Dunia Penyihir

Hadiah (Bagian 1)



Hadiah (Bagian 1)

0"Kau harus bekerja keras, agar bawahanmu nanti mau menuruti semua perintahmu." Medisa mengambil selembar gulungan kulit coklat dan melemparkannya pada Juventus. "Terimalah ini, dan bacalah baik-baik."     

"Ha, terima kasih." Juventus menangkap gulungan itu seperti orang yang sedang menangkap harta berharga.     

Angele berdiri di samping Juventus dan mengintip. Ia penasaran dengan isi gulungan tersebut, namun ia hanya melihat sebuah puisi aneh.     

"Bagaimana menurutmu? Kita bisa berbagi. Aku selalu mengira bahwa hanya puisi dan aria yang dapat menggambarkan perasaan dalam kehidupan ini." Juventus terlihat puas.     

"Kapan-kapan saja." Angele menggeleng. Ia tidak menyangka bahwa Juventus akan menanyakan hal itu. "Aku tidak mengerti mengapa orang suka memotong kalimat yang sudah lengkap menjadi beberapa bagian."     

Karena masih memiliki pertanyaan, ia hendak memanggil salah satu penyihir…     

"Ah! Tidak!" Tiba-tiba, terdengar sebuah suara pria yang melengking dari atas meja.     

Selembar kertas kulit berdiri di meja Medisa; ujungnya telah berubah menjadi sepasang kaki pendek. Kertas itu berusaha kabur.     

Srek!     

Medisa menangkap gulungan itu dan menariknya kembali ke meja untuk melanjutkan pekerjaannya.     

"Tidak, jangan kotori tubuhku yang indah. Aku masih belum dewasa! Ya ampun! Oh! Oh! Oh!" Kertas itu mendesah, sementara Medisa tak peduli. Ia terus melanjutkan pekerjaannya. Pemandangan itu benar-benar membuatnya bergidik karena jijik.     

"Sialan, Medisa! Apa wig-mu kurang besar untuk menutupi kepala botakmu itu?! Sudah kubilang, jangan gunakan aku untuk menulis di atas kertas rendahan ini." Pulpen bulu di tangan Medisa ikut berbicara.     

"Dengarkan saja! Dengarkan! Kertas ini mendesah-desah seperti itu. Suaranya menjijikkan! Apa kau tahu bagaimana perasaanku? Setiap kali kau menulis, terdengar suara ini. Aku sudah tidak tahan lagi! Aku adalah alat tulis berkualitas tinggi, dengan sejarah yang mencapai ratusan tahun! Sana, carilah kertas normal untuk menulis. Sobek-sobeklah makhluk sialan ini dan jadikanlah sebagai lap pantatmu!" Pulpen itu menghina kertas di bawahnya dengan keji.     

Medisa hanya menghela nafas. Ia tidak mengatakan apa-apa.     

Juventus hanya tertawa dan menatap Medisa. "Kapan kedua benda itu menjadi peri?"     

Medisa tak memedulikan keributan antara pulpen dan kertas itu. Ia segera menoleh ke arah Juventus, kemudian menjawab. "Beberapa hari yang lalu. Kukira aku akan tahan mengurus mereka, tapi…"     

Angele terdiam. "Ada apa ini? Peri?" tanyanya.     

"Tempat ini… adalah sejenis 'perbatasan' antara Dunia Penyihir dan Dunia Peri. Terkadang, setelah terkena kekuatan misterius Dunia Peri, benda-benda mati di sekitar sini menjadi makhluk hidup, misalnya biskuit dan roti gulung untuk makan siangmu tadi. Semua benda yang berubah menjadi makhluk hidup dianggap sebagai peri. Inilah alasan mengapa Dunia Peri sangatlah kuat. Peri ada di mana-mana. Mereka tidak perlu bereproduksi, dan mereka bisa berwujud seperti barang apa saja." Medisa menghela nafas dan menjelaskan.     

"Apa kau serius? Ini kekuatan Dunia Peri?"     

Suara pertengkaran kertas dan pulpen itu menjadi semakin kencang.     

Juventus dan Angele saling pandang. "Sudahlah, kita pergi saja. Medisa pasti bisa mengurus mereka."     

"Baiklah." Akhirnya, Angele mengerti mengapa Dunia Peri sangat ditakuti oleh para penyihir.     

Ia pergi keluar bersama Juventus dan kembali ke lorong setelah menuruni tangga kayu tersebut.     

Pengawal di depan pintu membungkuk hormat kepada kedua penyihir itu, sebelum akhirnya berubah menjadi gumpalan asap hitam dan menghilang.     

Angele melihat ke arah pintu yang tadi digambar di atas dinding. Pintu itu telah menghilang, meninggalkan permukaan dinding yang sama sekali tidak bercela.     

"Jangan kaget. Jika kau tinggal di sini, cepat atau lambat kau akan terbiasa." Juventus mengedikkan bahunya. "Mari kita pergi, akan kuperkenalkan seorang… Teman wanita yang imut. Biasanya, di novel-novel, ada murid wanita imut yang bekerja di bawah guru legendaris berjenggot putih, kan?"     

"Begitukah?" Angele tidak tahu bagaimana harus berbicara dengan Juventus.     

Mereka segera berjalan melalui lorong, hingga akhirnya sampai ke istana kecil dengan air mancur di bagian tengahnya.     

Air hijau yang mengucur dari air mancur tersebut sangatlah bersih. Cahaya emas matahari yang bersinar dari jendela atap membuat air mancur itu terlihat semakin indah.     

Seorang gadis cantik bergaun putih berdiri di samping air mancur. Ia terlihat kesal. Rambut hitam panjangnya tergerai di atas bahunya, dan wajahnya sangat cantik. Matanya yang berwarna hijau terang benar-benar indah dan menarik perhatian.     

"Sialan! Kalau… Tidak, ini benar-benar hal paling memalukan seumur hidupku!"     

Saat berjalan, Angele dan Juventus mendengar gadis itu marah dan mengumpat-umpat. Gadis itu sibuk mencuci sesuatu di dalam air mancur tersebut.     

"Hei, Dina, kau sedang apa?" tanya Juventus dengan nada menghina.     

Ia berjalan mendekati gadis itu. "Selamat! Kudengar, celana dalammu berubah menjadi peri-peri."     

"Juventus! Apa-apaan kau ini? Sedang apa kau di sini?!" Gadis itu menoleh. Wajahnya memerah karena malu. Ia menyembunyikan benda yang dicucinya di belakang punggungnya.     

"Iya, iya. Perkenalkan, ini Angele, murid baru guru dan teman baru kita. Kuharap kalian bisa berteman dengan baik."     

Dina segera mengangguk. "Halo, senang berkenalan denganmu."     

"Senang berkenalan denganmu juga." Angele mengernyitkan alisnya. "Maaf, tapi aku mau bilang…" Ia menunjuk ke arah kaki Dina.     

Gaun pendek Dina nyaris tidak bisa menutupi lututnya.     

Sebuah celana dalam berwarna putih bergelantungan pada kaki wanita itu. Celana dalam itu bahkan memiliki tangan putih pendek, mata, dan mulut. Sepertinya, celana itu sedang mencoba kabur.     

"Cukup! Sudah cukup! Aku tidak tahan lagi!" Celana itu menangis seraya memanjat turun. "Dina, kau jahat sekali! Kau terakhir kali mandi 10 jam dan 32 menit lalu. Aku tidak mau menjadi celanamu lagi! Kau tidak akan mati tanpa celana. Lagipula, angin akan membuatmu merasa lebih sejuk!"     

Hening. Seketika hening. Ketiga penyihir itu tidak menyangka akan mendengar hal itu.     

Wajah Dina memerah. Air mata membasahi ujung-ujung mata dan pipinya. Sebelum Juventus dan Angele bisa mengatakan apapun, gadis itu berteriak kencang.     

"Ah!"     

"Sudahlah, kita pergi saja…" Juventus dan Angele segera pergi meninggalkan istana itu.     

Mereka berjalan cepat, hingga lebih dari sepuluh meter jauhnya dari istana tersebut, namun mereka masih dapat mendengar suara teriakan Dina.     

"Jangan khawatir, nanti saja kau bicara dengannya. Situasi ini sedikit… memalukan." Juventus menghela nafas. "Kembali ke topik awal, apa yang akan kau lakukan dengan set lingkaran sihir warisan-mu? Apa kau mau membangunnya di sini?"      

Angele telah memikirkan hal itu.     

"Sepertinya, aku akan membangun di kolam energi."     

Setelah menerima hadiah, ia langsung memikirkan rincian pembangunan lingkaran sihir tersebut.     

Di dunia utama, tidak ada tempat yang benar-benar aman. Jika ia membangun lingkaran tersebut dalam reruntuhan di bawah gunung berapi, akan sulit menjelaskan situasinya pada Vivian.     

Ditambah lagi, membangun lingkaran itu di Dunia Mimpi Buruk akan sangat berbahaya. Bagaimana jika kekuatan lingkaran tersebut tidak bisa dipindahkan ke dunianya? Lagipula, Dunia Mimpi Buruk terlalu berbahaya.     

Membangun set lingkaran sihir warisan itu di markas Menara Penyihir Kegelapan adalah pilihan terbaiknya.     

Beberapa waktu lalu, pihak organisasi menyarankan untuk membangun lingkaran tersebut dalam kolam energi organisasi. Kolam tersebut sangatlah aman, dan dapat membantu memperlancar pemindahan kekuatan. Itulah janji pihak organisasi setelah ia memenangkan kompetisi.     

Setelah berpikir lama, akhirnya ia memutuskan untuk membangun lingkaran tersebut dalam kolam energi organisasi.     

Lingkaran sihir tersebut akan menjadi penambah kekuatan terbesarnya, namun ia yakin bahwa lingkaran itu tidak akan membantu setelah ia menemukan cara mengaktifkan wujud aslinya di dunia ini.     

"Iya, di kolam energi." Angele mengulangi jawabannya.     

"Baiklah, kalau begitu, akan kuantar ke sana." Setelah menyadari bahwa keputusan Angele sudah bulat, Juventus tidak mengatakan apa-apa.     

Sambil berjalan ke tempat kolam energi, mereka membicarakan lebih banyak tentang para peri.     

Mereka berjalan meninggalkan lorong, melewati jembatan kayu, dan masuk ke sebuah menara dengan bentuk seperti batang pohon. Sepertinya, pohon ini berfungsi sebagai 'cabang' pohon utama.     

Ruang utama menara tersebut sangat gelap, dengan patung-patung hitam berbentuk seperti monster yang bertugas sebagai penjaga.     

Patung-patung hitam itu terlihat nyata dan sangat mengerikan. Mata mereka, yang terbuat dari batu rubi merah bercahaya, menjadi satu-satunya sumber penerangan tempat itu.      

Di belakang patung-patung tersebut, tepat di depan mereka, terdapat sebuah gerbang batu tebal, dengan kepala seekor naga yang terukir di atas permukaannya. Naga itu menutup matanya, dan asap kuning terus berhembus melalui lubang hidungnya.     

Juventus menekan kepala naga itu dan menutup matanya selama beberapa detik.     

Brak!     

Akhirnya, pintu itu terbuka, sehingga membelah kepala naga tersebut menjadi dua bagian.     

Kini, mereka sampai ke ruangan di mana kolam-kolam energi organisasi tersimpan.     

Dalam ruangan itu, terdapat banyak sekali kolam dengan cahaya kehijauan, hingga menutupi hampir semua bagian tempat itu.     

Kolam-kolam itu memiliki bentuk yang berbeda-beda, mulai dari lingkaran, telur, persegi, hingga seperti air mata atau bahkan tak berbentuk. Semua kolam itu menyinari ruangan dengan cahaya kehijauan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.