Dunia Penyihir

Perang Berlanjut (Bagian 3)



Perang Berlanjut (Bagian 3)

0Tiga hari kemudian…     

Semua ladang di padang kuning daerah Molten River telah terbakar habis, hingga gunung-gunung di sana menghitam dan tanahnya mengeluarkan asap. Sisa-sisa cipratan darah dan abu hitam berceceran di atas tanah.     

Ladang hijau di sana sangatlah sunyi. Asap hitam membumbung ke atas langit.     

Perlahan-lahan, Angele berjalan melewati ladang yang telah hancur itu dengan sebuah tongkat kuning di tangannya. Titik-titik cahaya biru bersinar di depan matanya, kontras dengan topi hitam dan rambut merah yang tergerai di atas dadanya.     

Hari sudah siang menjelang sore. Cahaya keemasan matahari bersinar dan menyinari ladang tersebut.     

Angele melihat sekelilingnya.     

'Ini kan ladang-ladang pertanian sekitar kota di daerah Molten River… Kenapa tidak ada orang di sini?'     

Tempat itu benar-benar kosong. Bahkan ia hanya bisa melihat sisa-sisa ladang.     

Jauh di depan, terlihat pegunungan tinggi berbentuk seperti piramida.     

"Pegunungan Api Tarren…" gumamnya.     

Tiba-tiba, gelombang-gelombang energi transparan muncul di sekitar pegunungan. Gelombang-gelombang itu berbentuk seperti cincin-cincin asap yang menghilang dalam hitungan detik.     

Setelah beberapa menit, Angele merasakan angin di tempat itu menjadi semakin kuat. Ekspresinya pun berubah serius.     

'Gelombang energinya kuat sekali…' Ia berhenti berjalan.     

'Sebaiknya aku tidak dekat-dekat tempat itu dan mencari tempat yang aman di sini.'     

Angele berjalan menyusuri tempat itu dan menemukan sebuah bukit yang cukup besar.     

Ia berdiri di depan bukit itu, mengulurkan tangannya, dan mengepalkan tangannya.     

Brak!     

Retakan hitam muncul dan melebar pada bukit berwarna kuning itu. Retakan tersebut perlahan berubah menjadi pintu lorong yang gelap menuju bawah tanah.     

Di dalam lorong itu, Angele dapat melihat lumpur, bebatuan, dan pasir, yang kemudian mengeras dan membentuk dinding.     

Wajahnya menjadi pucat, dan dahinya dipenuhi keringat.     

Sekitar setengah jam kemudian, ia menghela nafas lega dan menurunkan tangannya. Tanpa membuang waktu, ia langsung berjalan masuk ke dalam retakan tersebut.     

Retakan itu adalah jalan menuju lorong yang mengarah ke bawah. Untuk melanjutkan perjalanan, Angele harus terus menggali semakin dalam.     

Akhirnya, setelah beberapa saat, kedalaman lorong itu sudah mencapai lebih dari satu kilometer.     

Lorong itu sangat gelap. Hanya ada bola cahaya putih di samping Angele yang menerangi tempat itu.     

Setelah jalan di depannya tertutup mineral, Angele berhenti menggali dan duduk bersila. Perlahan-lahan, kumpulan mineral tersebut terdorong mundur.     

Setelah kumpulan mineral itu terdorong, ia mengambil magic stone putih yang permukaannya dipenuhi dengan rune-rune rumit. Dengan hati-hati, ia menata semua rune itu agar membentuk pola tertentu.     

Saat ia meletakkan bebatuan itu di atas tanah, batu-batu tersebut memancarkan cahaya terang berwarna putih. Dalam beberapa detik, lebih dari 10 magic stone telah tersusun rapi di tanah.     

Setiap kali ia meletakkan satu magic stone, ruangan itu menjadi semakin luas.     

Akhirnya, ujung lorong itu berubah menjadi ruangan luas berdinding batu dengan bentuk seperti kubus yang sempurna.     

Ia meletakkan magic stone terakhir dan menekan telapak tangannya di tanah sembari menggumamkan mantra.     

Wush!     

Semua magic stone itu melepaskan cahaya putih menyilaukan yang bergabung satu sama lain dan membentuk sebuah rune rumit. Cahaya putih itu menerangi seluruh ruangan.     

Angele berdiri dan mengangguk puas, kemudian ia menoleh dan menunjuk ke arah lorong yang ia ciptakan. Seketika, lumpur dan bebatuan di dinding meleleh, sehingga lorong itu menghilang tak berbekas, seolah tak pernah ada sebelumnya.     

Ruangan itu berubah menjadi tempat tertutup tanpa pintu masuk maupun pintu keluar.     

Ia mengangkat tangannya, menciptakan sebuah meja serta beberapa kursi. Setelah selesai, ia mendekati meja itu dan mengambil sebuah bola kristal gelap dari cermin hitam di pinggangnya.     

Ia meletakkan kristal itu di atas meja dan perlahan menyentuhnya.     

Cahaya putih muncul dari permukaan bola itu, memperlihatkan situasi pada ladang-ladang di atas sana.     

Bola tersebut menunjukkan apa yang dilihat Angele sebelum menciptakan lorong tersebut.     

Tanpa ragu, ia menggigit jarinya dan menggambar pola tengkorak di atas meja dengan darahnya.     

Saat ia menggambar, pola-pola putih muncul pada dinding ruangan tersebut, seakan-akan ada pisau tak kasat mata yang mengukirnya.     

Pola-pola aneh itu terlihat seperti gabungan lingkaran-lingkaran dan makhluk-makhluk berwujud manusia.     

Setelah selesai menggambar garis luarnya, ia mulai menggambar bagian-bagian kecil pada tengkorak tersebut garis demi garis.     

'Ini adalah masalah besar…' Setelah menggambar bagian kecil. Ekspresinya berubah serius.     

Ia merasakan kekuatan mentalnya ditarik keluar saat ia menggambar setiap garis, seakan-akan tengkorak itu hidup dan menyedot darahnya.     

Rasanya seperti ada makhluk aneh yang menyerap darahnya melalui luka pada jarinya itu.     

Waktu terus berjalan…     

Saat ia selesai menggambar tengkorak tersebut, wajahnya memucat.     

'Ini masih tanda pertama, namun separuh kekuatan mental-ku sudah habis… Rasanya seperti sedang menandatangani kontrak…'     

Ia berdiri, dan luka di jarinya segera sembuh dan menghilang.     

Tanda itu terhubung erat dengan gelombang mental-nya. Jika tanda itu rusak, kekuatan mentalnya akan ikut terluka.     

'Akhirnya, tanda Bone sudah selesai, tapi aku masih harus mengerjakan tanda-tanda lainnya.' Setelah beristirahat selama beberapa menit, Angele menciptakan lorong lain pada salah satu sisi dinding. Lorong itu juga mengarah ke bawah.     

Ia menghabiskan beberapa hari untuk membangun dua ruangan batu untuk Vapor dan si pria berjubah putih.     

Akhirnya, tanda-tanda para wujud tersegel telah selesai. Sebagai alarm untuk berjaga-jaga, ia mendirikan beberapa lingkaran rune tersembunyi.     

Tanda-tanda para wujud tersegel telah selesai, namun ia masih harus mengumpulkan jiwa-jiwa sebagai bahan ritual.     

Ia tinggal di ruangan dengan tanda Bone dan mengamati bola kristal hitam di ruangan itu dengan seksama. Dengan bantuan bola itu, ia memeriksa keadaan perang di luar sana.     

Setelah empat hari, akhirnya padang-padang itu berubah.     

Dalam bola kristal tersebut, terlihat sekelompok elang emas mendarat perlahan di padang. Ksatria-ksatria pria dan wanita sedang menunggangi elang-elang tersebut.     

Para ksatria melompat turun dari tunggangan mereka, memeriksa persenjataan, dan melihat situasi di sekitar.     

"Monster-monster sialan! Seharusnya mereka disiksa dan dibunuh!" umpat seorang ksatria bertubuh kekar.     

"Berhati-hatilah, semuanya! Kita telah merasakan pergerakan energi di tempat ini beberapa hari yang lalu. Mungkin mereka telah membuat jebakan!"     

Seorang ksatria wanita berdiri di belakang pria kekar itu dengan ekspresi wajah yang datar. Dengan hati-hati, wanita itu mengambil sebilah pisau perak dan melukai tangan kirinya.     

Darah merah mengucur dan menetes ke tanah.     

Begitu darah darah itu menyentuh tanah, asap merah memenuhi tempat itu.     

Akhirnya, ksatria wanita itu menutup lukanya dan mengamati asap tersebut. Ia menggeleng setelah melihat asap itu selama beberapa detik.     

"Tidak ada apa-apa? apa kau yakin? Mungkin mereka sudah pergi." Seorang ksatria berambut pirang berkata dengan suara berat. "Lebih baik kita tetap hati-hati. Ada pertarungan di daerah selatan, dan sepertinya merekalah yang memulai pertarungan itu."     

"Ayolah, jangan jadi penakut!" Pria kekar itu menarik kapaknya dan mengayunkan kapak itu beberapa kali dengan cepat, hingga bilah pedang itu tampak buram.     

Saat para ksatria sibuk berbicara, sekelompok burung bangkai berbulu hitam kemerahan muncul di langit. Lima orang ksatria kegelapan menunggangi punggung burung-burung itu.     

Burung-burung bangkai itu berbentuk seperti mutan. Cakar mereka diselimuti jarum-jarum perak, sehingga terlihat seperti pelat besi dengan duri-duri tajam.     

"Bersiaplah untuk bertarung!" Ksatria wanita berwajah datar itu merasakan adanya musuh terlebih dahulu. Tanpa membuang waktu, ia menarik busur panjangnya dan menembakkan panah kepada kelompok ksatria kegelapan di langit.     

Sebilah panah hitam meninggalkan busur tersebut. Di udara, panah itu berubah menjadi tiga utas benang yang melesat cepat ke arah para ksatria.     

Setiap benang diikuti oleh bayangan yang tampak seperti bayangan monyet. Bayangan-bayangan itu melompat-lompat ke arah para ksatria kegelapan tersebut seperti orang gila.     

Duar! Duar! Duar!     

Setelah terdengar suara ledakan, kumpulan kabut hitam muncul di sekitar para ksatria tersebut.     

Ketiga panah itu masuk ke dalam kabut gelap seperti batu yang jatuh ke dalam air. Sepertinya, ketiga panah tidak mempan.     

"Kapten ksatria kegelapan! Kita butuh bantuan!" teriak ksatria wanita tadi.     

Dua ksatria mengangguk, melompat turun dari elang mereka, dan segera meninggalkan medan perang.     

**     

Di dalam ruangan batu.     

Dengan bantuan kristal-nya, Angele mengamati situasi di luar dengan teliti.     

Dua ksatria penunggang elang sibuk bertarung melawan dua ksatria kegelapan. Namun, sepertinya kedua ksatria kegelapan hanya sedang bermain-main. Mereka memiliki banyak kesempatan untuk mengalahkan kedua ksatria elang, namun mereka hanya memilih untuk menangkis.     

"Jadi, mereka hanyalah umpan," gumam Angele.     

Ksatria-ksatria lainnya berputar-putar di langit dan menonton pertarungan di bawah sembari tertawa-tawa.     

Pertarungan itu berlangsung selama beberapa menit.     

Akhirnya, ratusan elang-elang emas muncul di langit, diketuai oleh seorang pria muda berbaju zirah perak. Pria itu memiliki wajah yang tampan. Ia membawa tombak perak sepanjang dua meter yang berkilau di bawah cahaya matahari.     

"Mundur!" Melihat kedatangan mereka, ekspresi para ksatria kegelapan berubah serius. Mereka segera terbang mundur.     

Salah satu ksatria kegelapan melambat akibat serangan si pria kekar. Seketika, dadanya tertusuk petir biru, sehingga ia jatuh dari tunggangannya.     

Saat ksatria itu mendarat, tubuhnya meledak menjadi asap hitam, sebelum akhirnya menghilang.     

Jiwa ksatria kegelapan itu terserap masuk ke tanah, namun tidak ada yang menyadarinya.     

Angele menatap kejadian itu dan memicingkan matanya.     

Ia mendongak dan melihat jiwa berbentuk manusia turun dari langit-langit dan terbang menuju simbol tengkorak di atas meja.     

Dalam satu detik, jiwa ksatria itu sudah habis terserap oleh simbol tersebut.     

'Jiwa ksatria kegelapan sama persis dengan jiwa ksatria biasa?' Angele mengernyitkan alisnya. Ksatria itu memiliki kekuatan yang setara dengan calon penyihir tingkat 3, namun jiwa ksatria itu sangat lemah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.