Dunia Penyihir

Pencarian (Bagian 1)



Pencarian (Bagian 1)

0Di taman, tepat di luar istana, terdapat tamu-tamu yang sibuk berbincang-bincang dan berjalan-jalan. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak muda keluarga bangsawan, sementara sisanya adalah keluarga para pedagang. Masing-masing membawa gelas wine dengan sopan dan elegan.     

Angele mengikuti gadis tadi masuk ke dalam istana, dan sampai ke ruang makan.     

Ruangan itu sangat luas, dengan dinding berwarna emas dan karpet kuning tebal di lantainya. Beberapa orang pelayan sibuk meletakkan makanan-makanan di atas sebuah meja panjang.     

Ada angsa bakar yang renyah, salad sayur berbagai warna, roti putih yang lembut, hati sapi yang sedap, dan sup madu yang kental.     

Para tamu dapat memilih makanan yang mereka inginkan, dan para pelayan akan menyajikan wine saat minuman mereka habis.     

Angele melihat para tamu, kemudian ia terfokus pada pria bangsawan paruh baya yang sedang berbicara dengan wanita bangsawan. Ia dikelilingi oleh bangsawan-bangsawan lainnya.     

Pria paruh baya itu berumur sekitar 30 sampai 40 tahun. Senyuman ramah dan lembut tersungging di wajahnya. Pakaian tentara yang ia kenakan, otot kekar yang tersembunyi di bawah seragam putihnya, dan sikapnya yang elegan menunjukkan bahwa ia pernah menjadi seorang tentara.     

Saat merasakan tatapan Angele, pria itu menoleh.     

"Saya permisi dulu." Ia membungkuk kepada para bangsawan itu, berjalan melewati ruangan, sebelum akhirnya sampai di depan Angele.     

"Jadi, kau sudah sampai? Kukira kau akan terlambat." Pria itu mengangkat tangan kanannya. Ia sudah mempersiapkan diri akan kedatangan Angele.     

Angele mengangkat tangan kanannya dan melakukan tos sebagai salam.     

"Yah, aku masih merasa bahwa ini budaya menyapa yang agak aneh."     

"Benarkah?" Pria itu tertawa. "Ada yang pernah bilang begitu padaku dulu. Senang bertemu denganmu. Perkenalkan, aku adalah Count dari Kota Wheat."     

"Namaku Green. Aku tahu bahwa kau adalah Count dari Kota Wheat, tapi siapa nama aslimu?" Angele mengambil segelas wine buah berwarna hijau dari nampan pelayan.     

"Namaku? Semua orang mengenalku sebagai Count dari Kota Wheat. Sudah bertahun-tahun berlalu semenjak ada yang memanggilku dengan nama asli, jadi aku sudah lupa. Tidak apa-apa, panggil saja Count."     

"Baiklah." Angele mengedikkan bahunya. "Apa ada tempat lain yang lebih enak untuk berbincang-bincang?"     

"Ikut aku." Sang Count berbalik dan berjalan menuju lorong pada sisi kiri ruangan.     

Angele berjalan di belakang, sementara sang Count menghentikan pelayan dan pengawal yang mengejar atau menawarkan bantuan.     

Lorong itu menjadi semakin gelap, karena lampu-lampu minyak di dinding semakin meredup. Bahkan, ada beberapa lampu yang sudah padam.     

Cahaya dari ruangan pesta pun sudah benar-benar meredup.     

Mereka berjalan sangat jauh melalui lorong itu, hingga nyaris mengelilingi istana.     

Pada sisi kiri lorong, terdapat pilar-pilar batu berwarna putih yang berjajar rapi. Dari celah di antara pilar-pilar tersebut, terlihat sebuah taman yang tak terurus.     

Sang Count berhenti di depan air mancur berbentuk lingkaran dan berbalik menghadap Angele.     

"Ini adalah bagian belakang istana, tempat taman pribadiku. Di sini, tidak akan ada yang mengganggu kita." Senyum manis tersungging pada wajah pria itu. Namun, ekspresinya terlihat aneh di bawah cahaya redup lorong.      

"Sebagai salah satu ketua yang bertanggung jawab di sini, aku harus mengetahui rincian rencanamu." Angele memeriksa keadaan sekitar dengan kekuatan mentalnya.     

"Rincian, ya? Akan butuh waktu lama untuk menjelaskan semuanya." Sang Count berbalik dan menekan salah satu dinding putih dengan telapak tangannya.     

Wush!     

Rune hitam rumit dengan panjang sekitar dua meter muncul pada permukaan dinding, yang dihiasi pola-pola seperti bunga kecil pada ujung-ujungnya.     

Cahaya hitam bersinar pada rune tersebut, dan sang Count masuk ke dalam dinding. Tidak lama kemudian, ia menghilang.     

Angele memicingkan matanya. Ia menyentuh kantongnya dan menciptakan sebuah medan pelindung transparan.     

Medan pelindung itu menghilang dalam beberapa detik. Angele segera ikut masuk ke dalam dinding tersebut.     

Shing!     

Setelah memasuki dinding, ia tiba di sebuah ruangan gelap kecil.     

Di bagian belakang dinding ruangan itu, terdapat sebuah lampu minyak berukuran sebesar kepalan tangan. Setelah menyalakan lampu itu, sang Count berbalik dan bertatap muka dengan Angele.     

"Ini adalah salah satu ruangan rahasiaku di istana. Di sini, akan kutunjukkan rencanaku padamu."     

Di tengah ruangan, terdapat sebuah piringan pasir berwarna kuning, dengan model-model kecil sebagai representasi kota, pegunungan, hutan, dan sungai. Melihat piringan tersebut terasa seperti melihat seluruh negeri tengah dari atas langit.     

Di samping model-model tersebut, terdapat beberapa panah-panah hitam yang ditulis dengan tinta.     

Angele berjalan ke sisi seberang piringan dan mendekati sang Count.     

"Jadi, inikah caramu memperbaiki rencana?"     

Sang Count mengangguk. "Dulu, hanya aku yang bertugas di sini, sehingga aku bisa menyelesaikan rencana ini sendiri. Mata Ungu, kau hanya perlu menuliskan laporan tentang situasi saat ini." Ia mendorong salah satu model kota maju ke depan. "Aku senang memiliki teman diskusi."     

"Jadi, apa kau sudah cukup yakin dengan rencanamu?" Angele menatap piringan pasir itu. Model-model tersebut sangat cocok dengan kota-kota di seluruh negeri tengah.     

Sang Count hanya tertawa. "Tidak, ini bukan masalah apakah aku yakin atau tidak. Rencana ini harus berhasil." Ia menunjuk kota yang ada di depannya. "Inilah lokasi kita sekarang, ujung teritori Sungai Tarry dan Molten River. Perang yang sedang terjadi di Sungai Tarry juga merupakan bagian dari rencanaku."     

Angele menyadari bahwa sang Count tidak ingin mengatakan situasi saat ini agar ia dianggap sebagai orang yang paling berkontribusi dalam rencana organisasi.     

"Jika kau benar-benar yakin, aku akan menjadi asisten dan mengikuti perintahmu. Aku tidak bisa apa-apa. Rencananya sudah selesai, tapi bisakah kau beritahu aku sedikit tentang pencapaian proses rencana saat ini?"     

"Tentu saja." Count itu tersenyum seraya menyentuh ujung piringan pasir.     

Shing!     

Cahaya bersinar di atas piringan itu dan menghiasi peta dengan titik-titik merah dan putih.     

Titik-titik cahaya itu membuat ruangan menjadi semakin terang.     

Angele menatap semua titik-titik cahaya itu seraya mendengarkan penjelasan sang Count dengan seksama. "Titik-titik putih adalah lokasi organisasi yang sudah tahu rencana ini, namun tidak tahu situasi aslinya. Titik-titik merah adalah lokasi yang masih harus dikerjakan, tapi semuanya sudah hampir selesai. Aku menghabiskan waktu 30 tahun untuk menyelesaikan semua ini."     

Sang Count terlihat santai.     

Angele memicingkan matanya, kemudian kembali fokus pada piringan tersebut.     

Kebanyakan titik-titik pada peta berwarna putih, dan beberapa titik merah perlahan-lahan berubah menjadi putih. Sepertinya, titik-titik merah itu adalah simbol organisasi yang masih dalam proses bergabung.     

"Hebat. Kini, aku mengerti mengapa kau terpilih sekarang. Jika kau mau, akan kubantu."     

"Tentu saja. Aku mengandalkanmu, Master Mata Ungu." Sang Count tertawa dan menggosok jenggotnya.     

Duar!     

Saat mereka berbicara, tiba-tiba salah satu titik merah meledak.     

"Hah?!" Ekspresi sang Count berubah. Matanya terbelalak dan menatap piringan pasir tersebut.     

"Ada apa?" tanya Angele. "Ada yang bisa kubantu?"     

"Tidak apa-apa, hanya masalah kecil." Sang Count kembali tersenyum. "Aku akan mengurusnya sendiri."     

"Ini bukanlah pertama kali hal seperti ini terjadi, ya?" Angele menatap titik merah yang meledak itu, tepat di atas kota kecil bernama Kota Gajah Putih yang berdiri di samping sungai. "Apa kau butuh bantuan?"     

"Tidak apa-apa. Aku punya metode sendiri," jawab sang Count dengan penuh percaya diri.     

Angele menatap sang Count. Ia menyadari bahwa pria itu sedang mencoba mengusirnya. Setelah menyiapkan rencana selama 30 tahun, ia ingin semua hadiah rencana itu menjadi miliknya.     

Count mengangkat tangan kanannya dan menyentuh lokasi tempat ledakan titik merah itu.     

Shing!     

Muncul sebuah layar berbentuk segitiga, dengan gambar yang sangat terang di dalamnya.     

Hari sudah malam. Di samping sebuah bangunan yang tengah dilalap si jago merah, berdiri seorang pria yang terluka dan seorang wanita. Tubuh mereka menjadi oranye karena cahaya api di sekitar.     

Selain api, terdapat banyak mayat-mayat berbaju putih di sekitar mereka. Pakaian mayat-mayat itu menunjukkan bahwa mereka berasal dari satu organisasi yang sama. Salah satu mayat, seorang pria berbadan kekar dan tinggi, mati dalam keadaan berdiri dan mata terbuka.     

Lagi-lagi, ekspresi Count berubah. Sepertinya ia mengenal pria dan wanita itu. Mayat-mayat yang berceceran kemungkinan besar adalah mayat kelompok kirimannya.     

Angele menatap pria yang terluka dan wanita itu. Penampilan mereka sangat tidak asing.     

Titik-titik cahaya biru bersinar di matanya.      

"Pria yang terluka itu adalah anak kepala Kota Seribu Air Terjun, kan? Mengapa dia ada di sana?" tanyanya dengan sedikit kaget.     

Angele memicingkan matanya. Ia melihat wajah Count berkedut sesaat. Sepertinya, dugaan itu benar.     

"Kau… Benar." Count kembali tersenyum. "Kau hanya ketemu mereka sekali di pesta perjamuan Shozo, tapi kau kenal mereka? Ah… Kau dan Shozo punya guru yang sama, kan? Sella adalah saudara Shozo. Aku harus membunuh Suman dan Sella. Apa kau keberatan?"     

"Tentu saja tidak." Angele menjawab. "Sepertinya, mereka kembali membunuh bawahanmu… Apa kau yakin tidak mau bantuanku?"     

"Jangan khawatir," jawab Count setelah menenangkan dirinya. "Akan kuurus sendiri."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.