Memanggil Pedang Suci

Anggota Baru



Anggota Baru

0

Angin dingin menyapu padang rumput, menimbulkan suara hembusan. Sekali lagi, matahari telah terbit, menandakan datangnya hari yang baru.

"Haaa…"

Lize membuka matanya pelan-pelan.

Hal pertama yang dia lihat adalah sinar keemasan pucat dari cahaya pagi yang menyorot ke dalam ruangan dari jendela yang setengah terbuka. Lize menutup mata dengan tangannya dari sinar silau cahaya matahari. Dia berkedip, menyipitkan matanya melihat dedaunan di luar jendela. Ranjangnya yang lembut dan halus mengeluarkan aroma wangi yang membuat Lize enggan meninggalkan tempat tidur itu dan tergoda untuk kembali tidur. Tapi setelah beberapa saat, ketika gadis itu mulai benar-benar mulai sadar, dia menyipitkan mata dan duduk tegak sambil memeluk sebuah bantal, masih menolak untuk bangun.

Akhirnya, dia punya tempat tinggal sendiri.

Melihat kamarnya yang sederhana namun nyaman, Lize merasakan perasaan hangat di dalam hatinya. Gadis itu tidak pernah menyangka bahwa suatu hari, dia akan memiliki tempat yang bisa dia tinggali seperti ini, tapi sekarang hal itu menjadi kenyataan. Dia sudah tidak perlu lagi menetap di ruang tamu yang lusuh atau di sebuah kedai. Dia tidak perlu mengkhawatirkan tempat dimana dia bisa menaruh benda-benda favoritnya. Sekarang setelah gadis itu memiliki kamar tidur pribadi, Lize benar-benar merasa puas.

Pada malam ketika dia pertama kali memasuki kamarnya, dia berlari dengan cepat ke arah ranjang dan melompat ke atas ranjang tersebut. Setelah mendarat, Lize berguling-guling di kasurnya berkali-kali. Karena merasa terlalu senang, dia tidak bisa tidur malam itu. Beberapa hari ini, dia mulai menikmati kamar ini dan membenamkan diri di dalamnya. Kamar yang sudah bersih itu biasanya dia bersihkan lagi, dan dia memetik beberapa bunga yang ditempatkan dalam sebuah vas sebagai dekorasi kamar ini.

"Baiklah…waktunya bangun!"

Lize mengangkat kedua tangannya, meregangkan pinggangnya, dan melepas pakaiannya. Setelah mandi dengan air hangat, Lize keluar dari kamarnya. Di dalam markas tersebut, dia bertanggung jawab membersihkan tempat itu. Tentu saja, memiliki tempat tinggal sendiri bukan berarti Lize bisa berenak-enakan. Tidak seperti di dalam kedai, dia harus menyiapkan makanan dan mencuci piringnya sendiri. Walaupun Rhode berniat menyewa beberapa pelayan untuk membantu urusan rumah tangga, sayangnya saat ini dia belum memiliki uang yang cukup untuk hal tersebut. Jadinya dia harus beradaptasi dengan keadaan sekarang.

Entah apakah suasana hatinya sedang baik atau tidak, namun setelah bangun tidur, Lize merasa sangat segar meskipun kemarin adalah hari yang sangat melelahkan.

Berbicara tentang Rhode, apa yang sedang dia lakukan sekarang?

Setelah merapikan pakaiannya, Lize berjalan menuju kamar tidur Rhode dan mengetuk pintunya dengan lembut.

"Tuan Rhode?"

Tidak ada jawaban.

Dia tidak ada di kamar?

Lize merasa bingung dan mengetuk pintunya sekali lagi, namun tetap tidak ada jawaban.

Sesaat kemudian, gadis itu mendengar suara kicauan burung dari jendela.

Setelah berkali-kali melihat Rhode memanggil roh-rohnya, Lize mengenali suara Burung Roh milik pemuda itu. Karena itulah, ketika dia mendengar suara kicauan yang akrab di telinganya, Lize bergegas ke arah jendela dan melihat ke bawah. Sesuai dugaannya, Rhode ada di situ.

Sosok berdiri dalam diam di taman. Ketika dia mengulurkan tangan kanannya ke depan, sebuah burung kecil melayang dan hinggap di lengannya. Kemanapun burung itu pergi, angin kencang selalu mengikutinya dari belakang. Terkadang, sebuah retakan yang dalam muncul di tanah yang penuh akan rumput.

Ketika Burung Roh itu terbang kembali, Rhode memberikan sebuah isyarat dengan tangannya, dan sesaat kemudian, angin kencang yang membuntuti Burung Roh tersebut berubah menjadi api yang berkobar. Saat burung itu terbang tinggi, dia menggambar sebuah lingkaran api di langit dan melesat dengan cepat ke arah Rhode. Ketika pemuda itu akan tertelan oleh lautan api, api tersebut tiba-tiba padam dan berubah menjadi pedang putih yang berkilau.

"Wuuushhh!!"

Semburan energi pedang melesat dan memotong dedaunan yang jatuh.

Di bawah angin sepoi-sepoi, dedaunan tersebut menari dengan merdu, dan di atas api; mereka hangus tak bersisa.

Area seluas 3 meter di sekitar Rhode berubah menjadi tanah yang tandus.

"Tuan Rhode."

Ketika melihat Rhode menurunkan pedangnya, Lize membuka mulut dan memanggilnya.

"Lize?"

Mendengar panggilan Lize, Rhode mendongak dan menganggukkan kepalanya.

"Selamat pagi."

"Selamat pagi, tuan.

Setelah menyapa Rhode, Lize merasa sedikit canggung. Menurut aturan, seharusnya dia memanggil pemuda dengan sebutan 'ketua' atau 'pemimpin', tapi umur mereka hampir sama, jadi dia merasa malu dengan hal tersebut. Selain itu, jauh di dalam lubuk hati Lize, Carter tetap menjadi ketuanya. Itulah alasan mengapa gadis itu tidak pernah memanggil Rhode dengan sebutan 'ketua' hingga saat ini. Untungnya, Rhode kelihatan tidak peduli dengan hal sepele seperti ini. Setelah Lize meminta maaf pada Rhode mengenai masalah tersebut, dia menerima alasan gadis itu.

Benar-benar pemuda yang sempurna.

Saat menatap Rhode, jantung Lize terasa berdebar-debar. Muda, tampan, tenang dan tegap. Rhode memiliki kualitas pria idaman. Selain itu, pemuda itu juga pekerja keras. Tentu saja, terkadang Lize merasa bahwa keberadaan Rhode terlalu mengintimidasi baginya, hal itu justru menambah pesonanya.

Kalau saja dia bisa…

Ketika pikirannya mulai melantur, Lize segera menggelengkan kepalanya. Setelah itu, dia melihat Rhode berjalan ke arahnya.

"Tuan Rhode, apakah pria tua itu akan benar-benar datang?"

Mungkin untuk menyembunyikan rasa malunya, Lize berusaha mengganti topik pembicaraan. Walaupun dia adalah penduduk yang sudah tinggal lama di kota Deep Stone, dia tidak menyangka bahwa Walker memiliki masa lalu yang tidak biasa seperti itu. Sudah jelas bahwa Rhode telah mengetahui hal tersebut sebelumnya dan karena Lize sudah terbiasa dengan sikap serba rahasia Rhode, dia tidak bertanya lebih jauh.

Rhode meraih handuk yang tergantung di sampingnya dan menyeka keringat dari dahinya, "Aku tidak tahu." Dia mengangkat bahu. "Aku sudah melakukan apapun yang bisa kulakukan. Sisanya tergantung pada dirinya, jika pria tua itu masih memiliki sedikit tekad yang bulat, maka kurasa dia akan datang. Tapi jika tidak, maka dia tidak akan datang. Tentu saja, dengan atau tanpa dirinya, rencana kita tidak akan berubah."

Kata-kata Rhode terdengar tenang dan terus terang seperti biasanya. Dia tidak ingin membuat orang lain ragu atau menyangkal kata-katanya.

"Kuharap kau siap, Lize. Kuburan Pavel adalah tempat yang sangat berbahaya; dan jika nanti kita hanya berdua dalam menjalankan misi ini, maka tingkat bahaya akan cukup tinggi. Situasinya akan lebih rumit dibandingkan saat kita berada di Reruntuhan Kabut."

"Ya, aku mengerti, tuan Rhode. Aku akan bersiap-siap."

"Bagus sekali. Kalau begitu aku kembali duluan. Untuk sarapan…seperti biasa saja."

"Baik."

Setelah mereka mulai menetap di markas kelompok mereka sendiri, Kebiasaan hidup Rhode dan Lize tampak berbeda dari sebelumnya. Mungkin karena kekurangan uang, Rhode tidak membangun ruang makan. Karena itu, mereka berdua makan di ruang belajar Rhode. Sekarang, mereka sudah terbiasa dengan hal tersebut. Kebiasaan memang menakutkan.

Saat Lize pergi memasak sarapan, Rhode kembali ke ruang belajarnya di lantai dua dan mulai merencanakan langkah mereka selanjutnya.

Walaupun Rhode memiliki julukan 'perpustakaan berjalan', dia tetap tidak mampu mengingat setiap detail yang ada di dalam setiap misi. Saat ini, dia mencoba mengingat kembali bahaya macam apa yang akan menghadang mereka di Kuburan Pavel dan mencatatnya. Kemudian, dia akan memikirkan cara untuk mengatasi situasi berbahaya tersebut. Jika dia beruntung, dia akan menjalankan misi ini dalam kelompok tiga orang, tapi jika tidak, maka dia harus punya rencana cadangan. Tentu saja, sebuah misi yang dijalankan oleh dua atau tiga orang membutuhkan perubahan taktik yang lebih banyak dibandingkan dengan saat dia menjadi pemain.

Karena sebelumnya dia mampu menjadi pemimpin guild terkuat dalam Dragon Soul Continent, Rhode tidak hanya bergantung pada bakatnya. Kerja keras, kemampuan observasi yang baik, pengaturan waktu dan kemampuan prediksi masa depan, semuanya dibutuhkan untuk sukses. Ketika guild lawan masih sibuk memikirkan cara mengalahkan bos, Rhode sudah menyelesaikan misi tersebut terlebih dahulu dengan teman-teman guildnya. Itulah perbedaan di antara mereka.

'Ini semua mencakup detail!'

Itulah kebijakan Rhode. Sukses dan gagal tergantung pada detail rencana.

Ketika Rhode tenggelam dalam pikirannya, sebuah ketukan terdengar dari pintu.

"Siapa itu?"

Walaupun suara ketukan itu berasal dari lantai satu, indra Rhode sudah mencapai tingkat dimana dia bisa merasakan dan mengetahui apa yang sedang terjadi di lantai bawah. Saat dia menyadari bahwa ada seseorang yang berdiri di pintu depan, dia meletakkan penanya dan berjalan keluar dari ruangan itu.

Apakah itu Walker yang akhirnya mampu lepas dari sarangnya? Datang ke sini sepagi ini? Benar-benar di luar dugaan.

Tapi, ternyata yang mengetuk pintu adalah Hank dari Asosiasi Prajurit Bayaran, dan bukannya si tua Walker!

Apa yang dia lakukan di sini?

Rhode menatap Hank yang sedang tersenyum canggung dan malu. Setelahnya, dia melirik ke arah orang yang berdiri di belakangnya. Dia menyadari bahwa orang yang berada di belakang Hank adalah seorang wanita.

Ada apa ini?

"Paman Hank, apa kau mencariku?"

"Benar, tuan Rhode. Sebenarnya…bisakah kita bicara di dalam saja?"

"Tentu."

Rhode mengangguk dan menyambut mereka berdua masuk ke dalam rumahnya.

Dari ekspresi Hank, sepertinya dia benar-benar terkejut melihat aula mewah di hadapannya. Sebenarnya, sebelum dia kemari, dia berasnggapan bahwa markas mereka berdua pastilah cukup lusuh. Tapi setelah melihat aula luas yang bersih dan rapi tersebut, dia hanya bisa membelalakkan matanya. Pemandangan tersebut benar-benar berbeda dengan bayangannya dan dia menatap Rhode dengan ekspresi kaget. Walaupun Hank tidak pernah memasuki Rumah Angker Cyril, dia tahu bahwa tadinya tempat ini telah terlantar dalam waktu yang lama, dan banyak orang yang tewas di dalamnya. Sama sekali tidak mungkin kalau rumah bobrok itu sekarang terlihat seperti ini!

Bagaimana cara anak muda ini melakukannya?

Hank akhirnya merasa tertarik dengan kemisteriusan Rhode. Sebagai orang yang sudah bekerja di Asosiasi Prajurit Bayaran selama bertahun-tahun, ini adalah pertama kalinya dia bertemu dengan orang seperti Rhode. Dari penampilan luarnya, pemuda itu terlihat tidak begitu berbeda dengan pemuda lainnya, tapi melihatnya sekarang, tampaknya penilaian Hank salah.

"Ada urusan apa sehingga kau datang ke tempat ini, paman Hank?"

Setelah mengundang masuk mereka berdua, Rhode bertanya. Pada saat yang bersamaan, dia juga melirik gadis di samping Hank. Rhode cukup yakin gadis yang kelihatannya berumur 18 atau 19 tahun itu berhubungan dengan alasan Hank mendatangi markas kelompok prajurit bayaran Rhode.

Dan tebakannya benar. Hank menunjukkan senyum yang canggung dan berkata, "Jadi begini, tuan Rhode. Nona muda ini…ingin bergabung ke dalam kelompok prajurit bayaranmu."


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.