Tante Seksi Itu Istriku

Setelah Benny Pergi



Setelah Benny Pergi

0Usman bangun dari pingsannya setelah Erni mengoleskan minyak kayu putih di depan hidungnya. Ia langsung berontak karena ia mengira Benny masih menyerangnya.     

"Ampuun! Ampuun! Jangan, Pak! Jangan! Aku nggak mau!" tolak Usman dan tangannya sampai memukul-mukul Erni yang menyadarkannya.     

"Ahh, sakit!" pekik Erni menahan sakit karena pukulan pemuda itu. Ia langsung mundur dengan cepat untuk menghindari serangan lanjutan darinya. "Kenapa aku yang dipukul?"     

Farisha dan Azhari melihat itu dengan tersenyum. Ada saja tingkah Usman yang begitu. Meskipun itu tidaklah lucu, kehadiran Usman membuat mereka terhibur. Setidaknya tidak tegang seperti saat ada Benny. Mereka pun tidak tahu sebabnya.     

Karena merasa tidak ada yang memukul dan menendang dirinya, Usman membuka matanya. Ia masih waspada karena bisa saja ada pukulan atau tendangan yang dilakukan oleh Benny lagi. Tapi ia hanya melihat seorang wanita yang tersungkur di lantai.     

"Eh, apa yang terjadi? Mbak kenapa duduk di lantai seperti itu?" tanya Usman. Dan kemudian ia menyadari kalau dirinya yang telah menyebabkan semua itu terjadi. "Maaf, Mbak. Sini aku bantu berdiri!"     

Pemuda itu membantu Erni yang duduk tersungkur di lantai. Mereka pun berdiri saling berhadapan. Kini wanita dua puluh delapan tahun itu mengerti kenapa Farisha sampai memilih lelaki yang baik itu sebagai suaminya. Karena sifatnya yang baik dan suka membantu.     

Tiga wanita itu kini tahu bagaimana pemuda itu yang tidak suka kekerasan. Sifatnya yang penakut tapi orangnya tidak tegaan terhadap wanita. Pemuda itu yang membuka mata mereka bahwa tidak semua lelaki selalu jahat. Ada pula lelaki yang baik. Hanya saja sekarang mereka belum percaya seratus persen tentang Usman.     

"Sekarang bawa calon suami anak saya ke meja makan, Er! Kasihan dia pasti belum makan!" perintah Azhari dengan suara yang lembut.     

Berbeda dengan Farisha yang lebih ceplas-ceplos dalam berbicara. Sedangkan ibunya yang terlihat kalem pembawaannya. Sebagai seorang lelaki normal, Usman pun menyukai sifat Azhari. Tapi dirinya menyukai wajah dan bentuk tubuh dari Farisha. Meskipun ia tahu, ibunya tidak kalah. Tapi memang tidak terlihat lekuk tubuhnya karena tertutupi dengan pakaian yang menutup auratnya.     

"Eh, iya Nya. Mari Mas, aku antar ke tempat makan!" ajak Erni pada Usman. Erni menggandeng tangan pemuda itu dan menariknya ke meja makan.     

"Eh, bentar-bentar, Mbak!" Karena ia belum siap pun jalannya jadi tidak benar dan hampir saja menubruk wanita yang menariknya.     

Farisha dan Azhari pun terkekeh melihat tingkah Usman yang menurut mereka lucu. Meskipun begitu, tidak ada yang perlu ditertawakan. Erni sendiri bingung dengan kedua wanita yang menjadi majikannya itu.     

"Hihihi, suami kamu memang lucu, Far. Kamu memangnya beneran mau menikah dengannya?" tanya Azhari dengan melempar senyuman hangat.     

"Apa Ibu nggak percaya sama anak sendiri? Apa karena aku memilih lelaki yang jelek seperti dia, jadi Ibu nggak akan menyetujuiku?" tanya Farisha balik. Dirinya sebenarnya tidak yakin akan menikah. Tapi ia tidak mau terus-terusan dijodohkan.     

Sebisa mungkin Farisha harus menyembunyikan kepura-puraannya itu. Luka di hatinya tidak akan pernah ia lupakan seumur hidup. Tidak akan ada seorang lelaki pun yang ia percaya di dunia ini. Termasuk dengan Usman yang terlihat bodoh dan tidak memungkinkan berbuat jahat. Meskipun seperti itu, ia juga harus mewaspadai Usman.     

"Bukan begitu maksud ibu, Sayang. Iya, ibu memang tidak mengira kamu mau menikah. Ibu tidak masalah juga kalau kamu memilih pemuda itu untuk kamu jadikan suami. Ibu hanya ingin kamu bahagia, Nak."     

"Ibu beneran menyetujuinya, kan? Dia juga bukan orang kaya, Bu. Dia tinggal di swalayan Farisha. Meskipun dia tidak tampan atau masih muda. Kurasa dia orang baik. Farisha akan menjaga diri sendiri agar tidak mengalami seperti yang Ibu alami."     

"Baguslah, Nak. Meskipun pemuda itu terlihat polos, kamu juga harus waspada. Tapi sebagai seorang ibu, menyerahkan anak perempuannya yang sudah sangat matang ini pada seorang pemuda yang usianya jauh lebih muda dari perempuan, ibu hanya berharap kamu tidak menyesal!"     

"Aku tahu itu, Bu. Yang penting kan anak gadismu ini akan menikah, kan? Daripada menikah dengan lelaki pilihan Benny. Yang semuanya brengsek, lebih baik menikah dengan pilihan sendiri. Walaupun seburuk apapun dia, asalkan hatinya baik."     

"Dan anakku memang sudah dewasa. Sudah memikirkan hal itu. Semoga kamu bahagia, Nak. Eh, kita makan dulu, yuk! Ini ibu sudah mendingan lukanya!" ajak Azhari ke tempat makan.     

Farisha mengangguk dan menuntun ibunya yang baru saja dipukuli suami yang tidak tahu diri itu. Mereka berjalan dengan saling bergandengan. Dengan tangan Farisha yang berada di pinggang ibunya.     

Kedekatan ibu dan anak itu sangat lengket bagaikan perangko. Kadang kalau hanya mereka berdua pun membuat orang lain iri. Sebagai anak, Farisha lebih dekat dan seringkali bermanja-manja di pelukan sang ibu. Saat tidur dengan ibunya pun ia tidak segan memeluk dan mencium.     

"Kamu kenapa masih manja begini, Nak? Umurmu sudah tiga puluh tahun tapi kayak masih kayak anak kecil." Azhari kadang protes dengan perlakuan anaknya yang manja itu.     

"Aku kan selalu jadi anak kecilmu, Ibu. Hemm, bukankah aku anak kamu yang paling disayang olehmu?" ujar Farisha seraya memeluk wanita paruh baya itu.     

"Kamu memang nyatanya seperti anak kecil! Lepasin, Nak! Pelukan kamu bikin sesek ibu! Kamu nanti manja-manjaan sama suami kamu saja, nanti!" Azhari melepas pelukan anaknya yang manja dan membuatnya tidak terlalu nyaman.     

Usman telah menunggu dua wanita yang terlihat agak mirip itu menuju ke tempat makan. Tapi ia tidak tahu mengapa Erni meninggalkannya. Saat ini Erni telah pergi ke dapur. Atau mungkin telah melakukan pekerjaan lainnya.     

Farisha dan Azhari duduk bersebelahan dan mengambil makanan. Sementara melihat Usman yang masih duduk termenung memikirkan apa yang barusan terjadi. Ia takut kalau Benny datang lagi ke rumah dan memukulinya.     

"Kamu kenapa, Usman? Kamu nggak mau makan, heh? Ini ibu aku yang masa, lho. Kamu harus coba masakan ibuku, ayo!" ungkap Farisha pada Usman. Ia mempersilahkan pemuda itu untuk segera mengambil makanan di meja.     

"Iya, Tante ... eh, anu ... Farisha," ungkap Usman bingung. Di depan calon mertua pun ia bingung harus mengatakan apa. Bagaimana ia memanggil calon istri pura-puranya.     

"Oh, ibu sekarang paham. Jadi panggilan tante itu untuk calon istrimu? Hehehehe, calon suamimu itu memang pinter ngelucu, Nak!" ujarnya lalu menatap anak perempuannya.     

"Iya, Bu. Maafkan aku," lirih Usman membalas ucapan sang calon mertua. "Ayo makan, Bu, emm Farisha." Menyebut nama Farisha juga ia masih hati-hati. Ia takut nanti wanita itu marah padanya. Tapi ia juga bingung harus bagaimana lagi.     

"Ya sudahlah, Man. Kamu ambil makanan sendiri, yah! Tanganku sakit karena lelaki biadab itu. Dan kamu jangan seperti orang itu nantinya! Kalau kamu seperti itu, aku sendiri yang akan membunuhmu!" tangkas Farisha tegas.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.