Memanggil Pedang Suci

Ekspektasi vs. Realita



Ekspektasi vs. Realita

0

Kartu hijau muncul dan berubah menjadi Burung Roh yang melayang ke arah samping Marlene. Gadis itu belum menyadari serangan tersebut. Rasa kepercayaan Marlene terhadap sihir pelindung berupa badai angin tersebut benar-benar kuat dan dia berencana untuk membalas langsung serangan Rhode jika pemuda itu menyerangnya di balik pelindung tersebut.

Sayangnya, karena kelengahan dan kepercayaan yang terlalu besar pada sihirnya sendiri, ketika kicauan burung terdengar dari belakang Marlene, gadis itu hanya bisa tercengang.

Apa yang terjadi? Apa itu?

Dia berbalik untuk mengecek keadaan, dan seketika sebuah embusan angin kencang menghantam gadis itu.

"Bum!"

Sihir pelindung badai milik Marlene memang bisa menghalau sebagian besar efek serangan, tetapi sayangnya, Rhode menggunakan cara yang paling sederhana dan efisien untuk menanganinya. Bagi makhluk terbang dengan elemen angin seperti Burung Roh, bahkan jika dia menyelam ke dalam badai yang kencang, hal itu tak ubahnya dengan seekor ikan yang berenang dalam laut.

Ketika dia terkena serangan tersebut, Marlene terjatuh ke tanah dan tidak bisa bernapas. Mendadak, pola rumit di jubah Marlene mulai bersinar dan perisai kristal yang keras dan transparan muncul di sekeliling gadis itu, membuatnya bisa bernapas lagi. Setelah dia mengatur napas, Marlene segera mencoba berdiri, tapi begitu dia menoleh ke samping, dia melihat Rhode berdiri di situ.

Apa!? Sejak kapan dia ada di situ?

Marlene terkejut, tapi dia segera menenangkan diri. Dia mengangkat tongkat sihirnya dan mencoba mengeluarkan sihir lain, tapi kali ini, Rhode tidak memberinya kesempatan untuk melakukan hal tersebut.

Penguasaan dan penggunaan sihir gadis ini sebenarnya cukup bagus…sayang dia terlihat kurang berpengalaman dalam hal seperti ini.

Setelah menyaksikan cara Marlene menangani serangan Burung Roh, Rhode berniat menghentikan duel ini. Selama duel ini berlangsung, dia mengabaikan serangan yang datang ke arahnya demi menjaga Rhode dalam jarak pandangnya. Tindakan tersebut menandakan bahwa pengalaman bertarung Marlene masih tergolong amatir. Kalau begitu, Rhode tidak akan ragu untuk mengalahkan Marlene demi memberinya pelajaran.

Rhode menyeringai sendiri. Kemudian dia mengangkat tangan kanannya.

Kartu hijau yang ada di tangannya berubah dengan cepat ke warna merah .

Secara bersamaan angin puyuh yang mengelilingi Rhode juga berubah warna.

Marlene membelalakkan matanya dengan terkejut. Sepertinya fenomena tersebut benar-benar melampaui dugaannya. Dalam sekejap mata, sebuah api merah terang membungkus angin tersebut dan berputar dengan keras saat membentur perisai Kristal yang mengelilingi tubuh Marlene. Perisai keras itu bergetar hebat saat berbenturan dengan angin puyuh berapi itu.

Krak. Retakan – retakan yang mirip jaring laba-laba mulai muncul di perisai tersebut. Marlene tahu bahwa perisai itu tidak akan bertahan lama dan memutuskan untuk menyerang balik. Tapi dia sedikit terlambat. Seekor anjing hitam tiba – tiba muncul dari angin puyuh dan menghantam perisai itu dengan cakarnya yang tajam.

Brak!!

Akhirnya, perisai level rendah tersebut tidak bisa menahan lebih banyak serangan dan pecah menjadi serpihan-serpihan kecil. Kemudian, anjing hitam itu menunjukkan taringnya yang tajam sebelum melesat ke arah Marlene.

Kali ini, Marlene benar-benar merasa takut.

Dari awal duel, Marlene tidak bisa membalikkan keadaan sekalipun. Gerakan dan tindakan Rhode selalu berada di luar dugaannya, dan dia tidak bisa memprediksi apa yang akan pemuda itu lakukan selanjutnya. Meskipun dia memiliki beberapa pengalaman berduel di akademi, ketika dia menghadapi Rhode, semua pengalamannya tidak berguna.

Sangat penting bagi para penyihir untuk menjaga jarak dari petarung jarak dekat demi memastikan keselamatan mereka sebelum melancarkan serangan.

Hmph. Apakah aku perlu melindungi diriku sebelum menyerang?

Gunakan sihir terkuatku di awal pertarungan untuk mengintimidasi musuh?

Tentu saja, aku tahu itu! Tapi, bagaimana caranya aku melakukan hal itu sekarang!!

Marlene hampir pingsan saat berhadapan dengan hewan buas yang mengerikan itu. Saat ini, hanya harga dirinya yang tinggi yang mencegah Marlene untuk menyerah dalam rasa takut dan bingung. Dia mengangkat tangannya secara alami dan menunjuk ke arah anjing hitam yang melaju ke arahnya.

"Jir!"

Sebuah angin puyuh memadat di batu rubi pada tongkat sihirnya dan melesat ke depan. Melihat serangan Marlene yang menuju ke arahnya dengan cepat, Pembunuh Api berhenti mendadak. Anjing itu meraung keras, kemudian mundur. Hal itu memberi Marlene sedikit waktu saat dia menghela napas lega dan mengangkat tongkat sihirnya ke arah Rhode.

Kali ini, kartu di tangan Rhode berubah warna menjadi putih.

Kartu itu bersinar dengan terang.

Pergelangan tangan Marlene terasa dingin. Gadis itu kehilangan fokus dan melirik ke arah pergelangan tangannya. Setelah itu, sekujur tubuhnya menggigil.

Jubahnya yang sebelumnya terlihat cantik dan indah telah robek, memperlihatkan kulitnya yang seputih salju. Namun, yang membuatnya takut adalah darah yang mengalir dari lengannya.

Sakit…

Itu pikiran pertama yang muncul di kepala Marlene; kemudian, jalan pikirannya mulai lepas kendali.

…Aku terluka?

Apakah aku terluka?

Marlene menangis. Yang ada di pikirannya hanyalah darah yang mengalir dari pergelangan tangannya. Bagaimana dengan strategi pertahanan yang dia siapkan untuk membalas serangan Rhode? Hilang. Dia bahkan secara tidak sadar melempar tongkat sihirnya ke samping dan menggenggam pergelangan tangannya erat-erat. Bagaimana dengan pertarungan itu? Bagaimana dengan duel mereka? Marlene tidak peduli! Di matanya, tangannya yang terluka lebih penting.

Bagaimana caranya aku terluka?

Kenapa aku terluka?

Apa yang harus kulakukan?!

Marlene bisa digambarkan sebagai bunga yang tangguh, tetapi pada akhirnya, dia hanyalah bunga yang masih tinggal di rumah kaca.

Tentu saja, seorang jenius seperti dirinya akan dipenuhi oleh rasa percaya diri dan kedisiplinan. Marlene belum pernah mengalami rintangan besar dalam hidupnya…setidaknya hingga saat ini.

Tiba-tiba, sentuhan dingin sebuah logam menyeret dirinya yang menyedihkan kembali ke kenyataan. Marlene melihat ke depan dan hal pertama yang dia lihat adalah sebuah pedang putih yang berkilau.

"Wuuushhh!!"

Tanda Bintang melesat melewati Marlene dan menancap di tanah, hanya beberapa inci saja dari leher gadis itu.

Saat itu, kondisi Marlene mirip dengan boneka yang talinya terpotong. Kakinya terasa lemas dan dia berlutut di lantai. Matanya menatap kosong ke arah langit.

"Kemampuanmu untuk mengkombinasikan beberapa elemen dalam sihir menandakan bahwa pemahamanmu mengenai sihir cukup mendalam."

Suara Rhode yang datar bergema di taman itu. Dia berbicara sambil mengangkat tangan kanannya dan tidak lama kemudian kartu putih di telapak tangannya menghilang, diikuti dengan menghilangnya pedang putih yang menancap di lantai dekat Marlene.

"Tapi dalam pertarungan nyata, beginilah hasilnya. Jika kau melakukan ini dalam misi kita, maka aku akan melarangmu bergabung dalam kelompok ini. Lize, tolong rawat lukanya dan bawa dia agar bisa beristirahat. Sepertinya saat ini dia masih belum bisa mengendalikan dirinya."

"Ah, baik!"

Lize yang merasa sangat khawatir pada Marlene, segera berlari ke arahnya untuk merawat luka gadis itu setelah mendengar perintah Rhode. Marlene terlihat seperti kehilangan jiwanya, dengan tatapan kosong sembari terduduk di tanah dan tidak berkata apa-apa.

Melihat keadaan Marlene yang menyedihkan, Rhode mengerutkan alisnya dan tetap menutup mulutnya. Dia cukup yakin dan percaya pada kekuatan mental gadis tersebut. Bagaimanapun juga, di masa depan, dia akan dikenal sebagai 'Ratu Prajurit Bayaran'. Sisanya tergantung Marlene sendiri. Jika dia tetap bertingkah seperti bocah sombong, maka kelompok ini akan terancam bahaya. Rhode tahu bahwa Marlene tidak tertarik mati.

Semuanya sesuai dengan kata-kata Rhode. Marlene memang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang sihir, tetapi sayangnya hal itu tidak terlalu berguna dalam pertarungan nyata, yang merupakan masalah umum bagi banyak orang, termasuk para pemain. Seperti saat menaklukkan sebuah dungeon, semua orang bisa membaca panduan strategi dari sebuah dungeon dan mereka pun bisa mengetahui kelemahan bos di dalamnya. Tapi dalam pertarungan nyata, apa gunanya?

Jika semuanya sesuai dengan apa yang mereka baca dalam panduan, tidak masalah. Tapi bagaimana jika terjadi kecelakaan? Katakanlah monster-monster di dungeon itu bisa dibunuh dengan cepat, dan bosnya muncul sebelum mereka bisa bersiap-siap. Ketika hal itu terjadi, dan mereka tidak bisa menanganinya dengan tepat, maka mereka akan terbantai!

Rhode percaya jika duel tadi berjalan sesuai dengan rencana Marlene, maka dia akan bertarung seperti sosok-sosok legendaris di dalam sejarah. Sayangnya, pertarungan nyata berbeda dengan animasi CG (Computer Generated). Dalam situasi yang tak terduga, jalan pikirannya menjadi kacau, dan itu adalah masalah yang besar.

Setelah Lize meninggalkan taman bersama Marlene, Rhode kembali ke dalam rumah. Muka Hank terlihat berbeda sekarang. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Rhode ternyata sekuat itu. Marlene adalah Mage jenius dari kota Golden, dan dia telah mengalahkan banyak orang dengan hanya satu serangan saja. Tapi lihat apa yang terjadi saat gadis itu berhadapan dengan Rhode. Selain itu, Hank juga tidak menyangka bahwa pemuda itu tega melukai Marlene.

Saat itu, si tua Hank merasa getir. Dia menghela napas saat memandang punggung Rhode dengan pasrah dan mengalihkan pandangannya ke Marlene, yang sedang dipapah oleh Lize.

Beberapa saat kemudian.

Marlene menatap ke arah luar jendela dalam diam, tatapannya masih terlihat agak hampa.

Setelah duel itu, Lize membawanya ke kamar dimana dirinya bisa beristirahat. Kekalahan kali ini merupakan pukulan terkerasnya selama hidup. Rasanya seperti idola terkenal yang tiba-tiba ditampar dan ditendang wajahnya.

Kata-kata Rhode terus menerus terngiang dalam kepalanya. Walaupun dia tidak bisa menerima kekalahan tersebut, tapi Marlene tidak menyangkal kata-kata pemuda itu. Meskipun dia bisa menyalahkan kekalahannya pada gaya bertarung Rhode yang tidak biasa, tapi dia paham jika duel tadi merupakan duel hidup atau mati, hanya akan ada satu orang yang akan bertahan – yaitu pemenang duel. Jika Rhode adalah musuhnya, maka Marlene pastinya sudah tewas sekarang. Apa gunanya mengeluh tentang gaya bertarung orang lain yang aneh jika dia sendiri sudah mati?

"Bagaimana perasaanmu, Marlene?"

Lize meletakkan sebuah cangkir berisikan teh panas di depan Marlene dan bertanya dengan suara pelan.

"Sudah lebih baik. Terima kasih, Lize."

Marlene menunjukkan senyuman yang kaku. Meskipun dia merasa gembira bisa bertemu dengan teman lama di sini, tapi dalam situasi seperti ini, dia merasa sedikit canggung. Efek duel itu masih terasa berat baginya. Bukannya Marlene tidak pernah kalah sebelumnya, hanya saja dia belum pernah kalah dalam keadaan memalukan seperti ini. Selain itu, duel yang dilakukannya bersama gurunya tidak barbar seperti ini, dan dia jarang melihat darah sebelumnya…Marlene menggelengkan kepala dengan sedih. Dia paham bahwa dia masih terlalu lemah.

"Sejujurnya, aku terlalu meremehkan banyak hal."

Dia menghela napas.

"Tadinya aku pikir menyelesaikan misi-misi prajurit bayaran ini dengan kekuatanku tidak akan terlalu sulit. Tapi…sekarang aku paham bahwa diriku tidak bisa bertarung dengan benar. Jelas saja, dalam pikiranku, aku hanya perlu bergerak sesuai dengan bayanganku, tapi tubuhku tidak mau menurut. Pada akhirnya, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."

Marlene tersenyum pahit sambil menjelaskan.

"Dulunya aku selalu menertawakan orang-orang yang tidak kompeten itu. Tapi sekarang, ternyata aku sendiri tidak terlalu berbeda dengan orang-orang itu. Iya kan?"

"Bukan seperti itu, Marlene."

Lize berdiri dan menggenggam tangan Marlene. Matanya menatap gadis di depannya dengan penuh perhatian.

"Pertarungan nyata sangat berbeda dengan bayangan kita tentang pertarungan tersebut. Dulu aku juga sama denganmu, Marlene. Sebelum bergabung dalam kelompok prajurit bayaran, pikiranku juga penuh dengan mimpi yang tidak masuk akal; Aku percaya aku bisa mengandalkan kemampuanku untuk menyembuhkan setiap luka mereka. Mereka membantuku ketika aku membutuhkan mereka, jadi aku juga ingin membantu mereka."

Mata Lize terlihat sedih.

"Tapi ketika aku terjun ke dalam pertempuran pertamaku, ketika aku melihat darah dan daging yang sesungguhnya, aku benar-benar ketakutan setengah mati. Bahkan, aku tidak punya cukup waktu untuk menyembuhkan luka semua orang. Terlalu banyak orang yang terluka parah. Walaupun ketua tidak menyalahkanku secara langsung, aku bisa merasakan kekecewaan mereka. Aku tahu bahwa mereka membutuhkan bantuanku, dan aku punya kemampuan untuk membantu mereka. Tapi aku kabur di saat yang paling penting…Ketua kelompok memberitahuku bahwa setiap orang pasti akan mengalami ujian seperti itu tanpa pengecualian. Setelah itu, aku tetap berusaha sebaik mungkin dan akhirnya…"

"Aku tahu…"

Marlene menunduk; matanya yang indah menunjukkan ekspresi yang campur aduk.

"Aku mengerti maksudmu, Lize. Memang , semuanya sesuai dengan kata-kata tuan Rhode. Jika aku bertarung dengan cara yang sama dalam misi tersebut, jelas saja dia akan melarangku bergabung. Tapi…"

Marlene mengepalkan tangannya.

"Aku masih ingin mencoba. Aku tahu kalau pengalamanku sangat sedikit. Aku juga mengerti bahwa sifat angkuhku tidak akan berguna jika aku ingin berkembang. Tapi aku tidak akan kabur seperti pengecut karena aku adalah Marlene Senia! Aku lahir dalam kebanggaan dan kejayaan keluargaku! Aku tidak akan pernah kabur, tidak peduli seberat atau sesusah apapun rintangan yang menghalangiku di masa depan, aku akan tetap melangkah maju. Itulah keputusanku."

"Kejayaan keluarga…"

Muka Lize berubah sedih saat menggunakan kata-kata itu. Marlene merasa ada yang tidak beres. Dia mengangkat kepala dengan cepat dan menatap Lize.

"Ngomong-ngomong, Lize. Kau masih belum memberitahuku apa alasanmu menjadi prajurit bayaran di sini? Kenapa kau meninggalkan kota Golden? Saat itu aku sedang absen, jadi aku tidak tahu apa yang terjadi. Ketika aku kembali, kau sudah pergi. Aku sudah mencarimu ke mana-mana dalam waktu yang lama…Kenapa kau pergi?"

Mendengar pertanyaan Marlene, ekspresi Lize berubah muram. Dia menggigit bibir dan menjawab, "Karena itu adalah keputusan dewan keluarga."

"Jadi kau diusir?!"

Mendengar istilah 'dewan keluarga', Marlene mendadak berdiri. Dia menatap ke arah Lize dengan terkejut sekaligus marah.

"Bagaimana bisa orang-orang tua bangka itu berbuat begini! Mereka berani mengusirmu begitu saja? Apakah tuan Dreakman tidak menghentikan mereka?"

"Ayah setuju dengan keputusan dewan."

"Itu…"

Mendengar hal tersebut, Marlene tidak bisa berkata-kata.

"…bagaimana bisa dia…"

"Tidak mengherankan."

Lize tersenyum dan menggelengkan kepala. Dia mengulurkan tangan dan memainkan rambut emasnya yang terkuncir.

"Sekarang, aku bukan lagi Lize Calante Belgrade. Lize Noir…itu namaku sekarang."

"Kelompok kakek tua yang sok suci itu!"

Marlene menaikkan alisnya dengan dingin dan duduk kembali. Kemudian dia menatap Lize dengan cemas.

"Kalau begitu, kau…"

"Ya beginilah situasiku sekarang."

Lize menjawab dengan lembut.

"Aku akan menetap di kelompok prajurit bayaran ini. Inilah hidupku sekarang. Walaupun pekerjaan ini berbahaya, tapi bagiku, ini bukanlah sesuatu yang buruk. Tuan Rhode berjanji padaku bahwa dia akan membangkitkan kembali kelompok ini. Kurasa itu pekerjaan yang lebih baik dan berarti daripada mengenakan gaun mahal dan menghadiri pesta-pesta, kan?"

Marlene terkejut dengan gadis yang terlihat tenang itu, yang tersenyum dengan lembut. Meskipun begitu, pikirannya terasa agak rumit.

Gadis kecil yang dulunya suka menangis…sekarang sudah tumbuh besar ya?


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.