Dunia Penyihir

Pemandu (Bagian 1)



Pemandu (Bagian 1)

0Jalanan berkelok-kelok berwarna kelabu membelah pepohonan yang hijau, seperti pembuluh darah yang tampak kontras dengan kulit di atasnya. Jalanan itu bercabang-cabang, seperti pola akar pohon yang rumit.     

Perlahan-lahan, sebuah kereta kuda hitam yang ditarik oleh empat ekor unicorn berjalan menyusuri jalanan itu.     

Kereta itu berwarna hitam legam. Tak ada sedikit pun hiasan yang mencolok. Kusir kereta itu adalah seorang pria tua pendek berambut acak-acakan. Matanya tampak mengantuk. Ia memegang sebuah cambuk khusus kuda.     

Langit sangatlah gelap. Angin dingin yang menusuk tulang terus berderu, hingga menggerakkan dedaunan di atas pohon.     

Tanpa memedulikan apa pun, kereta itu terus berjalan menerjang bebatuan dan rintangan. Semak belukar di sekitar jalanan bergerak-gerak. Terdengar suara makhluk-makhluk hutan yang takut akan deru kereta tersebut.     

"Master, kita akan sampai di Gua Biru Emas tiga hari lagi. Namun, sesampainya di sana, kau harus berjalan sendiri." Kusir itu mengingatkan seraya menguap lagi untuk kesekian kalinya.     

"Tidak apa-apa. Aku bisa berjalan." Suara berat seorang pria menjawab dari dalam kereta.     

Jendela kereta itu segera terbuka, dan memperlihatkan wajah seorang pria yang misterius.     

Ia memiliki mata merah yang bersinar terang, seperti batu rubi berkualitas tinggi.     

Pria itu meletakkan tangannya di ujung jendela sambil menatap sesuatu yang jauh di seberang hutan.     

"Ada yang salah. Ham, hentikan kereta. Lebih baik kita menunggu dulu," perintah pria itu dengan tenang.     

"Baik, Master." Kusir itu sama sekali tidak takut. Sepertinya ia sudah terbiasa dengan situasi seperti itu. "Ini sudah keempat kalinya. Ada apa dengan dunia ini? Jika tuanku bukan Master Green, aku tidak akan mau pergi sejauh ini."     

Mendengar perkataan itu, Angele hanya tertawa, kemudian ia kembali menatap seberang hutan. Di atas jalanan yang sempit di sana, sedang terjadi sebuah pertarungan sengit.     

Orang-orang berbaju kelabu dengan ikat kepala kuning sedang beradu kemampuan dengan pengawal-pengawal tiga kereta. Terdengar suara tawa gila yang keras, teriakan-teriakan, dan erangan kesakitan. Suasana tempat itu benar-benar kacau.     

"Ada perompak di sekitar sini. Sebaiknya kita menunggu sampai mereka selesai bertarung," kata Angele dengan santai. Sudah beberapa hari berlalu semenjak ia berangkat menuju ke Gua Biru Emas. Namun, jumlah perompak yang ada di jalan mereka benar-benar tak terbayangkan.     

Karena tidak ingin menarik terlalu banyak perhatian, Angele selalu memutuskan untuk menunggu para perompak selesai menjarah.     

Suara-suara di depan akhirnya berkurang. Para perompak telah mengepung ketiga kereta. Sepertinya, ada sesuatu yang telah terjadi. Suara tawa mereka terdengar dari jarak sejauh ini.     

Sepuluh menit telah berlalu, tapi mereka terus berteriak-teriak dan tertawa.     

Awalnya, Angele mengira bahwa mereka akan pergi setelah selesai, namun hingga kini mereka masih ada di sana.     

Ia berhenti menonton. Ia memutuskan untuk menutup jendela dan mengambil tongkat di kursinya.     

Tap!     

Angele melompat turun, membawa tongkatnya, dan memasang tudungnya. Seluruh tubuhnya tertutup oleh jubah panjang berwarna hitam.     

"Ham, tetaplah di sini."      

"Baik, Mastrr!" Ham tersenyum, memamerkan giginya yang putih. Ham bukanlah kusir biasa. Kusir biasa tidak akan mau melakukan perjalanan panjang dengan sosok seperti Angele.     

Angele mengangguk dan berjalan pergi sambil membawa tongkat di tangannya. Beberapa helai rambut merah terlihat di bawah jubah panjang itu.     

Tiga kereta membentuk formasi segitiga di depan demi menghalau para penjahat. Wanita-wanita dan anak kecil dalam formasi itu terlihat sangat ketakutan.     

Mayat-mayat dan kubangan-kubangan darah berceceran di atas tanah, sehingga membuat tempat itu berbau busuk dan tidak nyaman. Sebagian mayat adalah milik para anggota penjahat, namun sebagian besar berasal dari para pengawal kereta.     

Para penjahat itu menatap para wanita dan anak-anak sambil menyeringai keji. Wanita dan anak-anak itu sudah terkepung, sehingga tidak bisa pergi ke mana-mana.     

Sebagian besar anggota perompak membawa scimitar atau pedang crossguard; ada juga yang mengenakan pakaian prajurit yang sudah hancur atau rusak.     

Ketua para perompak itu adalah pria bertelanjang dada, dengan bekas luka memanjang di bawah mata kirinya. Pria itu berdiri dengan tangan bersedekap sambil dan tertawa, sehingga luka itu terlihat semakin mengerikan.     

"Beard, apa lagi sekarang?" Pria itu berteriak ke arah ketiga kereta.     

Di tengah formasi segitiga itu, terdapat seorang pria kekar berjenggot panjang berwarna hitam dan tebal. Ia tertawa sambil memegang mayat seorang gadis, sehingga bagian dada pakaiannya basah dan kotor terkena darah segar.     

Pada leher mayat gadis itu, terdapat luka yang terus mengucurkan darah. Mata gadis itu masih terbuka lebar. Mayatnya masih bergerak-gerak dan berkedut-kedut.     

Para pengawal wanita menatap mereka dengan campuran amarah, kebencian, dan keputusasaan. Beberapa pengawal menggenggam senjata mereka erat-erat. Namun, mereka tetap tidak bisa melakukan apa-apa.     

Sisa-sisa panah yang hancur tergeletak di tanah, yang menunjukkan bahwa serangan jarak jauh tidak mempan untuk mereka. Pria berjenggot itu tidak terluka sedikit pun.     

"Hei, cepat atau lambat, kita akan mati. Sebaiknya kita mencoba membunuh beberapa dari mereka," kata gadis berbaju merah. Tatapannya tampak geram. Ia berjanji akan bertarung hingga titik darah penghabisan.     

"Mereka sudah membunuh semua pengawal pria. Sudah jelas apa yang akan terjadi pada kita! Pasti masih ada jalan. Apa kita mau menyerahkan diri begitu saja?" jawab salah satu pengawal lain.     

"Lagipula, Big Daddy hanya butuh perawatan sederhana. Aku yakin bahwa dia masih hidup! Jangan menyerah!" timpal salah satu pengawal lain.     

Big Daddy, sosok harapan mereka, tengah terbaring di tanah. Pedang scimitar panjang menusuk tanah di sebelahnya.     

"Benar, jika Big Daddy bangun, ada harapan untuk kita!" tambah pengawal lain.     

"Siapa di sana?!"     

Tiba-tiba, para perompak di sekitar kereta berteriak.     

Angele berjalan perlahan-lahan, namun sebelum ia sampai ke kereta itu, keberadaannya telah diketahui.     

Namun, ia tidak sedang berusaha bersembunyi. Ia terus berjalan mendekati para pengawal tanpa sedikit pun rasa takut.     

Sebagian anggota perompak dan ketua mereka, sosok pria dengan luka di bawah mata kirinya, datang mendekati Angele.     

Pria itu memicingkan matanya. Ekspresinya berubah serius saat melihat hanya satu orang yang mendekat.     

"Teman, kita adalah anggota Badai Pasir. Kita akan selesai dalam 10 menit saja. Bisakah Anda menunggu?" kata pria itu. Ia menyadari bahwa tidak akan ada yang mau berjalan sendirian mendekati kelompok perompak kecuali mereka adalah anggota kuat atau bahkan… penyihir resmi. Namun, kelompok perompak itu memiliki anggota calon penyihir, dan diketuai oleh seorang Ksatria Agung. Dengan senjata-senjata sihir yang mereka miliki, mereka yakin akan menang melawan penyihir tingkat rendah dengan mudah.     

Pria itu bukanlah perompak sungguhan, sehingga ia tidak ingin membahayakan diri. Ia memutuskan untuk berbicara dengan orang asing.     

Angele menatap perompak itu. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun tiba-tiba…     

Shing! Shing! Shing!     

Sebuah bayangan raksasa berwarna merah muncul di atas kakinya, kemudian berubah menjadi sosok pria yang melayang-layang di atas para perompak. Dalam hitungan detik, bayangan merah itu mengeras, dan sosok tersebut berbalik untuk menatap kelompok perompak itu.     

Sosok itu adalah seorang pria muda dengan wajah tampan.     

Tap!     

Pria itu mendarat dan membungkuk hormat pada Angele.     

"Master Mata Ungu, jangan habiskan waktu Anda. Mereka telah menghalangi perjalanan Anda. Sebaiknya aku saja yang membunuh mereka." Pria tua itu menjilat bibirnya. Api merah berkobar dalam kedua matanya.     

Angele menatap pria itu.     

"Turin?"     

"Senang Anda mengenaliku." Turin adalah salah satu penyihir elit yang bergabung dalam kelompok Angele.     

Turin juga merupakan salah satu penyihir kuat yang bergabung dengan Menara Penyihir Kegelapan menggunakan kekuatannya sendiri. Walaupun ia tidak berasal dari keluarga penyihir yang terkenal, tingkat kekuatannya sangatlah tinggi.     

Turin mengenakan jubah merah. Rambutnya semerah api yang membara. Senyum yang aneh tersungging di wajahnya.     

"Aku mengenalimu. Kata-katamu benar-benar berkesan bagiku." Angele tersenyum. "Aku senang kau kemari untuk menyapaku."     

"Victoria juga sudah menunggu di depan." Turin ikut tersenyum. "Kami pasti mampu membuat hidup Anda semakin berwarna."     

"Itulah salah satu alasan kau bergabung denganku, kan?" Angele tertawa. Turin adalah salah satu dari tiga ketua yang ditunjuk olehnya.     

Seperti hewan buas yang kejam, Turin hidup untuk mencari sensasi bahaya dan kegembiraan. Itulah satu-satunya alasan ia bergabung dengan Menara Penyihir Kegelapan. Saat ia mendengar rencana organisasi, ia nyaris saja menjadi gila.     

Menurut kabar burung, Turin dulunya adalah penyihir jenius dari organisasi kecil. Ia tinggal dalam pegunungan terpencil selama bertahun-tahun. Seiring berjalannya waktu, ia merasa bahwa organisasi dan keluarganya tidak lagi memuaskannya, sehingga ia ingin pergi untuk mencari pengetahuan yang lebih tinggi dan sihir-sihir yang lebih kuat.     

Setelah membunuh ayah dan gurunya dalam pertarungan simulasi, ia menyadari bahwa orang-orang di sekitarnya terlalu lemah.     

Kejadian itu membuat Turin menjadi gila, hingga ia membunuh ribuan orang dalam perang antar penyihir. Pembantaian itu membuatnya dicap sebagai 'penjahat' yang diburu oleh semua organisasi di negeri tengah.     

Ditambah lagi, pria itu sangat suka memakan hati mentah anak-anak kecil, sehingga ia menyimpan banyak anak seperti hewan ternak dalam teritori-nya. Dengan begitu, ia dapat memakan hati segar kapan pun ia mau.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.