Memanggil Pedang Suci

Pesta Teratai Merah (1)



Pesta Teratai Merah (1)

3"Maafkan aku, tuan Rhode. Aku tidak bisa melakukannya…"     

Marlene mengepalkan tangan sambil menatap wajah Rhode. Rhode terlihat kecewa. Marlene bukanlah gadis yang egois. Untuk Mage seumuran dirinya, Marlene memang sangat berbakat. Pencapaiannya sebagai Mage tahap Lingkaran Tengah membuktikan hal itu. Meskipun banyak orang menganggap Marlene sebagai Mage yang jenius, dia tahu ada Mage lain yang lebih baik darinya di luar sana. Salah satunya adalah Mage yang sedang mereka hadapi saat ini. Marlene tidak mungkin berharap setiap musuhnya memiliki level atau umur yang sama dengannya, kan?     

Oleh karena itu, Marlene tidak merasa malu mengakui kekurangannya. Namun, dia merasa tidak rela kali ini. Berdasarkan pengalamannya dalam berbagai pertarungan, dia paham betapa pentingnya memahami kekuatan musuh sebelum bertarung. Semuanya akan terlambat jika dia melakukannya saat mulai bertarung. Dan saat ini, berdasarkan kepekaannya terhadap reaksi elemen, Marlene bisa merasakan jejak sihir yang ditinggalkan lawannya. Hanya satu langkah lagi, dia sudah bisa menentukan kekuatan lawannya.     

Tapi dia tidak bisa melakukannya. Mage tersebut jauh lebih berpengalaman daripada Marlene. Marlene mencoba menganalisis kekuatan lawannya berkali-kali, namun dia tetap tidak dapat memastikan kekuatannya. Marlene hanya tahu bahwa level Mage tersebut lebih tinggi darinya. Namun dia tidak tahu seberapa jauh perbedaan level antara mereka.     

Kalau saja aku lebih kuat…     

Marlene pun mulai melamun sehingga dia tidak menyadari gelombang sihir yang kuat berada di atasnya.     

Bum!!     

Suara nyaring terdengar.     

Sentuhan dingin di punggung Marlene membuat dia tersadar. Kemudian dia menyadari bahwa Rhode memeluknya dengan erat sehingga wajah Marlene memerah. Namun, ekspresinya berubah setelah melihat awan gelap berputar di langit.     

Marlene segera mengulurkan tangan. Tongkat sihirnya bersinar. Beberapa saat kemudian, pelindung polygon muncul dan menyelimuti tubuhnya.     

"Kalian semua, berpencar! Ranger, Thief, tetap di posisi kalian! Sisanya menjaga pertahanan!"     

Rhode berguling dengan cepat. Di saat yang bersamaan, dia memberikan perintah kepada rombongan tersebut. Dia benar-benar terkejut dengan serangan itu. Rhode tidak mengira bahwa Mage tersebut akan menyerang mereka secepat ini. Rhode semula berpikir bahwa Mage itu menunggu kesempatan yang baik untuk menyerang mereka dengan sabar. Tapi sepertinya dia sudah tidak sabar…     

Rhode merasa heran. Dia pun melirik Marlene.     

Rhode mengetahui kelemahan para Mage: mereka memiliki serangan dengan jangkauan yang luas, tapi mereka lemah menghadapi serangan kelompok. Seorang Mage umumnya akan memasang sihir pelindung kepada dirinya. Setelah itu, mereka baru membereskan para anak buah sebelum menghadapi 'pemimpin utamanya'. Oleh karena itu, Marlene dan Rhode seharusnya tidak diserang terlebih dahulu. Apalagi, seingat Rhode, mereka berdua berjalan di barisan tengah rombongan. Rhode semula mengira bahwa musuh mereka akan menyerang barisan belakang terlebih dahulu. Kemudian, barulah mereka mengeluarkan serangan jangkauan luas untuk menghabisi yang lainnya. Dia tidak mengira bahwa Marlene dan dirinya akan menjadi target pertama.     

Mungkinkah Mage itu memang sengaja mengincar Marlene karena Marlene adalah satu-satunya Mage dalam kelompok ini? Mungkinkah dia berpikir bahwa dia bisa menghabisi rombongan itu lebih mudah jika dia menyingkirkan Marlene terlebih dahulu? Meskipun demikian, Rhode masih merasa heran. Mustahil kalau Mage itu menjadi panik hanya karena kemunculan mereka yang mendadak.     

Masalahnya sepertinya tidak sesederhana itu.     

Saat itu, sebuah petir menyambar ke tanah. Untungnya, para prajurit bayaran sudah berpencar dan bersembunyi di berbagai tempat setelah mendengarkan perintah Rhode.     

Sementara itu, Rhode menarik Marlene., Anne menuntun Lize untuk bersembunyi di balik dua batu besar. Petir-petir itu menyambar daerah di sekitar mereka dengan suara yang sangat keras. Pohon-pohon tumbang. Tanah di sekitarnya hancur berserakan di bawah badai petir tersebut. Api dan Asap bermunculan di mana-mana.     

Inilah kekuatan sebenarnya seorang Mage level tinggi.     

Untungnya, badai petir tersebut tidak berlangsung lama. Badai petir itu berakhir dalam waktu dua hingga tiga menit. Tetapi, mereka tidak punya waktu bersantai ketika mendengarkan suara ledakan angin yang mendekat!     

"Tuan Hiller, ikuti rencana kita!"     

Dari balik dedaunan, Rhode mengintip sosok yang melayang di langit malam. Akhirnya, dia bisa menemukan musuhnya. Meskipun demikian, keadaannya bukan berarti menjadi lebih mudah bagi mereka. Melihat Mage yang duduk di atas Wind Serpent Lord tersebut, mereka tentu akan membutuhkan rencana yang matang untuk menyerangnya.     

Di saat yang bersamaan, Hiller memberikan perintah kepada yang lain untuk bersiap-siap menghadapi serangan para Wind Serpent. Kali ini, mereka tidak langsung menggunakan ramuan pengendapan elemen sesuai rencana Rhode. Rhode menduga bahwa Mage tersebut mungkin akan kabur ketika melihat mereka menggunakan ramuan pengendapan. Mereka tidak akan bisa menghabisinya kalau itu terjadi. Oleh karena itu, pertama-tama, mereka akan bertahan dari serangan para Wind Serpent dengan mengandalkan kekuatan mereka sendiri. Setelah Mage itu mengira bahwa persediaan ramuan pengendapan elemen telah habis, kemungkinan besar dia akan terpancing untuk menyerang. Pada saat itu, mereka akan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengalahkannya.     

Tubuh Marlene dilindungi oleh sihir. Saat ini, Marlene menatap ke atas dengan wajah serius sambil merapal sebuah sihir. Di saat yang bersamaan, Mage yang duduk di atas Wind Serpent Lord itu juga mengepalkan tangannya. Dia memadatkan sihir yang berubah bentuk menjadi seekor ular petir.     

Kedua Mage pun mulai bertarung.     

Ular petir tersebut membuka mulutnya dan melesat ke arah Marlene. Di saat yang bersamaan, kristal es yang memadat di ujung tongkat Marlene berubah menjadi burung elang es yang merentangkan sayapnya.     

Suara benturan yang keras terdengar. Beberapa saat kemudian, lingkungan di sekitar mereka seakan-akan terdistorsi karena benturan kedua elemen yang berbeda. Elemen itu berasal dari sihir Marlene dan musuhnya. Kristal-kristal es menyebar ke mana-mana. Kemudian kristal-kristal itu berubah menjadi salju yang turun ke bawah. Pemandangan itu terlihatindah.     

Meskipun demikian, kedua Mage tersebut tidak mengendorkan serangannya.     

Marlene mulai merapal sihir yang lain. Angin topan yang berapi-api muncul dan melesat ke arah musuhnya. Wind Serpent Lord yang diduduki oleh Mage tersebut tiba-tiba membuka mulutnya dan menjerit. Sesaat kemudian, enghalang badai yang memiliki tinggi beberapa meter muncul di depannya.     

Akhirnya, sihir angin topan berapi-api yang dikeluarkan oleh Marlene tidak mampu menembus pertahanan penghalang badai tersebut. Kekuatan benturannya memaksa Marlene mundur beberapa langkah. Ada sesuatu yang melintas di dalam benaknya.     

Itu adalah Wind Serpent Lord level Master!     

Marlene merasa terkejut. Seekor Wind Serpent Lord berlevel Master bisa mengontrol apapun yang memiliki elemen angin. Itu artinya, sihir-sihir elemen angin tidak akan bisa melukai monster tersebut.     

Marlene memandang musuhnya yang melayang di langit malam dengan wajah putus asa. Jika dia tidak bisa menggunakan sihir elemen angin, maka apa yang harus dia lakukan?     

Sebelum Marlene bisa menemukan jawabannya, sambaran petir tiba-tiba melesat ke arahnya. Petir itu berasal dari penghalang badai tersebut. Marlene hanya sempat mengangkat tongkat sihir sebelum petir itu mengenai sihir pelindungnya. Sihir pelindung Marlene hancur karena tidak mampu menahan serangan tersebut. Petir itu terus melaju ke arahnya. Untungnya, sebuah sihir pelindung berwarna keemasan muncul dan menghadang serangan tersebut.     

Bumm!!     

Ledakan keras terjadi. Di tengah kobaran api, sosok Marlene terlempar ke belakang dan mendarat di tanah. Tidak lama kemudian, cahaya yang hangat menutupi tubuh Marlene dan menyembuhkan luka-lukanya.     

Lize berjongkok di samping Marlene. Dia terlihat sangat khawatir. Di depan mereka, Anne mengangkat perisainya tinggi-tinggi sambil memfokuskan perhatiannya kepada sosok yang melayang di atas.     

"Ini benar-benar di luar dugaanku…"     

Mage itu mendengus saat dia melihat ketiga gadis tersebut. Dia melirik gerombolan Wind Serpent yang sedang menyerang kelompok prajurit bayaran lainnya. Tapi mereka ternyata mampu menahan serangan monster-monster tersebut. Tidak masalah. Yang penting, mereka semua akan mati cepat atau lambat. Prioritasnya saat ini adalah membunuh gadis Mage yang ada di hadapannya.     

Dalam pertarungan mereka yang singkat, Mage berjubah hitam itu telah memahami seberapa besar kemampuan Marlene sebagai seorang Mage. Dia tidak menyangka bahwa dalam usia semuda itu, Marlene mampu bertarung lebih baik daripada dugaannya. Dia tidak pernah bertemu dengan gadis yang menakutkan seperti ini. Mage itu pun mengurungkan niatnya untuk menjadikan Marlene sebagai pelayannya. Dia lebih baik menghabisinya sekarang juga dan menghabisi teman-temannya. Lagipula, tidak ada yang bisa menjamin kalau dia mampu mengendalikan Marlene sepenuhnya.     

Mage berjubah hitam itu menyipitkan mata sambil mengelus kepala Wind Serpent Lord di bawahnya. Dia memandang musuh-musuh di hadapannya dengan seksama.     

Tunggu dulu. Kemana perginya pemuda berpakaian serba hitam itu?     

Tiba-tiba, suara yang tajam terdengar.     

Sesaat kemudian, pedang Blood Tears milik Rhode melesat ke jantung Mage tersebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.