Dunia Penyihir

Kuburan (Bagian 1)



Kuburan (Bagian 1)

0Api ungu itu sangatlah kuat, hingga jarinya mengkristal dalam hitungan detik. Sekarang, ia nyaris tidak bisa merasakan ujung jarinya, seperti jari itu terpotong.     

Ia melihat mayat itu meleleh di bawah terpaan api ungu. Ekspresinya berubah beberapa kali sebelum api ungu itu benar-benar padam. Setelah api itu menghilang, ia mendekati podium putih tempat ia meletakkan mayat peri tadi.     

Ia menyentuh sisa mayat itu dengan tangan kirinya.     

'Api ini… menarik…' Titik-titik cahaya biru bersinar di depan matanya, yang menunjukkan bahwa Zero sedang melakukan analisa. Namun, setelah menganalisa selama beberapa saat, Zero tidak menemukan informasi apa-apa.     

'Kukira ini hanya mayat peri biasa. Aku tidak menyangka bahwa mayat ini masih sekuat itu. Sepertinya, semasa hidupnya, makhluk itu cukup kuat. Mungkin aku harus menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat itu lagi…' Angele berjalan ke dekat jendela dan melihat hutan di seberang sana.     

Makhluk-makhluk kuat pasti memiliki darah kuno yang kuat pula, sehingga ia ingin mencoba mengekstrak darah makhluk-makhluk itu.     

Matanya berbinar karena gembira.     

Setelah membersihkan podium dan mengambil beberapa alat, ia segera meninggalkan ruang baca dan mengunci pintu.     

Ia pergi ke taman dan bermain bersama Freia. Setelah selesai, ia kembali ke ruang tamu, memeriksa ketiga lingkaran sihir, dan mulai bermeditasi.     

**     

Hari sudah malam.     

Perlahan-lahan, Angele tersadar dari meditasinya. Ia segera memeriksa keadaan di sekelilingnya.     

Seluruh rumah terasa dingin dan sunyi senyap.      

Hanya ada suara deru angin dan gemerisik pepohonan di luar.     

Angin berhembus masuk ke ruang tamu melalui pintu, sehingga pintu terus berdecit.     

Ia berdiri dari sofa, mengibaskan debu dari jubahnya, dan berjalan ke lantai dua. Sesampainya di lantai dua, ia berjalan ke salah satu ruangan di sebelah kiri.     

Ia mengangkat tangannya dan menyentuh pintu itu.     

Krak!     

Terdengar suara yang keras, sebelum akhirnya pintu itu terbuka.     

Kamar itu sangat gelap; hanya ada sebuah bola api emas di ujung ruangan sebagai penerangan. Bola cahaya itu bergerak-gerak dan melambaikan ekornya yang panjang.     

Bola itu adalah cahaya dari Phoenix – ia telah menjaga Freia selama beberapa hari.     

Freia sedang tidur di atas kasur putih besar, sementara Phoenix itu melompat-lompat ke sana kemari. Kulit Freia yang pucat membuat pembuluh darah berwarna kebiruan pada kulitnya terlihat jelas. Dilihat dari ekspresi wajahnya yang ketakutan, dan tubuhnya yang gemetar, jelas gadis itu sepertinya sedang bermimpi buruk.     

Angele berjalan mendekati tempat tidur dan mengusap pipi Freia.     

Seketika, raut wajah ketakutan itu menghilang. Otot-otot wajahnya menjadi rileks.     

Nafas gadis itu kembali normal.     

Angele menyelimuti Freia dan melambaikan tangan kanannya.     

Phoenix itu terbang dan mendarat pada bahu kanannya. Setelah mendarat, Phoenix langsung membersihkan bulunya lagi.     

Angele berbalik, meninggalkan kamar, dan menutup pintu.     

Ia berjalan kembali ke lantai satu dan berjalan keluar rumah.     

Rumah berdinding putih itu diselimuti kegelapan; hanya ada secercah cahaya biru dari langit yang berhasil menembus awan hitam. Sepertinya, matahari akan terbit sebentar lagi.     

Merasakan hawa dingin di luar, Angele segera merapatkan jubahnya. Rumah itulah satu-satunya sumber cahaya di sana, sementara pemandangan sekitar tidak terlihat karena tertutup kabut biru tebal.     

Ia menginjakkan kaki di atas lumpur yang basah dan dingin.     

Ctak!     

Setelah menjentikkan jarinya, sebuah gelombang merah muda muncul dan membesar, sebelum akhirnya menghilang dalam beberapa detik.     

Gelombang itu menghangatkan tubuhnya, sehingga Phoenix menjadi lebih santai. Burung itu melepaskan cahaya merah pudar untuk menerangi pemandangan sekitar.     

Dengan bantuan Phoenix dan Medan Bersuhu Tinggi, ia berjalan keluar dari pelindung tanpa rasa ragu sedikit pun.     

Shing!     

Setelah melewati pelindung, ia menginjak sulur-sulur hitam di luar, sehingga menghasilkan suara gemerisik.     

Setelah melewati sulur-sulur tersebut, Angele berjalan menuju sebuah hutan kecil, yang berada tepat di samping rumahnya. Ia memastikan bahwa telah menggunakan jalan yang benar dengan bantuan peta Zero, sebelum berbelok ke kanan.     

Angin dingin bertiup semakin kencang, hingga suara dedaunan menjadi semakin keras pula.     

Angele terus berjalan. Ia memeriksa petanya setiap beberapa waktu untuk memastikan bahwa ia berada di jalan yang benar. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta Phoenix melihat jalan, sementara ia mempercepat langkahnya.     

Tidak lama kemudian, ia sampai di tempat di mana ia menemukan mayat peri itu.     

Tempat itu ditandai oleh pohon raksasa, dengan batang pohon yang sama lebarnya pula.     

Pohon itu memiliki lebar empat meter, dengan sebuah gua gelap gulita di bawah akarnya. Sepertinya, gua itu mengarah ke sebuah lorong, namun Angele tidak bisa melihat apa-apa di dalamnya.     

Pohon itu tergolong pendek, hanya separuh dari tinggi pohon-pohon lain di hutan, namun pohon itu jauh lebih lebar dibandingkan pepohonan lainnya. Tidak terlihat satu helai daun pun pada cabang-cabang kurus pohon itu.     

Angele berjalan mendekati gua dan berjongkok di sisi kanannya.     

'Inilah tempat di mana aku menemukan mayat peri itu.' Ia mengangkat tangannya seraya menyentuh rumput di bawahnya dengan hati-hati.     

Cahaya kebiruan bersinar menerangi rerumputan hijau di bawahnya. Setelah menyentuh rumput itu, ia memeriksa tanda-tanda yang ada di atas tanah.     

Ia tidak menemukan apa-apa; hanya ada jejak kakinya sendiri.     

'Jika sihir-sihir teleportasi tidak terlibat, sepertinya mayat ini jatuh dari langit begitu saja.' Angele mendongak dan menoleh ke kiri dan kanan.     

Sisa-sisa cipratan darah terlihat di cabang teratas, sementara cabang yang nyaris patah berderak mengikuti arah angin.     

Titik-titik biru bersinar di depan matanya, yang menunjukkan bahwa ia sedang memeriksa tempat itu dengan bantuan Zero. 'Pasti ada sesuatu disini…'     

Tiba-tiba, matanya terbelalak kaget.     

Ia melihat jejak-jejak tapak kaki kecil di belakang jejak kakinya. Sepertinya, jejak itu ditinggalkan oleh seorang wanita.     

Angele berjalan sendirian di hutan itu cukup lama, namun ia tidak menyangka bahwa ada orang yang sedang mengintainya.     

Bulu kuduknya berdiri. Ia teringat akan perkataan Todd beberapa hari sebelum pria itu meninggal – apa pun bisa terjadi di Dunia Mimpi Buruk.     

'Sial!' Melihat tapak kaki itu, Angele sadar bahwa dirinya sedang dalam masalah. Jejak-jejak kaki tersebut menunjukkan bahwa ada yang sedang mengikutinya saat ia kemari.     

Ia mengangkat tangannya dan menerangi benda-benda di sekitar dengan bantuan Cahaya Duri.     

Sebongkah bola cahaya putih muncul di atas tangannya dan menerangi hutan gelap beserta gua itu.     

Angele melihat sekelilingnya dengan seksama untuk memastikan bahwa tidak ada yang mengikuti. Ia bernafas lega.     

Ia selalu mengingatkan Frey untuk tidak keluar dari rumah saat malam tiba. Angele suka beraktivitas di malam hari untuk melihat betapa berbedanya Dunia Mimpi Buruk saat matahari sudah terbenam.     

Banyak hal yang hanya terjadi saat malam di Dunia Mimpi Buruk.     

Menyadari bahwa Dunia Mimpi Buruk akan menjadi lebih berbahaya saat malam, Todd tidak akan pernah meninggalkan ruang bawah tanah saat malam tiba.     

Angele berbalik dan menatap rerumputan di bawahnya. Ia melihat ada jejak yang ditinggalkan oleh mayat yang diambilnya. Jejak itu ditandai oleh Zero sebagai garis panjang.     

'Ia jatuh di arah kanan pohon … Artinya, dia berasal dari arah itu…' Angele berbalik kanan.     

Jarak pandang di sana sangat terbatas, sehingga ia tidak bisa melihat apa-apa.     

Angele menatap pohon itu dan berpikir selama beberapa saat, kemudian ia mengambil sebuah tabung reaksi yang penuh dengan cairan berwarna merah jambu.     

Dengan hati-hati, ia membuka penyumbat tabung itu.     

Shing!     

Asap merah segera muncul dari tabung itu.     

Gumpalan asap itu mendarat di sebelah kanannya, sebelum akhirnya berubah menjadi bayangan berbentuk manusia yang tampak buram. Postur tubuh bayangan itu jauh lebih tinggi dari Angele; ukurannya setara dengan raksasa mini.     

Sosok bayangan itu dikelilingi oleh asap merah, dan matanya berbentuk seperti sepasang batu rubi yang berharga. Sosok itu tidak punya mulut maupun hidung, namun tubuhnya kekar. Api merah terus membara di atas bahunya.     

"Senang melayani Anda, Tuan." Sosok bayangan itu menyapa Angele dengan suara berat. Ia menggunakan bahasa kuno persatuan sebagai bahasa penghubung. Aksen sosok itu terdengar sedikit aneh.     

Angele mengangguk dan menunjuk gua tersebut. "Aku percaya padamu," jawabnya dengan bahasa kuno pula.     

"Tidak masalah." Sosok kekar itu memukul dadanya dan berjalan masuk.     

Dalam beberapa detik, terdengar suara sesuatu mengerang kesakitan dari dalam gua.     

Seketika, sosok bayangan itu kembali, namun ukurannya telah mengecil.     

"Ada beberapa pengawal di depan sebuah pintu kayu. Sepertinya, tempat ini adalah sebuah kuburan," lapornya.     

"Terima kasih. Kembalilah." Angele mengangguk dan kembali membuka penyumbat itu.     

"Saya mengerti."     

Pria itu kembali berubah menjadi asap merah dan masuk ke dalam tabung. Saat tabung itu ditutup, asap merah itu berubah menjadi cairan merah jambu.     

Setelah memasang penyumbat, Angele memasukkan tabung itu ke kantongnya dengan hati-hati.     

Sihir itu adalah sihir tingkat 2 bernama Raksasa Darah, yang ia pelajari setelah naik ke tingkat 2.     

Tubuh raksasa itu terbuat dari racun dan darah yang bersifat asam. Raksasa hasil pencampuran tersebut memiliki tingkat kecerdasan yang rendah, namun ia mampu menuruti perintah-perintah sederhana.     

Makhluk-makhluk hidup atau boneka yang menyentuh tubuh raksasa itu akan terkikis dan terluka karena asam. Jika ada yang mati terkena sentuhan raksasa itu, maka raksasa itu dapat menyerap seluruh darah makhluk tersebut dan menggunakannya sebagai bahan bakar.     

Jika raksasa ini dapat mengumpulkan cukup darah, ukurannya akan menjadi semakin besar pula.     

Raksasa Darah terbesar dalam sejarah memiliki tinggi lebih dari 10 meter, dengan tapak kaki yang mampu meretakkan tanah. Sayangnya, Raksasa Darah sangat sulit dibuat, karena membutuhkan banyak benda langka.     

Sebagai pekerja dalam Departemen Sumber Daya Penyihir, ia menerima berbagai macam hadiah dari orang-orang yang ingin bergabung. Ia menghabiskan beberapa tahun untuk menciptakan raksasa tersebut setelah membeli bahan-bahan dan menerima semua bahan itu dari Vivian.     

Setelah menetralisir para penjaga, Angele menatap Phoenix. Burung itu memekik, terbang ke arah Angele, dan masuk ke dalam dadanya.     

Setelah Phoenix itu masuk, Angele menggumamkan mantra dan menciptakan pelindung api transparan di depannya.     

Selain itu, ia menciptakan pelindung logam juga, sehingga tubuhnya menjadi berwarna keperakan.     

Dua bilah pisau panjang, yang terbuat dari cairan perak, digenggamnya erat-erat.     

Setelah semuanya siap, ia segera masuk ke gua.     

Cahaya emas dari cincin Cahaya Duri menerangi seluruh tempat itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.