Dunia Penyihir

Masa Lalu (Bagian 2)



Masa Lalu (Bagian 2)

0Angele terus membalik halaman-halaman tersebut.     

Rune-rune komunikasi dari penyihir Tangan Elemental dan beberapa murid tertulis dalam buku itu. Rune-rune pada bagian akhir buku itu adalah kiriman penyihir dari Perbatasan Barat.     

Perlahan-lahan, jarinya berhenti pada rune bercahaya putih – rune komunikasi milik Nancy.     

Rune berbentuk seperti bunga mawar putih itu meredup. Sepertinya, pemiliknya telah sekarat.     

Dengan teliti, Angele memeriksa rune putih itu.     

'Cahaya ini… Dia masih berusaha menjadi penyihir resmi, namun ia gagal beberapa kali.' Sepertinya, sisa potensi dan energi kehidupan wanita itu telah habis.     

Angele menatap rune tersebut. Ia membayangkan wanita cantik itu menua, dengan wajah penuh kerutan.     

'Itulah konsekuensi pilihannya. Aku sudah membantunya semampuku.' Ia menggeleng dan memeriksa rune-rune komunikasi lainnya.     

Tiba-tiba, ia berhenti pada rune berwarna biru gelap yang berbentuk seperti seekor centaur. Rune itu memancarkan cahaya keunguan.     

Saat ia menyentuh rune itu, terdengar sebuah pesan dalam telinganya.     

"Maafkan aku, Green. Aku tidak tahu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk mengantarkan pesan ini padamu. Hari demi hari, situasi di sini semakin buruk. Kebanyakan menara pengirim pesan telah dihancurkan oleh para duyung, dan aku tidak yakin bahwa ada energi yang cukup untuk mengirim pesan ke negeri tengah, sehingga aku harus menggunakan metode spesial untuk memastikan pesan ini sampai padamu. Beberapa tahun ini, aku bekerja sama dengan gurumu, dan semuanya berjalan baik. Tapi, aku punya pesan penting untukmu." Suara Isabel terdengar sangat tidak asing.     

"Maafkan aku… Tapi ayahmu sudah tiada. Beberapa tahun lalu, ia menjadi petualang. Ia ingin melihat dunia. Walaupun kami sudah mengirimkan suruhan untuk melindungi ayahmu, kapal mereka hancur saat mereka berusaha menyeberangi Laut Permata. Seluruh kapal telah karam dan hancur. Kami berusaha mencari mereka dengan bantuan para duyung, namun lautan luas itu telah menjadi tempat peristirahatan terakhir…" Suara Isabel terdengar sedih.     

Isabel masih sama seperti dulu. Ia terus berusaha menunjukkan perasaannya.     

'Ayah…' gumamnya. mengingat saat pertama kali ia masuk ke dunia ini.     

Sebuah ingatan muncul di benaknya, sebuah ingatan masa lalu di mana ia sedang melihat ke bawah melalui jendela kamarnya. Sang Baron, dengan rambut dan jenggot panjangnya, duduk menunggang seekor kuda kuat seraya tersenyum pada Angele.     

Angele menghela nafas dan berdiri. Perasaannya bercampur aduk.     

Ia menyadari bahwa cepat atau lambat, ia harus menghadapi kematian. Namun, saat ia mendengar kematian, ia tetap merasa sedih.     

Setelah bereinkarnasi, ia tidak terlalu mengenal sang Baron, sehingga ia tidak menghabiskan banyak waktu bersamanya.     

Angele berdiri di samping jendela. Ia menyadari bahwa tidak ada banyak hal yang menghubungkannya dengan dunia di daerah perbatasan barat.     

Isabel, si cantik yang dingin, Organisasi Poros Waktu yang misterius, Ramsoda, Laut Permata, Aliansi Andes, Dataran Anser, dan Kerajaan Rudin yang telah lama menjadi sejarah.     

Wajah-wajah orang yang dikenalnya muncul di dalam benaknya seperti sebuah film.     

Ingatan itu membuatnya tersadar bahwa ia telah mengunjungi banyak tempat dan bertemu banyak orang.     

Perlahan, ia meletakkan jarinya pada rune komunikasi Isabel.     

"Aku telah menerima pesanmu," gumamnya lirih.     

Rune centaur itu bercahaya biru, menunjukkan bahwa pesannya telah terkirim. Namun, Angele tidak tahu apakah Isabel sudah menerimanya atau belum.     

Ia menghela nafas, menutup buku, dan meletakkan buku itu kembali ke dalam kotak.     

Ayahnya telah tiada, dan ia tidak tahu di mana ibunya. Sekarang, satu-satunya orang yang ia anggap sebagai keluarga adalah Vivian. Perasaannya bercampur antara senang dan sebal. Ia tidak yakin apakah ia harus berterimakasih pada Henn akan rencana jahatnya.     

"Ini adalah siklus kehidupan penyihir…" Ia menarik nafas dalam-dalam dan menatap langit malam melalui jendela kamarnya.     

**     

Di Tebing Neraka…     

Di atas padang rumput kuning itu, retakan tebing hitam yang dikenal sebagai Tebing Neraka terlihat sangat mencolok seperti seekor lipan raksasa yang mampu melepaskan gelombang udara dingin ke seluruh penjuru.     

Pada ujung tebing, terlihat seorang wanita berjubah putih duduk bersila.     

Wanita berjubah putih itu sangatlah anggun dan cantik. Telinga kanannya yang berbentuk seperti telinga kelinci terlihat sangat mencolok.     

Cahaya keemasan matahari menyinari wanita itu, sehingga ia terlihat seperti patung putih.     

Pip!     

Dua ekor burung berwarna hitam dan putih mendarat di pundak wanita itu. Mereka melompat-lompat dan berkicau. Sepertinya, kedua burung itu tidak takut dengan wanita tersebut.     

Tiba-tiba, wanita itu membuka matanya – sepasang pola angin topan berputar dalam bola matanya.     

"Akhirnya," gumam wanita itu. "Arus Kematian pun tidak cukup untuk menghapus semua jejak pertarungan di tempat ini."     

Perlahan-lahan, ia berdiri. Tubuh kedua burung itu berubah menjadi putih pucat. Seketika, tubuh mereka membeku menjadi es.     

Prak!     

Kedua burung itu mati dan terkapar di atas tanah.     

Wanita itu mengangkat tangan kanannya dan melepaskan cahaya putih. Cahaya itu menusuk langit, sebelum berubah menjadi tabung cahaya.     

Setelah mengirim sinyal itu, ia hanya diam di depan tabung.     

Tiba-tiba, segumpal asap putih muncul dan mendarat di depan wanita itu, sebelum akhirnya berubah menjadi seorang pria berjubah putih.     

"Master Erwin, apakah kau sudah menemukan jejak?" tanya pria itu.     

"Ada apa?" Erwin tidak tertarik menjawabnya.     

Pria itu mengangguk. "Dua penyihir tingkat 4 dari Dunia Bawah Tanah menyerang kami. Kami butuh bantuanmu. Kedua penyihir itu tidak punya lingkaran sihir pewaris."     

"Aku tidak akan bekerja secara cuma-cuma." Ekspresi Erwin berubah dingin. "Beritahu dia bahwa aku butuh tiga tahun lagi untuk menemukan pembunuh saudaraku. Tinggalkan aku sendiri!"     

"Tiga tahun?" Ekspresi pria itu berubah terkejut. "Jangan bilang kau mau…"     

"Benar. Aku harus turun ke dasar tebing untuk mencari mayat saudaraku." Erwin menggeleng. Kesabarannya mulai habis. "Aku akan kembali dalam tiga tahun."     

"Tapi, Master… Tebing itu terlalu berbahaya, dan—"     

"Sudahlah, kau boleh pergi." Erwin melambaikan tangannya dan melepaskan secercah cahaya putih dari tangan kanannya. Tidak sempat menyelesaikan perkataannya, tubuh pria itu berubah menjadi asap putih dan menghilang ke langit.     

Erwin berjalan menyusuri ujung tebing dan melihat ke bawah. Kedua spiral dalam bola matanya berputar semakin cepat.     

**     

Dunia Mimpi Buruk, di dalam arena berlatih …     

Cahaya matahari menyinari seluruh lapangan berlatih dengan cahaya kemerahan.     

Angin sejuk bertiup, membuat tempat itu terasa sejuk dan nyaman.     

Di lapangan berlatih, dua orang sedang sibuk bertarung. Kedua gadis yang membawa pedang crossguard dan pisau panjang saling beradu serangan dalam hitungan detik.     

Angele berdiri di tepi lapangan sambil menatap kedua gadis saling bertarung.     

Freia menggunakan sebilah pedang crossguard, sementara Orphie menggunakan pisau panjang.     

Orphie kesulitan bertahan melawan Freia, bahkan pakaian khas berburu yang ia kenakan telah rusak.     

Tak butuh waktu lama, Freia berhasil memenangkan pertarungan itu.     

"Orphie, kau harus sering berlatih. Aku hanya menggunakan sepertiga dari kemampuanku." Freia menghina Orphie seraya menggunakan teknik berpedang yang telah dipelajarinya.     

Wajah Orphie memerah karena marah. Konsentrasinya pun buyar, sehingga ia hanya berhasil menangkis sebagian serangan Freia.     

Shing!     

Lagi-lagi, sabuk Orphie terkena serangan Freia.     

Plok! Plok!     

Angele bertepuk tangan.     

"Baiklah, sudah cukup. Freia, berhentilah sekarang."     

Freia melompat ke belakang seraya menghunuskan pedangnya pada Angele.     

"Green, kemarilah. Lawan aku dan bantu aku meningkatkan kemampuanku. Jika kau kalah, kau harus mandi bersamaku. Jangan lari kali ini!" Rambut kuncir kuda Freia menari-nari mengikuti arah angin. Cahaya matahari menyinari kulitnya yang bersih. Gadis itu terlihat muda dan penuh energi.     

Angele terdiam.     

"Kau sudah bukan anak kecil. Aku tidak mau mandi denganmu. Pergi mandi, lalu kita makan malam."     

Mendengar pembicaraan itu, wajah Orphie memerah karena malu. "Aku mau mandi dulu."      

Ia tahu bahwa saat ia mulai tinggal di rumah ini, Freia tidak lagi memperlakukan Angele sebagai ayah, namun sebagaimana seorang istri memperlakukan suami. Seperti hubungan romantis tanpa rahasia di antara mereka.     

Walaupun Orphie tidak yakin apakah Angele adalah seorang manusia, ia tidak terlalu memikirkannya. Baginya, yang terpenting adalah ia bisa hidup aman di sini.     

Setelah Orphie pergi, Freia masih berdiri di lapangan.     

Dengan ujung pedangnya, Freia menggambar kilatan berbentuk bunga. "Cepatlah, Green! Apa kau takut?"     

Angele naik ke lapangan dan mengangkat tangan kanannya, menciptakan sebilah pedang crossguard perak.     

Sebelum Angele sempat bereaksi, Freia sudah mulai menyerang. Pedangnya yang melesat cepat terlihat seperti benang kilat perak.     

Klang!     

Angele menyerang Freia dengan pedangnya seraya memiringkan badannya ke kiri.     

Ia mempersiapkan diri untuk menyerang dengan menarik bahu Freia. Biasanya, teknik ini bisa membuatnya menang, sehingga gadis itu mau makan malam tanpa meminta yang aneh-aneh.     

Namun, Freia membiarkan Angele menarik bahunya seraya menyerang kembali ke arah tenggorokan Angele.     

Sebelum pedang gadis itu mencapai sasaran, pedang Angele telah mencapai wajahnya terlebih dahulu. Freia tidak melihat serangan pedang yang datang ke arahnya, seakan ia berusaha menukar hidupnya dengan kesempatan untuk mandi bersama Angele.     

"Kau benar-benar kekanak-kanakan." Angele terdiam. Ia menurunkan pedangnya untuk menangkis serangan Freia.     

Tangan Angele masih berada di atas bahu kanan Freia, namun tiba-tiba Freia mundur sedikit, sehingga tangan Angele menyentuh sesuatu yang terasa empuk.     

Angele mundur sedikit. Tangannya berada di atas dada Freia.     

"Hei…" Tanpa membuang waktu, ia menarik tangannya. Sepertinya, Freia sengaja melakukan hal itu.     

Mereka terdiam di lapangan itu. Situasinya menjadi sangat canggung.     

"Bagaimana, Green? Lebih besar dari sebelumnya, kan?" Freia menatap Angele, seolah tidak peduli bahwa Angele baru saja menyentuh dadanya.     

Gadis itu sudah hidup terlalu lama di rumah. Hanya Angele dan kakaknya yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi tentang perbedaan antara laki-laki dan wanita. Namun, Freia tidak terlalu menggubris perbedaan itu.     

"Terkadang, aku menyentuhnya. Rasanya enak sekali, tapi jika kutekan keras-keras, akan…" Freia menjelaskan.     

"Baik, sudahlah. Sekarang, pergilah makan. Aku membawa Orphie kemari karena aku ingin kau punya teman. Jika kau tidak menurut, Orphie akan kubawa pergi, dan kau tidak akan punya teman lagi," potong Angele. Ia tidak tahu harus menjawab apa.     

"Iya, iya…" Freia memutar matanya. Sepertinya, ia mendapat ide lain, sehingga ia tidak melawan. Setelah Angele turun, ia ikut turun dan mengembalikan pedangnya ke dalam rak.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.