Tante Seksi Itu Istriku

Bekerja Pada Tante Cantik



Bekerja Pada Tante Cantik

0Usman tidak jemu memandang wanita itu. Walau air liurnya juga menetes dan matanya melotot dan hampir copot itu. Meski ia menyadari perbedaan status antara dirinya dan wanita itu. Wanita itu pun terlihat lebih tua darinya. Tetapi kalau sudah cinta, jadi bisa apa?     

Ia melihat wanita itu terlihat kerepotan membawa barang dan sepertinya ingin ada seorang pangeran yang membantu. Alih-alih berubah menjadi dewa penolong, Usman maju ke depan. Ia ingin membantu wanita itu untuk mengangkat barang-barang bawaannya.     

"Permisi, Tante," ucap mulut Usman tanpa bisa ia rem. Ia tidak sadar kalau ia sampai menyebut wanita itu sebagai tante. Sungguh itu membuatnya makin minder.     

"Eh, ada apa? Tante-tante, sejak kapan aku nikah sama om kamu?" timpal wanita itu dengan jengkel. Dia selalu dipanggil tante-tante oleh anak-anak kecil. Bahkan ada seorang lelaki yang memanggilnya tante juga.     

"Maaf, Tante ... eh, Mbak, maksudnya," ucap Usman merinding. Ia takut akan menjadi bencana kalau salah ucap lagi.     

"Mbak? Mbak kamu bilang? Sejak kapan aku punya adik sepertimu? Eh, dasar kamu bocah!" sungutnya sambil menunjuk pada Usman.     

"Eh, iya, Tante! Eh, Astaghfirullah. Tante ... aduh, mengapa mulut ini?" Usman menepuk mulutnya sendiri karena ia memanggil tante terus pada wanita seksi itu.     

"Sudahlah ... mau panggil apa, terserah kamu saja! Oh, iya. Kamu bisa bantuin aku, bawain barang-barang ini, nggak?" Akhirnya ia meminta bantuan karena tidak tahu harus minta bantuan siapa lagi.     

Usman menganggukkan kepala. Ia kemudian meletakan tasnya di pinggir mobil, kemudian mengikuti wanita itu ke dalam.     

Selain Usman, memang tidak ada orang lain yang terlihat. Akhirnya Usman membantu wanita itu dengan senang hati. Ia mengangkat sembako yang berupa beras yang diambilnya dari penggilingan padi depannya. Namun pekerja saat ini kebanyakan sedang libur karena tanggal merah.     

Tidak ada yang membantu mengangkut beras karena pemilik penggilingan juga melayani banyak orang yang memesan beras. Usman pun harus bolak-balik masuk ke dalam untuk mengambil karung-karung beras itu.     

"Hosh-hosh-hosh ...." Usman mulai kelelahan karena telah mengangkat lebih dari lima puluh kantong beras yang beratnya lima kiloan. Walaupun tidak begitu berat, itu tetap melelahkan karena ia harus bolak-balik dan tidak adanya gerobak dorong yang tersedia.     

"Sudah, Tante. Eh, dasar mulut ini!" Usman menepuk mulutnya karena tetap saja memanggilnya tante. Padahal kan seharusnya entah panggil apa yang cocok.     

"Farisha! Namaku Farisha," ujarnya memberitahu namanya pada Usman. Farisha kemudian menutup bagasi mobilnya yang sudah penuh.     

Usman kelelahan dan merasa haus. Ia duduk di trotoar untuk mengistirahatkan badannya. Saat sedang duduk itulah, Farisha menyodorkan botol air mineral padanya.     

"Apakah kamu nggak punya pekerjaan?" tanya Farisha sambil menyodorkan botol air mineral itu.     

"Belum punya, Tante," jawab Usman. Usman menerima botol minuman itu lalu berkata, "Terima kasih airnya."     

"Iya, sama-sama. Kalau begitu, kamu bisa bekerja di tempatku, kan? Lumayan juga tenagamu. Karyawan lama di swalayanku malah pulang kampung. Jadi ya harus melakukan apa-apa sendiri." Farisha membutuhkan orang untuk membantunya karena ia tidak kuat kalau harus melakukan semua pekerjaan sendiri.     

"Aku mau, Tante!" celetuk Usman dengan semangat. Mendengar kata swalayan, berati pekerjaan yang dilakukan adalah berjualan. Apalagi ia sudah berpengalaman untuk menjual makanan berupa kacang kuaci dan permen. Ada pula rokok, tisu dan kadang jualan kopi saat tidak repot.     

"Kalau begitu, kamu ikutlah denganku!" ajak Farisha. Ia masuk ke dalam mobil terlebih dahulu. Ia menunggu Usman untuk masuk ke dalam mobil.     

"Alhamdulillah ... dapat kerjaan juga, hehehe," kekeh Usman dan bangkit dari duduknya. Ia mengambil tasnya lalu masuk ke dalam mobil. Duduk di samping Farisha. Karena di belakang sudah tidak ada tempat lagi untuk duduk.     

Farisha menyetir mobilnya dan masuk ke jalanan yang ramai. Di siang yang terik itu Usman sangat beruntung karena bisa berdampingan dengan wanita cantik nan seksi itu. Bagaimana ia tidak bahagia, bahkan ia merasakan jantungnya berdegub lebih kencang dari biasanya.     

"Kamu orang dari desa, yah? Pakaianmu dekil begitu!" ejek Farisha. "Tapi kalau kerja di tempatku, nanti kukasih seragam, biar kamu ganti dengan pakaian yang lebih rapih," lanjut Farisha.     

"Iya, Tante, aku baru datang dari desa dan Alhamdulillah langsung diberi pekerjaan. Aku janji akan bekerja dengan baik," ungkap Usman dengan semangat menggebu.     

"Kalau begitu, kamu nggak punya tempat tinggal juga?" tanya Farisha lagi. Ia melihat ke arah Usman sejenak sambil terus menyetir.     

"Aku baru sampai tadi. Jadi belum punya tempat tinggal. Dari desa pun modalnya hanya nekat dan tidak membawa uang sama sekali."     

"Oh ... seperti orang kabur dari rumah." Farisha hanya asal bicara karena memang cerita dari Usman, memang Usman seperti orang kabur dari rumah hingga ke kota. "Kalau nggak ketemu denganku, besok kamu sudah jadi gembel!" ejeknya dengan sengaja.     

Sebenarnya Farisha juga jijik dengan Usman yang dekil dan kusam itu. Apalagi pakaian murahan yang dipakai oleh Usman, tidak sebanding dengan pakaian yang ia miliki.     

Usman diam saja setelah diejek oleh Farisha. Nyatanya dirinya orang miskin dan tidak memiliki apapun saat ini. Bahkan perempuan di desanya pun tidak ada yang suka padanya. Bahkan hanya beberapa orang yang mau bicara dengannya. Selama hidupnya, ia adalah seorang jomblo sejati.     

Usman tidak pernah pacaran seperti pemuda lain yang bahkan berkali-kali pacaran. Kondisi perekonomian dan statusnya yang hanya menjadi seorang penjualan kacang kuaci dan permen itulah yang membuat para gadis di desanya selalu menjauhinya. Apalagi Usman terlihat begitu burik di mata para gadis desa. Tapi itu karena Usman harus panas-panasan dan kadang ia lupa mandi ketika menjelang sore hari.     

"Nah, ini swalayan kita. Kamu turunin dulu berasnya, nanti masukan ke dalam gudang!" perintah Farisha. Ia membuka pintu mobilnya dan keluar.     

"Siap, Tante. Eh, aku harus panggil apa? Bos, Tante atau gimana?" tanya Usman bingung. Setelah dia bekerja di swalayan itu, ia harus memanggil bosnya apa, ia tidak tahu.     

Usman keluar dari mobil dan menunggu Farisha menjawab pertanyaannya dan membuka bagasi mobil.     

"Suka-suka kamu saja! Yang penting kamu kerja dengan baik di sini!" Farisha terlihat diam tanpa ekspresi.     

'Kalau panggil, sayang, boleh enggak, yah?' pikir Usman di dalam hati. Tapi ia tidak mungkin mengatakannya karena bisa saja dirinya digampar dan dipukuli habis-habisan. Apalagi dengan kekuatan pelukan dari Farisha yang begitu membuatnya mati kehabisan nafas.     

Usman menurunkan beras-beras dan menuruti perintah Farisha yang menyuruhnya untuk membawa beras itu ke depan pintu swalayannya. Dan saat ini swalayan itu sedang tutup karena tidak ada yang menjaga. Farisha kadang bisa menutup swalayan lebih lama karena tidak punya karyawan dan dirinya juga sibuk.     

"Kamu keluarkan semuanya dulu! Nanti setelah itu, kamu masukan ke gudang. Kamu juga tinggal di sini saja! Di lantai dua, ada kamar yang sudah lama tidak ditempati."     

"Iya, Tante." Usman mulai mengangkat kantong-kantong beras itu dengan kedua tangannya. Satu tangannya bisa mengangkat dua kantong beras.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.