Dunia Penyihir

Perjalanan (Bagian 1)



Perjalanan (Bagian 1)

0"Dua hari lagi, kita akan meninggalkan benua tengah…"     

Tetua Pertama melihat Angele, yang sedang duduk di dalam kereta yang berjalan di depan mereka, kemudian ia berbicara dengan lirih. "Aku jadi ingin tahu apakah metode Green cukup aman… Tapi, di sisi lain, meninggalkan benua tengah mungkin adalah pilihan yang baik. Kita bisa mencari tempat yang aman dan membangun kembali organisasi kita."     

Tetua pertama tetap diam. Ia hanya mengaduk secangkir minuman berwarna gelap dan tidak berkata apa pun.     

Vivian bersandar di dekat jendela dan menatap padang rumput di luar.     

"Sayangnya, Tetua Keempat dan Tetua Kelima memutuskan untuk tidak bergabung dengan kita." Vivian terdengar sedih. Ia memandang seekor burung hitam yang terbang melintasi langit.     

"Tetua Keempat dan Tetua Kelima tidak akan pernah mau meninggalkan benua tengah… Aku bisa memahami pilihan mereka. Mereka punya terlalu banyak hal yang mengganggu mereka di benua tengah," jawab Tetua Pertama dengan tenang.     

"Kakek!" Tiba-tiba, terdengar suara melengking seorang anak kecil. Pintu kereta itu terbuka, dan seorang anak lelaki berumur sekitar 7 tahun melompat ke dua lengan Tetua Pertama.     

Tetua Pertama memeluk anak itu dan menyunggingkan senyuman. "Ada apa, Benny? Kenapa kau datang kemari lagi? Aku sudah tidak bisa memberimu permen pelangi lagi."     

"Aku sudah tidak suka permen pelangi! Aku mau kue kering annie!" teriak anak itu.     

"Tidak ada kue kering annie di sini…" Tetua Pertama terdiam, tidak tahu harus berkata apa. "Duduklah dengan tenang di sini jika kau mau tinggal di kereta ini."     

"Baiklah…" Anak itu duduk di depan tetua pertama, sementara pria tua itu melingkarkan kedua lengannya pada leher anak tersebut.     

Tetua Pertama memandang Vivian dan berbisik lirih. "Vivian, apa kau sudah benar-benar siap? Bagimu, meninggalkan benua tengah mungkin bukanlah pilihan terbaik."     

"Tidak apa-apa. Masa laluku sudah tidak menjadi masalah buatku." Vivian menjawab.     

Tiba-tiba, kereta terhenti, dan kerbau-kerbau di luar bersuara dengan kerasnya. Dalam beberapa detik, semua kereta dalam karavan itu berhenti.     

"Para Tetua, sepertinya ada sesuatu yang menghalangi jalan. Green telah menghentikan kereta, dan ia meminta Anda untuk memeriksa situasi." Seorang pria muda berteriak dari luar kereta.     

"Tentu."     

Tetua Pertama segera berdiri dan saling pandang dengan Vivian, seakan ia sudah mengetahui apa yang akan terjadi. "Mari kita lihat."     

"Baiklah."     

Bersama dengan Benny, mereka meninggalkan kereta dan berjalan mendekati Angele.     

Beberapa orang sudah berkumpul di sekitar kereta pertama. Semuanya berdiri mengelilingi batu nisan berwarna kelabu. Beberapa orang sibuk berbicara.     

Pria yang berdiri di posisi paling depan adalah seorang pria berjubah hitam. Rambut merahnya sangat panjang, hingga hampir mencapai pinggangnya. Sambil bersedekap, ia berdiri menatap batu nisan tersebut tanpa berkata apa-apa.     

Pria itu adalah Angele, yang baru saja turun dari kereta. Setelah melihat para tetua dan ibunya sudah datang, ia berbalik dan berjalan mendekati mereka.     

Ia menunjuk batu itu dan berkata dengan lirih. "Para Tetua sekalian, mohon lihatlah batu ini."     

Para penyihir itu melihat batu setinggi 2 meter dan selebar 1 meter itu. Setengah batu nisan tersebut terletak di bawah tanah dan melepaskan cahaya lembut berwarna putih. Batu itu seolah mengeluarkan gelombang-gelombang energi.     

Pada permukaan batu nisan tersebut, terukir sebuah tulisan 'Benua Tengah'.     

"Sudah kuduga…" Tetua Pertama tidak memedulikannya. "Sebagai orang yang pernah hidup di perbatasan barat, kau pasti tahu apa arti batu ini kan, Green?"     

Angele mengangguk, dan ekspresi wajahnya berubah serius. "Inilah alasan mengapa aku menghentikan kereta. Aku harus memberitahu sesuatu yang sangat penting di sini."     

Para penyihir perlahan-lahan memelankan suara mereka. Semuanya memandang Angele. Mereka adalah saudara-saudara para tetua, atau setidaknya memiliki hubungan dengan para tetua. Mereka telah mengambil pilihan yang tidak akan dilakukan oleh orang-orang normal. Mereka sudah siap menghadapi apa pun.     

"Katakan saja. Ada apa?" Seorang penyihir berjubah putih maju selangkah. Pria itu memiliki rambut pendek berwarna putih. Sepertinya ia lebih tua dari penyihir lainnya. Ia maju terlebih dahulu, jadi sepertinya pria itu sangat dipercaya oleh penyihir-penyihir lainnya.     

"Batu nisan yang kalian lihat ini adalah penanda perbatasan legendaris," Angele berkata dengan lantang agar semua orang di sana bisa mendengarnya. "Penanda ini memisahkan benua tengah dan daerah-daerah lainnya, namun benda ini bukan sekedar batu biasa."     

Sebagian besar para penyihir di sana mengerti apa yang dimaksud Angele, dan mereka mengernyitkan alis.     

"Jangan katakan bahwa benda itu…" Ekspresi sosok berjubah putih itu berubah. Ia menoleh ke belakang dan melihat salah satu kereta. Pandangannya terfokus pada seorang gadis cantik berambut hitam yang sedang duduk dalam kereta itu. Gadis itu melihat sekelilingnya dan bermain-main bersama dengan seorang anak perempuan kecil di pangkuannya.     

"Maaf, siapa namamu?" Angele berhenti memandang kereta itu dan bertanya pada si pria berjubah putih.     

"Mike, panggil saja Mike." Sosok berjubah putih itu menjawab. "Radiasi di dalam area di luar batu ini tidak akan dimurnikan, kan?"     

Angele mengangguk.     

"Kau benar."     

Para penyihir di sekitar batu nisan menunduk dan berusaha mencari cara untuk menangani situasi tersebut. Beberapa mereka memandang Angele.     

"Karena kau membicarakan hal ini, kau pasti memiliki cara untuk menangani situasi itu, kan?" tanya seorang penyihir wanita.     

Angele mengangguk. "Kau benar, aku punya cara untuk mengatasi ini, tapi kalian harus mau berusaha. Batu nisan ini adalah tanda dari akhir pemurnian radiasi. Di benua tengah, ada banyak sekali penyihir, dan mereka melepaskan gelombang-gelombang energi kuat setiap saat. Radiasi dari gelombang-gelombang energi itu dikumpulkan dengan menara pemurnian, sehingga meningkatkan resistensi para manusia dan mereka tidak akan terluka."     

Ia berhenti selama beberapa saat, sebelum kembali melanjutkan. "Namun, saat kita meninggalkan jarak efektif menara tersebut, gelombang-gelombang energi mengerikan dari para penyihir akan menyakiti para manusia."     

Setelah mendengar perkataan tersebut, ekspresi para penyihir berubah semakin serius.     

Ada sekitar 8 penyihir yang ada dalam karavan, tidak termasuk Angele dan Tetua Pertama. Ada lebih dari 10 orang yang hanya memiliki hubungan dengan para tetua, dan sekitar 7 orang anggota karavan adalah manusia biasa.     

Mike berkata dengan suara serak. "Artinya, jika kita meninggalkan jarak efektif, orang-orang di sekitar kita akan terluka jika kita tidak bisa mengendalikan gelombang energi yang kita lepaskan."     

"Benar." Angele mengangguk setuju.     

Para tetua berjalan mendekati Angele, dan penyihir-penyihir lain berjalan menepi.     

"Green benar, menara pemurni-lah alasan mengapa orang-orang yang hidup di benua tengah sangat kuat. Manusia biasa bisa hidup di tempat ini tanpa terkena efek radiasi." Tetua Pertama berkata dengan suara berat. "Kalian pernah membaca tentang radiasi di buku, namun kalian tidak pernah meninggalkan benua tengah, jadi kalian tidak tahu besarnya masalah ini. Singkatnya, energi radiasi itu seperti obat-obatan mematikan bagi manusia. Jika mereka terkena radiasi terlalu lama, mereka bisa bermutasi atau bahkan mati…"     

"Jadi, bagaimana kita bisa menangani masalah radiasi ini?" tanya salah satu penyihir dengan tidak sabar. "Jika kau tidak memberitahu kami, kami tidak akan bisa meninggalkan benua tengah."     

"Tenanglah, Green pasti memiliki jawaban yang tepat." Tetua Pertama menatap Angele dan tersenyum.     

"Tentu saja." Angele mengangguk seraya mengambil sebuah tabung ungu berisi cairan merah jambu dari dalam cermin-nya. "Untuk menangani masalah radiasi ini, kita harus berusaha menstabilkan energi yang ada dalam tubuh para penyihir. Dengan begitu, gelombang energi yang mereka lepaskan akan melemah, sehingga energi radiasi tidak terlalu berdampak buruk pada manusia. Aku merancang ramuan ini sendiri, dan aku yakin bahwa ramuan ini akan manjur. Masalahnya…"     

"Ada apa? Berhentilah membuang-buang waktu," potong Vivian. "Semuanya sudah menunggu."     

"Yah, aku hanya ingin memastikan bahwa semua orang di sini tertarik dengan ramuan ciptaanku…" Angele tersenyum. "Aku ingin kalian tahu bahwa walaupun ramuan ini manjur, aku membuatnya tepat sebelum kita sampai ke batu nisan ini. Artinya, aku tidak tahu apakah ramuan ini memiliki efek samping atau tidak…"     

"Baiklah… Aku mau menjadi kelinci percobaan." Mike berkata dengan tenang. "Anak dan istriku adalah manusia biasa. Aku tidak ingin membahayakan mereka."     

Angele tersenyum. "Baiklah, tapi kau tidak perlu membahayakan diri. Aku punya kelinci percobaan… Becky, kemarilah."     

"Hah?" Mike tampak kebingungan. Ia melihat sekelilingnya.     

Shing!     

Cahaya putih bersinar di sekitar tubuh Angele, dan seorang gadis cantik berbaju zirah putih muncul. Gadis itu terlihat sangat mengantuk, dan sepertinya ia tidak tahu apa yang terjadi.     

Angele memandang Becky.     

"Baiklah, semuanya, buka mata kalian." Ia membuka penyumbat tabung tersebut dan menuangkan cairan di dalamnya ke dalam mulut Becky.     

"Ha… Apa ini…?" Becky terbangun. Sepertinya, ia baru saja bermimpi indah.     

Angele menurunkan tabung reaksi di tangannya dan menjawab. "Bukan apa-apa… Ramuan ini akan membuatmu merasa… segar."     

Para penyihir terdiam. Mereka menatap Becky, yang sedang menelan ramuan itu.     

"Rasanya enak…" Becky menjilat bibirnya. Ia menyadari bahwa ada beberapa penyihir yang menatapnya dengan tatapan prihatin. Tatapan mereka membuatnya terbangun sepenuhnya.     

Wanita itu menarik kerah pakaian Angele dan berteriak. "Sialan! Apa yang tadi kau tuangkan ke dalam mulutku?!"     

"Bukan apa-apa, hanya ramuan yang kubuat beberapa waktu lalu. Tunggu, ramuan ini berhasil!" Dengan gembira, Angele mendorong Becky hingga menjauh beberapa meter darinya.     

Para penyihir pun ikut menjauhi Becky dan mulai mengamatinya.     

Pantat Becky mulai membesar, hingga terlihat seperti dua balon besar, namun dadanya mengecil dengan cepatnya, hingga nyaris tampak datar.     

"Ya ampun, apa yang sudah kau lakukan?! Apa yang kau lakukan padaku?!" Becky meletakkan tangannya pada pantatnya. "Dadaku… Dadaku berpindah ke pantatku!" Becky berteriak dengan suara gemetar.     

"Yah, ramuan itu berhasil menstabilkan gelombang energi-nya… Jadi, hanya inilah efek sampingnya…" Angele mengusap dagunya. "Dadamu menghilang, tapi pantatmu menjadi lebih besar… Mungkin aku mencampurkan terlalu banyak tikus kuda pada ramuan itu…"     

"Baiklah, Green. Sekarang bantu dia." Vivian memutuskan untuk menolong Becky. Sebagai seorang wanita, Vivian pun prihatin melihat apa yang terjadi pada Becky,     

Para penyihir berusaha keras untuk tidak tertawa. Hanya Benny yang tertawa keras, namun Tetua Pertama segera menutup mulut anak tersebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.