Dunia Penyihir

Tak Terduga (Bagian 1)



Tak Terduga (Bagian 1)

0Angele berdiri, berjalan mendekati pintu, dan menatap ketiga penyihir itu. Mereka sedang duduk di sisi meja dan menutup mata sambil menunggu waktu yang tepat untuk beraksi.     

Ruangan itu sangat hening, hingga ia dapat mendengar suara nafas ketiga penyihir itu.     

Angele membuka pintu ruangan dan berjalan keluar.     

Suhu lorong reruntuhan itu sangat tinggi, dan bau belerang busuk memenuhi udara. Angele memotong daging kadal gunung berapi dan mencampurkannya ke dalam kaldu sup. Kemudian, ia memisahkan sup itu menjadi tiga bagian dan kembali ke ruangan itu.     

"Makanlah, sepertinya kalian harus menunggu lama."     

Morrian dan Milan sedang berbincang-bincang, sementara Seth sedang tidur di kursinya.     

"Terima kasih, Angele. Kami tidak ingin merepotkanmu, tapi…" Morrian menatap Angele dan meminta maaf.     

"Tidak apa-apa, aku tidak bisa membantu Nico, jadi aku akan berusaha membantu kalian dalam hal-hal lain." Angele tersenyum.     

Angele meletakkan mangkuk-mangkuk sup di meja, kemudian ia kembali ke kursinya dan menatap lingkaran putih di meja dengan seksama.     

Gambar pada lingkaran putih itu sedikit bergerak-gerak, dan pepohonan di sisi lingkaran bergerak ke belakang. Ini menunjukkan bahwa Nico sedang menunggang kuda.      

"Perjalanannya akan memakan waktu tiga hari. Para prajurit Nico sedang bergerak ke sebuah tebing besar, tempat di mana keluarganya sedang bertarung. Menurut pesan yang ia kirimkan, ada lebih dari sepuluh ribu orang yang sedang bertarung, dan prajurit-prajurit inilah bantuan terakhir yang dimiliki saudaranya. Jika prajurit-prajurit Nico hancur, keluarganya akan ikut hancur."     

Morrian terdiam sesaat. "Kita harus menunggu prajurit Nico mulai menyerang, setelah itu kita bisa menggunakan sihir-sihir dari kolam ini.     

Milan mengangguk seraya membangunkan Seth untuk makan.     

Angele duduk sambil menunggu ketiga penyihir menghabiskan makanan mereka. Ia membawa piring-piring kotor ke dapur dan mencucinya. Setelah selesai, ia segera kembali ke ruangan dan melihat kolam tersebut. Inilah kali pertama ia melihat penyihir membantu pertarungan dengan menggunakan kolam energi, sehingga ia ingin mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.     

Bagi para penyihir, tiga hari adalah waktu yang singkat, sehingga mereka tidak keberatan menunggu.     

Waktu terus berjalan. Tidak terasa, tiga hari telah berlalu.     

Suasana ruangan itu menjadi semakin tegang.     

Morrian menatap kolam itu dengan seksama, sementara Milan sedang bermeditasi. Seth duduk di tepi ruangan sambil bermain dengan seekor kera merah. Kera itu memekik dan melompat-lompat di atas bahunya.     

Angele menunduk. Titik-titik biru bersinar di depan matanya.     

"Bersiaplah! Inilah waktunya!" teriak Morrian.     

Ketiga penyihir itu menghentikan aktivitas mereka dan terfokus pada lingkaran putih di tengah meja itu.     

Jika dilihat dari pergerakan lingkaran itu, sepertinya Nico sudah memasuki medan perang. Prajurit-prajurit berzirah biru yang menunggangi kuda hitam mengepung Nico dari segala penjuru, namun semua prajurit yang berada dalam jarak pandang Nico segera meledak dan berubah menjadi asap berwarna merah darah, seperti terkena bom.     

"Master Nico! Ada yang datang!" Terdengar suara ketakutan dari belakang.     

Nico segera menoleh dan melihat ke arah tebing kecil di depannya. Dua orang berbaju hitam sibuk menyerang sosok berbaju biru di atas tebing.     

Sosok berbaju biru itu berusaha keras melindungi kereta kuda berwarna perak di bawah spanduk perang. Ia melemparkan kilat listrik, energi keunguan, dan laser-laser berbagai warna.     

"Sial!" Umpatan Nico terdengar dari lingkaran putih itu.     

Tanpa membuang waktu, ia segera berlari mendekati tebing kecil di mana pertarungan itu berlangsung.     

Ia melepaskan tiga buah bola lahar. Bola-bola itu melesat cepat ke arah tebing tersebut.     

Permukaan bola itu berwarna merah, dengan retakan-retakan berisi lahar emas di permukaannya. Melihat kejadian itu, para prajurit yang ketakutan segera menepi, kuda-kuda mereka menghentakkan kaki dan berlari karena takut.     

Jalan didepan Nico tidak lagi ramai, sehingga ia dapat bergerak dengan bebas.     

Duar! Duar! Duar!     

Ketiga bola lahar itu meledak dan berubah menjadi bayangan-bayangan emas. Suara ledakannya menggema di udara. Bayangan-bayangan emas itu melesat ke arah kedua sosok berbaju hitam dan terfokus tanpa cipratan yang tak terkendali.     

"Puja para Muse!" teriak salah satu sosok berbaju hitam. Tiba-tiba, muncul bayangan minotaur raksasa di depannya.     

Minotaur itu membuka mulutnya dan meraung-raung.     

Secercah cahaya emas menusuk ketiga bayangan emas itu dan mengubahnya menjadi titik-titik cahaya emas yang tercerai-berai, sebelum akhirnya menghilang.     

"Raungan Minotaur! Inilah kali pertama aku melihat sihir ini sukses diaktifkan," kata Milan dengan kagum. "Saat mempelajari teknik meditasi tingkat tinggi bernama Ritual Minotaur, seseorang akan memiliki kesempatan kecil untuk mempelajari sihir itu. Selain itu, walau kau bisa mempelajari cara mengaktifkan-nya, kau tidak bisa mengendalikan sihir itu. Tapi, di sisi lain, sihir itu bisa mendadak aktif saat kau mencoba memindahkan partikel energi. Musuh Nico sepertinya beruntung."     

Di dalam lingkaran, terlihat cahaya emas itu melesat ke arah Nico setelah menghancurkan ketiga bayangan itu.     

Seth mengangkat tangan kirinya. Titik-titik merah di sela buku-buku jarinya.     

Tap!     

"Tunggu!" seru Milan.     

"Tapi…!" Seth terlihat ketakutan.     

"Percayalah pada Nico. Walaupun dia lebih lemah dari Shozo dan aku, dia tidak akan kalah semudah itu. Ingat, dia adalah murid Master Vivian seperti kita." Morrian berkata dengan santai.     

"Cahaya Suci!" Terdengar suara Nico dari dalam lingkaran.     

Sebongkah bola cahaya merah muncul di depan Nico. Bola cahaya seukuran kepalan tangan itu berkedip beberapa kali.     

Dalam beberapa detik, sebuah jaring besar yang dipenuhi dengan rune-rune dan benang-benang berpola rumit muncul di depan Nico. Semua benang-benang itu berkumpul menjadi satu, yang dihubungkan oleh sebongkah bola cahaya di tengahnya.     

Shing!     

Cahaya emas itu menabrak jaring Nico dengan kerasnya.     

Jaring merah Nico dan cahaya emas musuh segera beradu.     

Perlahan-lahan, partikel energi emas itu mengubah warna jaring merah itu menjadi emas, sementara jaring itu menyerap kekuatan partikel energi emas itu untuk memperbesar jaring.     

Walaupun jaring itu semakin besar, cahaya emas musuh terus menusuk dan melubangi jaring itu.     

Shing!     

Akhirnya, cahaya emas itu menembus jaring.     

Jaring merah tadi membuat Nico bisa menghindar. Ia melompat ke kiri dan terus maju. Sosok berjubah hitam di sebelah kiri masih sibuk bertarung dengan sosok berjubah biru, sementara sosok di sebelah kanan telah melepaskan lima golem elemental.     

Dua di antaranya berwarna hitam, yang menunjukkan bahwa mereka adalah golem elemen tanah. Golem-golem bertubuh kuat itu menerjang Nico dengan mulut terbuka.     

Ketiga golem lainnya berwarna hijau, yang menunjukkan bahwa mereka adalah golem elemen angin, dengan tinggi sekitar satu meter. Ketiga golem angin itu memiliki bentuk memanjang seperti pita.     

Beberapa prajurit yang bertarung di sana adalah Ksatria tingkat atas. Hal ini terlihat jelas dari cahaya putih pada tubuh mereka. Para Ksatria berusaha menyerang golem-golem itu, namun serangan mereka berhasil ditangkis dengan mudah, sebelum kedua golem elemen tanah melemparkan mereka. Para Ksatria itu terluka parah hingga memuntahkan banyak darah.     

Kedua golem berlari ke arah Nico, sehingga tanah di tempat itu bergetar.     

Melihat kejadian itu, wajah Morrian, Seth, dan Milan berubah serius.     

Tiba-tiba, terdengar suara Nico dari lingkaran putih itu.     

"Morrian, Milan. Inilah waktunya. Hancurkan tebing itu untukku."     

Ketiga penyihir saling pandang, sebelum akhirnya mengangguk perlahan.     

"Api Inti Bumi!" Morrian mengangkat tangan kanannya. Sebuah tengkorak merah yang mengerikan muncul di belakangnya. Rongga matanya berisi kobaran api hitam.     

"Cahaya Langit Malam!" Milan mengangkat tangannya. Sepasang mata ungu muncul di belakangnya.     

Seth ikut mengangkat tangannya dan memunculkan api-api hitam. "Api Pengurai!"     

Perlahan-lahan, mereka meletakkan tangan mereka di dalam lingkaran secara bersamaan.     

Shing!     

Ketiga tangan itu menyatu setelah saling menyentuh, dan menciptakan pemandangan yang sangat aneh.     

Setelah bersatu, tangan mereka menjadi seperti lilin mainan, sebelum berubah menjadi tangan raksasa dengan lebar sekitar 50 sentimeter. Tangan itu masuk dan tenggelam ke dalam permukaan meja, kemudian muncul di depan mata Nico.     

Mata Angele terbelalak, dan tubuhnya terasa kaku.     

Energi mengerikan muncul dari ketiga penyihir itu. Angele membuka mulutnya untuk menarik nafas, namun ia tidak merasakan apa-apa.     

Rasanya seperti udara dalam ruangan itu menjadi padat. Posisinya seperti lalat yang terjebak dalam getah tumbuhan dan menjadi fosil. Kekuatannya sangatlah besar, namun ia nyaris tidak bisa bergerak.     

Angele menatap layar dalam lingkaran itu dan membelalakkan matanya. Ia akhirnya mengerti kekuatan asli seorang pemilik lingkaran sihir warisan.     

**     

Di padang rumput, di depan sebuah tebing.     

Nico, seorang wanita cantik berbalut gaun bertarung berwarna putih, sedang sibuk bertarung melawan para prajurit yang terus berdatangan. Pakaiannya telah basah dan kotor terkena darah.     

Ia menatap tebing kecil di depannya dengan tenang sambil memegang bandul kalungnya erat-erat. Cahaya biru dari bandul kristal berbentuk seperti permata bersinar di antara buku-buku jarinya.     

"Morrian, Milan. Inilah waktunya. Hancurkan tebing itu untukku," kata Nico dengan dingin.     

Kristal biru di tangannya bersinar selama beberapa saat, kemudian melepaskan secercah cahaya biru. Cahaya itu melesat dengan sangat cepat, hingga meninggalkan jejak kebiruan yang menghilang dalam beberapa detik.     

Tiba-tiba, cahaya matahari menghilang. Lautan awan hitam yang mencekam menutupi langit.     

Awan hitam itu berubah menjadi pusaran hitam yang berputar-putar di atas tebing.     

Semua yang berada di bawah bayangan pusaran itu merasakan sebuah tekanan kuat, hingga tidak bisa bergerak. Mereka bergerak seperti orang yang terjebak dalam kolam pasir hisap.     

Kedua sosok berjubah hitam dan sosok berjubah biru itu bergerak dengan sangat lambat, seperti aktor dalam film yang telah diperlambat. Mereka hanya membutuhkan dua detik untuk melakukan pergerakan sederhana.     

Setelah sepuluh detik, salah satu pria mengangkat tangan kanannya. Ekspresi wajahnya terlihat ketakutan.     

Golem-golem tanah dan angin buatan mereka pun ikut melambat.     

Nico menatap tebing itu. Raut wajahnya sangat sedih. "Maxwell, keluarga kita akan selalu mengingat pengorbananmu." Suara Nico bergema di langit.     

Si pria berjubah biru telah menerima kematiannya. Mendengar suara Nico membuatnya tersenyum senang.     

Duar!     

Dalam beberapa detik saja, sebuah tangan raksasa muncul di tengah pusaran dan menghancurkan bagian atas tebing. Tangan raksasa itu terlihat mirip dengan pilar batu yang mendadak jatuh begitu saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.