenti di depan gubuk kayu di samping Sungai Ness, dan Freia mulai memancing. Dengan bantuan alat pancing sederhana dari kayu, dan bunga-bunga sebagai umpan, gadis itu memasukkan kailnya ke dalam air.     

Angele duduk di sampingnya sambil memikirkan apa yang terjadi kemarin malam.     

Ia yakin bahwa makhluk-makhluk aneh kemarin tidak sedang dalam wujud jiwa. Walaupun ia mendapatkan Pedang Kebesaran Ular, pedang yang sangat kuat, makhluk-makhluk tak kasat mata, pohon yang mati, kuburan, dan mata kemarin sangat berkesan baginya.     

"Freia, kau mendengar banyak cerita dari ayahmu, kan?" Tiba-tiba, Angele menatap Freia dan bertanya.     

"Iya," Freia mengangguk. "Ayah menceritakan tentang hal-hal aneh di dunia ini saat kita masih muda. Ada apa, Green?"     

"Apa kau ingat cerita-cerita itu?"     

"Ayah mengulang cerita-cerita itu beberapa kali, sehingga aku ingat sebagian besarnya," jawab Freia dengan penuh percaya diri.     

"Apa kau pernah mendengar cerita tentang mata raksasa di tanah, dan sesuatu berbentuk seperti kuburan bawah tanah?" Angele bertanya tanpa berbasa-basi.     

"Mata raksasa di tanah?" Freia berusaha mengingat. "Aku ingat pernah mendengarnya dari cerita ayahku, cerita tentang buku dari gereja. Mata itu adalah sesuatu dari Dunia Kegelapan, yang hanya akan muncul saat syarat tertentu telah dipenuhi. Waktu, lokasi, dan bahan-bahan yang dikorbankan. Mata itu sulit dipanggil, dan…"     

Freia terdiam sesaat. "Banyak pemburu yang berusaha memanggilnya, namun semuanya gagal. Kata ayahku, mata itu hanyalah dongeng, jadi tidak perlu terlalu dipikirkan."     

"Apa kau tahu senjata bernama Kebesaran Ular?" Angele kembali bertanya.     

"Iya, salah satu senjata yang sering digunakan di gereja. Senjata itu hanya diberikan oleh Hunter kuat bergelar 'Mata Suci', satu tingkat di bawah Hunter Lord. Kata Ayah, ia bisa menjadi Mata Suci, tapi dia terlalu tua." Freia menjelaskan.     

"Mereka bergelar 'Mata Suci' memiliki zirah yang indah, tunggangan yang kuat, dan mampu membunuh makhluk-makhluk mutan dengan mudahnya…" Freia mengingat.     

Angele menarik pedang kecil itu. Sepertinya, senjata tersebut bukan milik Ksatria yang disemayamkan di sana, melainkan milik seseorang. Sepertinya, pemilik senjata ini dapat berkomunikasi dengan Dunia Kegelapan, atau seorang 'Mata Suci' telah terbunuh saat berpetualang di dalam makam itu.     

Tiba-tiba, ia menyadari bahwa senjata ini mirip dengan Concept Gear yang gagal ia dapatkan bertahun-tahun lalu.     

Plop!     

Freia menarik pancingnya. Ada seekor ikan kecil pada kailnya.     

Plash!     

Ikan itu terjatuh ke atas rumput.     

Ikan itu bukan ikan biasa. Kakinya banyak sekali, sehingga bentuknya mirip dengan kelabang. Ikan itu berguling beberapa kali dan merangkak masuk ke air, dengan kail yang masih tertinggal di dalam mulutnya.     

"Ah, biarkan saja. Ini tidak bisa dimakan…" Freia menggeleng, melepaskan kailnya dari mulut ikan itu, dan melemparkannya kembali ke sungai.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.