Dunia Penyihir

Dunia Bawah Tanah (Bagian 2)



Dunia Bawah Tanah (Bagian 2)

0"Benar, itu mereka. Makhluk-makhluk itu sangat mengikuti tradisi, dan terkadang mereka akan datang ke dunia kita. Mereka biasa memenggal kepala para calon penyihir untuk dijadikan trofi. Yah, di sisi lain, kita juga memburu mereka dan membuat mereka menjadi bahan sihir, jadi menurutku ini cukup adil."     

Angele mengangguk. Ia masih ingat hari di mana ia bertemu salah satu monster tersebut.     

"Apakah kau punya daftar nama para bangsawan?"     

"Hanya beberapa. Perang terakhir melawan dunia bawah tanah sudah terjadi berabad-abad yang lalu." Wayne terdiam.     

"Tenanglah, katakan saja nama-nama yang kau ketahui." Angele tidak khawatir.     

Wayne mengangguk. "Setan Bermata Seratus hanyalah salah satu dari para bangsawan. Ada juga Banshee Gua dan Medusa. Kami punya informasi yang rinci tentang mereka, namun aku tidak mempunyai banyak informasi tentang bangsawan lainnya."     

"Medusa? Makhluk yang bisa mengubahmu menjadi batu dan memiliki rambut seperti ular?" Angele tertarik. Ia pernah mendengar tentang monster itu sebelumnya.     

"Benar."     

Ia berpikir selama beberapa saat dan memutuskan untuk bertanya tentang sumber-sumber daya di dunia bawah tanah. Wayne menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan mudah.     

Sekitar setengah jam kemudian, ia mengangguk puas dengan semua informasi yang telah ia dapatkan.     

"Baiklah, kami akan masuk sekarang. Kalian boleh pergi."     

"Baik, Master."     

Angele berjalan masuk ke dalam lubang gelap itu. Rasanya seperti sedang berjalan melewati dinding air. Daerah di balik dinding itu terasa sedikit lembap.     

Setelah terbiasa dengan kondisi ruangan yang lebih gelap itu, ia memandang sekelilingnya.     

Lorong itu mengarah ke kegelapan yang tak berujung. Ia tidak tahu sepanjang apa lorong itu sebenarnya.     

Saat menoleh ke belakang, ia menemukan sebuah pintu dari batu dengan pola-pola berwarna hitam yang terukir permukaannya. Dengan balutan jubah hitamnya, Mogo berdiri di samping pintu dan berusaha menyesuaikan diri dengan gelapnya lorong.     

"Sepertinya kita sudah sampai di dunia bawah tanah. Mari kita pergi." Angele berkata dengan lirih.     

"Baiklah!" Mogo terdengar sangat bersemangat. Ia menyunggingkan senyuman yang penuh dengan keserakahan.     

Mereka mulai berjalan menuruni lorong. Semakin jauh mereka masuk, semakin gelap pula lorong itu.     

Kedua mata Angele terlihat seperti dua kristal merah yang bercahaya, sementara Mogo bersembunyi dalam kegelapan di belakangnya.     

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di ujung lorong dan menemukan sebuah pintu dengan pola yang sama persis dengan pintu pertama yang Angele lihat.     

Pintu itu rusak. Ada sebuah retakan besar yang menyebar di bagian tengah pintu tersebut. Lubang itu tertutup oleh sarang laba-laba berwarna putih.     

Angele meraba tepi retakan itu. Bagian tersebut terasa kasar dan memiliki beberapa duri.     

"Ada yang merusak pintu ini. Sepertinya, ada yang menghancurkan pintu ini untuk pergi ke permukaan."     

"Master, apakah kau ingin melihat apa yang terjadi pada pintu ini? Aku tahu beberapa teknik ramalan." Mogo bertanya dengan sopan.     

"Tidak perlu." Angele menyentuh sarang laba-laba itu dengan jarinya dan menekannya perlahan.     

Sarang laba-laba itu memantul, dan seekor laba-laba berukuran sebesar telur muncul dari sebelah kanan. Tubuh laba-laba itu diselimuti dengan bulu berwarna hitam, dan mata hijaunya tampak bercahaya.     

Laba-laba itu memanjat jari Angele, seakan-akan jari itu adalah mangsanya. Makhluk itu menggigit jari Angele kuat-kuat.     

Krak!     

Gigi laba-laba itu retak, dan akhirnya makhluk itu berbalik dan berusaha kabur. Namun, Angele menangkap makhluk itu menggunakan tangannya dengan mudah.     

Laba-laba itu gemetar, dan ia berhenti bergerak di punggung tangan Angele.     

"Apa kau bisa berbicara? Bicaralah padaku." Angele mengirim pesan dengan menggunakan gelombang mental.     

Laba-laba itu berguling ke atas dan gemetar ketakutan. Sepertinya, makhluk itu tidak bisa memahami perkataan Angele.     

Angele mengernyitkan alisnya. Ia mengambil laba-laba itu dan melemparkannya ke dalam mulutnya.     

Krak!     

Laba-laba itu hancur dan meledak di dalam mulut Angele, dan Angele pun mulai mengunyahnya. Beberapa detik kemudian, Angele menelan cairan lengket yang terasa asin bercampur cangkang serangga dan bulu.     

Ia sedikit membuka mulutnya dan melepaskan benar cahaya biru. Benang cahaya itu berputar-putar di udara seperti selama beberapa saat, sebelum akhirnya menghilang ke dalam dahinya.     

"Rasanya tidak enak, tapi penuh nutrisi. Apa kau mau?" Ia menoleh ke arah Mogo.     

Mogo menelan ludah. Melihat kejadian itu membuatnya takut, namun senyuman masih tersungging di wajahnya.     

"Raja Penyihir Kegelapan… Aku merasa senang…"     

"Jika kau tidak mau, tidak apa-apa." Angele mengedikkan bahunya. Ia hanya ingin menjahili monster itu. Ia membuka mulutnya dan memperlihatkan gigi-giginya yang tajam, sehingga tubuh Mogo kembali gemetar ketakutan.     

Wujud asli Mogo adalah seekor laba-laba mutan, sehingga monster itu ketakutan saat melihat Angele memakan laba-laba seukuran telur itu. Walaupun ia tidak merasa kasihan sama sekali pada makhluk itu, ia tetap ketakutan.     

Angele menutup matanya dan berpikir.     

"Aku sudah menemukan jalan yang benar. Rute-nya sedikit berbeda dari rute yang ditandai di peta, tapi ini bukanlah masalah besar." Ia membuka matanya.     

Ia mendorong pintu dan berjalan masuk melewati sebuah lorong gelap lainnya.     

Akhirnya, Mogo menyadari apa yang baru saja dilakukan oleh Angele – mencari jalan menggunakan memori makhluk tersebut. Teknik ini adalah salah satu teknik terkejam yang pernah diciptakan oleh para penyihir kegelapan, yaitu teknik Penyerapan Jiwa.     

Namun, apa yang dilakukan Angele jauh lebih buruk. Ia memakan jiwa dan tubuh laba-laba itu, seakan-akan laba-laba itu hanyalah sumber nutrisi. Mogo terus menoleh ke arah mulut Angele. Ia mulai menyesali pilihannya mengikuti Angele ke dunia bawah tanah.     

Makhluk itu bertanya-tanya, apakah sang Raja Penyihir Kegelapan hanya menganggapnya sebagai daging kering untuk dimakan? Mogo takut jika Angele akan memakannya jika lapar.     

Mogo melihat Angele berjalan perlahan melalui lorong. Ia memelankan langkahnya agar ia tidak terlalu dekat dengan Angele.     

Setelah beberapa saat, mereka tiba di depan sebuah gua lainnya. Mereka berjalan melewati gua itu selama sekitar 12 jam.     

Akhirnya, mereka sampai ke ujung lorong lain.     

Di ujung lorong itu, terdapat sebuah dinding batu hitam yang dipenuhi akar-akar pohon. Masing-masing akar memiliki ukuran sebesar lengan manusia.     

Angele berdiri di depan dinding dan memandang sekelilingnya, kemudian ia mundur beberapa langkah dan menekan akar-akar itu dengan hati-hati.     

"Pohon Ibu?" Ia mengirim pesan dengan menggunakan gelombang mental.     

Tidak ada jawaban.     

Angele menurunkan tangan dan menyeringai.     

Ia mundur selangkah dan memberi perintah, "Mogo, hancurkan semua ini! Hancurkan dinding itu!"     

"Baik, Master."     

Mogo menarik nafas dalam-dalam dan tiba-tiba memuntahkan sesuatu dari mulutnya.     

Duar!     

Ia melepaskan sinar cahaya berwarna hitam, yang mendarat tepat pada dinding batu di depan mereka.     

Cahaya hitam itu terserap masuk ke dalam dinding batu dengan cepatnya hingga mengeluarkan suara yang aneh. Dinding itu meleleh menjadi cairan berwarna gelap dan memperlihatkan pelindung cahaya berwarna hijau di baliknya.     

Cahaya gelap itu mencapai pelindung cahaya hijau tersebut, namun tidak ada yang terjadi.     

"Biar kucoba!" Angele maju selangkah, dan tangan kanannya menghitam dengan cepatnya. Kulitnya mengeras, dan tangannya membesar.     

Ia mengangkat tangan kanannya dan memukul pelindung itu kuat-kuat.     

Brak!     

Seluruh tempat itu mulai bergetar.     

**     

Brak!     

Seluruh penghuni dunia bawah tanah mendengar suara nyaring tersebut.     

"Raja Penyihir Kegelapan sudah tiba…"     

Jauh dalam dunia bawah tanah, sebuah bayangan gelap sedang berbicara kepada sebuah pelindung cahaya berwarna hijau.     

"Dia sedang mengejar Pohon Ibu. Kris, kita harus menghentikan perang untuk sementara. Pohon Ibu adalah simbol dan penjaga kita! Kita tidak boleh membiarkan makhluk lain mendekatinya!"     

Terdengar suara seorang wanita dari pelindung cahaya itu.     

"Aku setuju… Raja Penyihir Kegelapan adalah salah satu makhluk terkuat dari permukaan sana. Jika kita mengabaikan keberadaannya, kita bisa terkena masalah…"     

"Aku akan pergi ke Gunung Suci dan bicara pada Tetua Nass!" jawab bayangan itu.     

"Aku akan pergi ke Tebing Seribu Mata dan bertanya apakah Pangeran Batu Putih akan menolong kita!" jawab pelindung cahaya hijau itu.     

"Benar, kita harus segera menyiapkan semuanya."     

**     

Brak! Brak! Brak!     

Suara keras itu terus bergema, seakan-akan Angele sedang memukul jantung seluruh bangsa elf.     

Di dalam sebuah ruangan gelap, seorang pria duduk di kursi dan mendengar suara yang nyaring itu. Alisnya berkedut-kedut.     

"Raja Penyihir Kegelapan… Apakah sang Pangeran dan Ratu berusaha menangani hal ini?"     

Semua elf di depan pria itu memiliki tubuh kurus dan telinga yang tajam. Elf yang hidup di dunia bawah tanah memiliki rambut perak dan kulit pucat karena kekurangan cahaya matahari.     

Seorang elf wanita berjalan maju. Elf itu memiliki rambut panjang, dan sebilah pedang panjang berwarna hitam tergantung di ikat pinggangnya.     

"Kita kesulitan menangani masalah kita sendiri, namun Raja Penyihir Kegelapan juga muncul. Pangeran, kita tidak punya banyak elf di Sekte Merah, jadi sebaiknya kita perintahkan mereka untuk menyelesaikan masalah Raja Penyihir Kegelapan. Menyuruh mereka tidak akan membuat kita rugi."     

"Ini bukan masalah sekte itu, tapi ini adalah masalah Pohon Ibu." Pangeran menjawab dengan tenang.     

"Kita harus mengirimkan orang-orang untuk menemuinya, tapi kita butuh waktu untuk membuat rencana. Lance sebentar lagi akan naik peringkat, dan mereka berada dekat dengan lorong. Sebaiknya kita tidak menjadi yang pertama bereaksi."     

"Menurutku, sebaiknya kita membawa Raja Penyihir Kegelapan ke hadapan sang Ratu." Elf wanita itu akhirnya menyadari apa maksud sang Pangeran. "Kita tidak tahu kekuatan Raja Penyihir Kegelapan, tapi menurutku dia tidak jauh lebih kuat daripada para Pangeran. Sebaiknya kita serang dia setelah dia menghabiskan energinya untuk melawan Lance dan Ratu Laba-Laba."     

"Kau benar." Sang Pangeran tersenyum.     

"Walau mereka tahu rencana kita, mereka tetap harus menghentikan Raja Penyihir Kegelapan, karena sosok itu sedang berusaha mengejar Pohon Ibu."     

"Mungkin kita bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk menangkap Putri Nina. Tanpa Lance, mereka tidak ada apa-apanya bagi kota, dan mereka tidak akan bisa menghancurkan Gua Mata Sihir yang baru kita bangun." Seorang elf pria bergabung dalam pembicaraan."     

"Kita lihat saja. Jika mereka memutuskan untuk tidak menyerang Raja Penyihir Kegelapan, kita akan mengumpulkan pasukan dan mencegah mereka kembali ke teritori masing-masing."     

Sang Pangeran mendengarkan suara yang nyaring itu. Ia senang dengan rencana barunya.     

"Mungkin kita harus berterima kasih kepada Raja Penyihir Kegelapan karena ia menyerang dunia kita pada waktu yang tepat."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.