Dunia Penyihir

Hasil (Bagian 1)



Hasil (Bagian 1)

0Situasi itu sangat canggung. Semuanya berhenti berbicara untuk menunggu kesempatan mengambil kunci yang asli dari tangan Mura.     

Angele hanya berdiri di sisi lorong. Senyuman lembut tersungging di wajahnya.     

Setelah memandang si ksatria hantu dan lich bayangan selama beberapa saat, akhirnya ia angkat bicara.     

"Bagaimana menurut kalian? Rencanaku bagus, kan?"     

"Hah, sulit melakukan itu. Siapa yang bertugas memegang kuncinya? Kita harus berhati-hati. Kunci itu mungkin bisa mengaktifkan jebakan." Saruto tertawa.     

"Aku bisa menjamin bahwa kunci itu tidak bisa mengaktifkan jebakan apa pun," sela Carmen. "Kita buka bersama-sama saja. Setelah kita melihat hartanya, baru kita bertarung."     

"Bagaimana kau bisa yakin sekali bahwa tidak ada jebakan di tempat harta?" Saruto memicingkan matanya pada Carmen. "Jika ada masalah, apa kau mau bertanggung jawab?"     

Carmen tidak menjawab; ia hanya menatap Mura dan Aria.     

"Benar." Aria mengangguk. Ia berdiri di samping Mura. "Kunci itu tidak bisa mengaktifkan jebakan apa pun. Alicia sudah pernah memberitahuku."     

"Lagipula, mengaktifkan jebakan dengan kunci kedengarannya tidak praktis," kata Angele setuju.     

Saruto melihat sekelilingnya. "Baiklah, kalau begitu aku setuju saja. Siapa yang akan membuka pintu ke ruang harta?"     

"Kau dari tadi protes masalah jebakan. Bagaimana kalau kau saja?" tanya Angele.     

"Baiklah. Kalau begitu, berikan kuncinya padaku." Saruto maju selangkah dan menatap Mura.     

Mura menatap Angele dan Saruto secara bergantian, kemudian ia menggertakkan giginya dan angkat bicara. "Aku saja yang membukanya. Aku bersumpah atas nama jiwa para pendahuluku bahwa aku hanya akan mengambil Akar Kehidupan." Ia sadar bahwa jika ia memberi kunci itu pada salah satu penyihir, ia pasti akan dibunuh.     

Semua orang di sana menginginkan harta dalam kuburan tersebut, sehingga ia masih punya kesempatan bertahan hidup.     

Mendengar sumpah Mura, Angele dan kedua penyihir tingkat 4 mempercayainya. Di dunia ini, sumpah di atas nama jiwa para pendahulu memiliki efek, dan jika penyumpah melanggar janjinya, darah keturunannya akan rusak dan melemah secara drastis. Di dunia penyihir, darah dan garis keturunan adalah segalanya. Tidak ada yang mau melemahkan darah keluarga sendiri.     

"Baiklah. Dia sudah bersumpah, jadi kita harus menghormatinya. Aku punya ide lain." Angele tersenyum. "Namamu Mura, kan?"     

"Benar, Master. Anda punya ide apa?" tanya Mura seraya mengangguk.     

Angele mengambil sebuah ramuan biru dari kantongnya.     

"Ini adalah ramuan spesial yang bisa membunuhmu secara instan, kira-kira seperti bom waktu dalam bentuk cair. Akan kuberi sesuatu seperti ini pada tubuhmu, jadi aku bisa membunuhmu tanpa khawatir jika kau mengaktifkan jebakan di ruang harta. Bagaimana?"     

"Ide bagus, anak muda!" Saruto tertawa. "Aku suka caramu."     

Carmen mendengus. "Hah! Tanpa cara-cara curang begitu, kau bisa apa?"     

"Dasar bodoh!" Senyum pada wajah Saruto langsung menghilang.     

"Bagaimana? Apa kau setuju?" Tanpa memedulikan kedua ksatria itu, Angele menatap Mura.     

Mura terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah, namun kau harus tahu bahwa aku punya kuncinya, dan ada jebakan dengan taktik menghindar yang hanya diketahui olehku. Jika kau membunuhku sembarangan, kemungkinan kau mencapai harta itu sangatlah kecil."     

"Baiklah, kami akan memastikan bahwa sihir yang kami gunakan tidak langsung membunuhmu." Angele tersenyum. "Jika kau yang memegang kunci, semuanya akan menjadi lebih mudah."     

"Baiklah."     

Semuanya setuju dengan usul Angele.     

Angele melemparkan ramuannya. Ia melihat botol kaca itu berguling beberapa kali hingga akhirnya berhenti. "Minumlah, kau akan baik-baik saja."     

Saruto melemparkan boneka terkutuk berwarna hitam. "Bawa saja."     

Carmen terdiam sesaat, kemudian ia melemparkan sebuah jantung berwarna biru bening. "Hancurkan jantung itu dengan telunjuk tangan kananmu. Aku benci menipu orang. Hanya inilah yang kupunya. Kuharap kau tidak berbohong padaku."     

Mura menatap ketiga benda yang tergeletak itu tanpa mengatakan apa pun. Ia menunggu ketiga orang itu memeriksa jantung tersebut dengan gelombang mental masing-masing. Mereka ingin memastikan bahwa benda mereka tidak akan membunuh atau membuat Mura menjadi boneka.     

Setelah ketiganya selesai memeriksa benda satu sama lain, Mura segera mengambil ketiga benda itu.     

Ia menjatuhkan tabung kaca kosong Angele dan menatap ketiga orang di sana. "Kau senang sekarang?"     

"Iya." Lich Bayangan mengangguk. Ekspresinya terlihat puas.     

Angele dan si ksatria hantu tidak mengatakan apa-apa.     

Mura berbalik dan berjalan mendekati salah satu dinding dengan kunci di tangannya.     

Ia menekan kunci itu di dinding.     

Krak!     

Terdengar suara retakan, kemudian sebuah lubang hitam muncul di tengah dinding tersebut. Bagian dalam lubang terlihat seperti pusaran yang berisi penuh lumpur.     

Dinding kuning itu telah meleleh dan menghitam, kemudian memperlihatkan sebuah lubang raksasa.     

Lubang itu adalah pintu masuk sebuah gua dengan dinding batu karst.     

Pada beberapa titik di dalam gua itu, terdapat lumut biru yang bercahaya sebagai satu-satunya sumber penerangan. Lumut-lumut itu membuat seluruh gua bersinar kebiruan.     

Melihat gua itu, cahaya hijau pada mata Saruto menari-nari, yang menunjukkan bahwa dirinya sedang merasa gembira.     

Dengan bantuan kudanya, Carmen mengejar kelompok dan berjalan di depan.     

Angele memandang Mura. "Kalian duluan saja."     

Mura masuk ke dalam terlebih dulu, diikuti oleh Saruto dan Carmen, dengan Angele di posisi paling belakang.     

Dalam gua yang luas itu, terdapat sebuah batu hitam memanjang dengan bentuk seperti gigi seekor hewan buas.     

Batu seperti gading itu membagi gua menjadi dua bagian: sisi tempat pintu masuk dan sisi tempat sebuah piramida kecil.     

Di sekitar piramida itu, terdapat empat tongkat dengan simbol tengkorak yang bersinar dengan energi kegelapan. Pada bagian puncak piramida, terdapat sebuah plat podium persegi, dengan bola mata putih yang melayang-layang di atasnya.     

Bola mata yang melayang-layang naik dan turun itu memiliki diameter sekitar 1 meter, dengan pupil berbentuk seperti mata kucing.     

Saruto menatap bola mata tersebut sesaat setelah memasuki gua. "Mata Kehancuran… Benda itu benar-benar ada. Inilah takdirku. Aku bisa melampaui batasku sekarang…" gumamnya. Ekspresinya berubah aneh.     

Gelombang-gelombang cahaya biru bersinar dari tubuh Carmen. Sepertinya, ia memikirkan sesuatu yang sama.     

Tiba-tiba, seperti tersadar akan apa yang harus mereka lakukan, Carmen dan Saruto menerjang cepat berlari ke asap hitam itu. Semuanya menginginkan bola mata putih yang melayang di atas piramida itu.     

Angele berdiri di pintu dan memeriksa piramida tersebut.     

'Henn, kau mau benda itu?'     

Henn segera menjawab. 'Bukan bola matanya, tapi sesuatu yang ada di dekatnya. Benda itu akan muncul setelah bola mata itu diambil. Pergilah sekarang.'     

'Baiklah.'     

Angele menghilang, dan tubuhnya berubah menjadi api merah.     

Dalam satu detik, ia sudah berada 30 meter di depan. Cahaya merah kembali bersinar – ia berusaha bergerak secepat mungkin.     

Piramida itu ada pada titik sekitar 500 sampai 600 meter dari pintu masuk. Carmen memimpin di depan, diikuti oleh Saruto, dan Angele di posisi paling belakang.     

Namun, Angele dan Saruto berlari semakin cepat.      

Mura dan Aria berjalan mendekati sebuah lubang kecil di sebelah kiri. Pada dinding ruangan itu, terdapat banyak sekali lubang-lubang dengan kotak-kotak berwarna hitam. Dalam kotak itu, terdapat berbagai macam benda-benda langka. Harta rahasia Mata Kehancuran bukanlah satu-satunya harta yang ada di sana.     

Menyadari bahwa mereka tidak akan bisa mengambil benda termahal, Mura dan Aria memutuskan untuk tidak ikut mengejar.     

Dalam reruntuhan, Akar Kehidupan bukanlah benda langka, sehingga kemungkinan besar untuk menemukan benda itu dalam salah satu kotak.     

Mereka bertiga semakin mendekat. Carmen mengaktifkan sebuah teknik rahasia untuk melipatgandakan kecepatannya saat Angele nyaris mengejar, sehingga ia menjadi orang pertama yang menginjak piramida tersebut.     

Kuda sang ksatria pun meringkik.     

Asap putih berhembus pada hidung kuda tersebut, kemudian kuda itu menghilang dan seketika sampai ke puncak piramid.     

"Jayalah para ksatria!" Carmen meraung, mengambil bola mata itu dan memegangnya dengan bangga.     

Melihat kejadian itu, ekspresi Saruto berubah kecut. Seketika, ia sampai di atas plat dan menunjuk ke bagian bawahnya.     

Pada bagian bawah plat itu, terdapat sebuah kubangan kecil berisi cairan merah. Kubangan itu hanya bisa dilihat dari dekat.     

Saruto menunjuk kubangan itu, sehingga cairan merahnya terbang dan menjadi rune merah di tangan kanannya. Ia tertawa dan menerjang Carmen setelah mengambil cairan itu.     

Karena berada di posisi terakhir, Angele tidak mendapatkan apa-apa. Ia menatap Saruto dengan ekspresi serius.     

'Aku sudah menggunakan kecepatan maksimum, tapi mereka masih lebih cepat… Aku hanya kalah beberapa detik saja.'     

'Aku butuh cairan itu! Sepertinya kau tidak akan bisa mengejar.' Suara Henn bergema dalam telinganya. 'Akan kulakukan sendiri saja.'     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.