Dunia Penyihir

Sekolah (Bagian 2)



Sekolah (Bagian 2)

0

Berpuluh-puluh pegunungan membentang di bagian barat Kota Marua. Jalan-jalan dua arah membentang di lembah alami yang terdapat di antara pegunungan itu. Di jalan yang seakan tak berujung itu, sebuah kereta kuda berwarna putih berjalan perlahan, berbelok-belok dan berputar hingga akhirnya memasuki hutan di akhir jalan itu. Di sana, terlihat banyak kereta kuda lainnya yang keluar masuk hutan, dan para pemilik kereta memberi salam kepada kenalan mereka sembari melanjutkan perjalanan.

Di kereta kuda putih itu, seorang remaja biasa berambut cokelat duduk di dekat jendela sambil memandang kereta-kereta berukiran lencana indah yang berpapasan di luar. Semua lencana itu sangat indah, namun Angele tidak mengenal satupun keluarga pemilik kencana itu. Dia mengenakan kaos putih bersih berbahan sutera, jubah kecil berwarna abu-abu, celana panjang biru, dan sepatu bot ketat berwarna hitam, membuatnya terlihat seperti anak bangsawan dari desa yang tidak tahu apa-apa tentang mode namun masih berusaha terlihat keren.

Sementara itu, seorang kusir berkepala botak dan berpakaian linen abu-abu khas pekerja duduk di samping Angele. Namanya Anderson, dan mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju kantor pendaftaran Sekolah Pelabuhan Marua. Selama perjalanan, Anderson menjelaskan situasi di sekolah itu, sementara kereta kuda mereka terus bergerak maju.

"Tuan Muda Angele, Nyonya Maria menyuruh saya untuk mengingatkan agar Anda hanya mengambil kelas yang diwajibkan oleh pihak sekolah. Beberapa kelas mungkin masih terlalu mahal untuk Anda sekarang…" Anderson tidak melanjutkan kata-katanya, namun Angele mengerti maksudnya.

"Aku mengerti. Apakah hanya membutuhkan uang untuk masuk ke sekolah pelabuhan ini?" tanya Angele.

"Sepertinya iya. Saya tidak pernah dengar ada orang yang ditolak setelah mereka membayar." Anderson membasahi bibirnya dan menjawab Angele.

Angele mengangguk setelah memahami situasinya saat ini. Kemungkinan besar, cara kerja sekolah itu mirip seperti sekolah swasta di bumi, di mana para calon murid harus membayar sejumlah biaya pendaftaran agar bisa masuk. Hanya saja, kualitas pendidikan di dunia ini sangat bermacam-macam, tidak seperti di bumi. Salah satu alasan mengapa Angele ingin memasuki sekolah ini adalah untuk berhenti menghabiskan waktunya di istana, dan mempelajari hal-hal baru dengan bantuan chip-nya.

"Lagipula, biaya pendaftarannya tidak terlalu mahal, bahkan cukup terjangkau bagi anak-anak pedagang. Orang-orang yang tidak punya cukup uang bisa membayar murid-murid sekolah itu untuk mengajari mereka. Itu sudah hal biasa disini, dan Anda mungkin bisa mencobanya jika Anda tidak punya cukup uang untuk mengambil kelas yang Anda inginkan." kata Anderson dengan ramah.

"Terima kasih, nanti akan kupikirkan lagi." Angele tersenyum, dan perbincangan antara keduanya berhenti. Dia sadar bahwa murid-murid itu tidak mungkin mau mengajarinya jika ia hanya membayar mereka. Kemungkinan besar ia harus meminta mereka mengajarinya dengan sangat sopan dan merendahkan dirinya sendiri. Walaupun metode ini lebih murah, Angele tidak mau mengorbankan harga dirinya. Dengan chip-nya, dia bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan orang lain dengan mudah.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk memasuki bagian dalam hutan, di mana sebuah pintu besi selebar sepuluh meter menunggu mereka. Di samping pintu masuk, dinding-dinding menjulang tinggi menutupi area yang luas, hingga ujung dinding itu seakan menghilang di antara pegunungan. Tepat di luar dinding itu, ada sebuah lapangan kosong yang luas, di mana beberapa kereta kuda kecil terparkir. Beberapa kereta kuda itu terlihat mencolok karena lencana yang terukir di badannya. Terlihat orang-orang berpakaian mewah berjalan keluar masuk melewati pintu dengan kereta kuda mereka. Sebagian besar dari mereka adalah remaja berumur 12 hingga 16 tahun yang ingin mendaftar di sekolah ini juga. Sepertinya, tidak ada batasan umur untuk masuk ke sekolah ini. 

Setelah memarkir kereta kuda mereka, Angele mengikuti Anderson masuk ke dalam sekolah itu. Seperti halnya murid-murid pada umumnya, ada rasa ingin tahu yang besar terpancar dari mata Angele saat ia melihat-lihat banyak gedung putih setinggi 5 atau 6 lantai, jalan bebatuan yang mengarah ke salah satu gedung putih di depannya, dan tanah berumput yang menghiasi halaman sekolah itu.

Di tepi jalan itu, berdiri beberapa patung tembaga dengan ukiran tulisan di bawahnya. Angele mendekati dan membaca ukiran salah satu patung, lalu ia melihat kalimat 'Count Albert Parrington telah mendonasikan 20 ribu koin emas pada tahun 1307'. Angele pun terdiam. Awalnya, ia berpikir bahwa patung-patung itu ditujukan untuk orang – orang berprestasi yang membuat sekolah ini menjadi terkenal, tapi ternyata patung-patung itu ditujukan untuk orang-orang kaya yang memberikan donasi untuk sekolah minimal 10 ribu koin emas. Ia tidak lagi tertarik pada patung-patung itu, jadi ia berhenti melihat-lihat dan mengikuti Anderson masuk ke lantai pertama gedung putih.

Seorang pria paruh baya yang berjenggot duduk di tengah aula yang berhiaskan furnitur mewah, seolah sedang ada pesta. Matanya terfokus pada kertas di meja dan tangannya menuliskan nama-nama murid yang sedang mendaftar. Di depan pria itu, ada sekitar 20 sampai 30 calon murid yang sedang mengantri. Sementara itu, Anderson mengambil surat rekomendasi dari Tuan Siva. Orang-orang di sekelilingnya memandangnya seperti makhluk hina dan mulai menjauhinya.

Tidak lama kemudian, Anderson kembali bersama seorang pria berambut keriting berwarna yang segera membawa Angele masuk ke dalam salah satu ruangan di tepi aula.

Angele segera membayar biaya pendaftaran, dan saat itu juga langsung mendapatkan sebuah sertifikat putih berbahan kulit sebagai tanda identitasnya. Di sertifikat itu, tertulis nomor induk kesiswaan, kelas, nomor kamar, dan identitasnya. Sebuah stempel berwarna merah di tepi bawah sertifikat itu adalah bukti pelunasan pembayaran. Setelah semua tahap pendaftaran selesai, Anderson langsung pergi dari sekolah itu.

Menurut penjelasan pada kertas instruksi, bangunan di bagian kiri adalah asrama untuk para murid. Angele segera ke sana mengikuti arah yang tertulis di kertas itu. Ada banyak ruangan kosong, namun lorong sangat penuh sesak dengan murid-murid yang berjalan ke sana kemari mencari ruangan mereka. Walaupun banyak murid-murid yang mengenakan pakaian mewah di sana, pemandangan itu masih mengingatkan Angele akan para calon ksatria yang tinggal dan berlatih di Kastil Karl dulu. Kebanyakan siswa di situ terlihat sangat berbeda, karena mereka memakai pakaian mewah. Mereka berbicara dengan sangat perlahan dan lembut, sehingga perkataan mereka terdengar palsu.

Di kota ini, Angele bukan lagi seorang bangsawan. Ia hanya seorang murid biasa dan mantan bangsawan yang meninggalkan Kerajaan Rudin yang hampir mati untuk menyelamatkan diri bersama ayahnya. Namun, tidak ada batasan warna pakaian di Aliansi Andes, sehingga rakyat biasa pun bisa mengenakan pakaian berwarna-warni ataupun pakaian putih sekalipun. Tidak seperti di Rudin, ada hukuman bagi rakyat yang mengenakan pakaian berwarna-warni.

Setiap kamar di sana hanya cukup untuk satu murid, karena pihak sekolah menyadari bahwa anak bangsawan tidak akan mau berbagi ruangan di sana. Di dalam setiap ruangan, hanya ada satu meja, satu kursi, dan satu tempat tidur. Semuanya terbuat dari kayu yang tidak dicat. Bau tajam khas kayu tercium saat Angele masuk, meletakkan barang-barang, dan mengganti bajunya.

"Jadwal terbaru sudah keluar!" teriak seorang siswa dari luar ruangan.

"Jadwal itu ditempel di luar Gedung 5, harganya 5 koin emas!" lanjutnya.

"Kita harus membayar setidaknya 100 koin; kalau tidak, kita akan rugi." Terdengar suara lain dari luar.

"Harganya sesuai dengan yang ditentukan oleh Master Banner. Jika kalian ada pertanyaan, bicaralah langsung dengannya, karena aku hanya pengantar pesan." kata siswa itu. Seketika, murid-murid lain semakin ribut.

DOK! DOK! DOK!

Terdengar suara ketukan dari pintu ruangan Angele, dan ia langsung membuka pintunya. Seorang remaja laki-laki berambut hitam dan berpakaian merah-kuning khas bangsawan berdiri di depan pintu.

"Kau anak baru di sini? Kau sudah dengar harganya?" tanya remaja dengan bintik-bintik merah di wajahnya itu. Angele mengangguk.

"Bagus, itu adalah harga yang sudah ditentukan oleh Master Banner. Kalau kau ingin mengajari para murid yang kurang mampu, kau harus mengikuti aturan ini, mengerti?" lanjutnya. Angele pun mengangguk lagi.

"Oke." jawab Angele. Lagipula, dia tidak berencana untuk mencari uang dengan mengajari murid lain,

"Bagus." kata remaja itu dengan wajah puas.

"Untuk ukuran anak baru, kau lumayan juga. Jangan lupa membayar biaya yang tertulis di belakang jadwal." kata remaja itu sebelum meninggalkan kamar Angele. Angele menutup pintu dan memikirkan sesuatu. Lalu, ia mengambil selembar kertas yang bertuliskan berbagai macam kelas, jadwal, dan harga kelas tersebut. Daftar itu sangat panjang, dan tulisannya tidak jelas, kemungkinan besar karena tidak ditulis tangan. Jika remaja itu tidak memberitahunya, dia tidak akan tahu tentang ini.

Di kertas itu, tertulis harga-harga setiap kelas.

Musik – 2 kelas, durasi 1 jam. 20 koin emas.

Seni Lukis – 2 kelas, durasi 1 jam, 20 koin emas.

Seni Tari – 2 kelas, durasi 1 jam, 20 koin emas.

Berkuda – 2 kelas, durasi 1 jam, 20 koin emas.

Pelatihan Bertarung Bebas – 2 kelas, durasi 1 jam, 30 koin emas.

Sejarah Aliansi Andes – 2 kelas, durasi 1 jam, 10 koin emas.

Strategi Peperangan – 2 kelas, durasi 1 jam, 50 koin emas.

Teknik Berpedang – 2 kelas, durasi 1 jam, 20 koin emas.

Teknik Berpedang Katana – 2 kelas, durasi 1 jam, 20 koin emas.

Teknik Bertarung dengan Senjata Berat Ganda – 2 kelas, durasi 1 jam, 30 koin emas.

Memanah – 2 kelas, durasi 1 jam, 50 koin emas.

Bahasa – 2 kelas, durasi 1 jam, 20 koin emas.

Setiap murid diwajibkan untuk mengambil sepuluh kelas, dan jadwal setiap kelas akan ditentukan sebelum kelas tersebut dimulai. Semua pembayaran harus dilunasi pada hari yang sama setelah memilih kelas.

Angele mengernyitkan alisnya. Harga ini sangat mahal karena ia membutuhkan setidaknya 100 koin emas untuk menyelesaikan satu kelas. Walaupun ia telah berbekal dua kartu emas yang masing-masing berharga 1000 koin emas, harga itu masih sangat mahal baginya. Kartu itu dapat ditukar dengan koin di bagian pelayanan sekolah kapanpun ia mau.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.