Tante Seksi Itu Istriku

Malam Pertama



Malam Pertama

0Rasa lelah Usman dan Farisha yang harus mereka hadapi. Para tamu undangan telah pergi dari hotel di mana keduanya melaksanakan pernikahan itu. Yang jelas, satu-satunya tamu yang tidak tahu diri adalah si Bram. Pria tinggi dan lumayan tampan itu masih setia mendampi di samping Usman.     

"Usman, kenapa si kera itu masih ada di sini? Apa kamu menyewa kera itu untuk menghibur kita? Apakah dia akan menari seperti sarimin ke pasar itu?" tanya Farisha di tengah kepenatan yang melanda.     

"Heh, kenapa kamu menganggap aku sebagai monyet? Kamu salah, Sayang. Aku memang akan menghibur kamu di manapun berada. Aku akan ada untuk kamu seorang," ujar Bram yang mulai bakatnya menggoda. Ia mendekati wanita yang sudah lama ia sukai itu.     

"Farisha, kamu pasti lelah setelah berdiri lama. Karena semua tamu sudah pergi, kamu lebih baik ke kamar untuk beristirahat. Ajak suami kamu untuk istirahat bersama, Nak!" perintah Azhari tersenyum ke arah kedua mempelai itu.     

"Ya sudah, Bu. Kalau begitu kami ke kamar kami sebentar, yah. Eh,maksudku aku ingin istirahat. Ibu juga harus segera istirahat, yah!" balas Farisha yang segera memeluk ibunya erat.     

"Oya, Nak. Ibu juga berharap segera punya anak agar ibu bisa menggendong anak kamu, di usia ibu yang tua ini." Azhari tentu yang diharapkan adalah kehamilan Farisha segera. Dan juga bisa melihat anaknya melahirkan seorang anak bersama Usman.     

Farisha melepaskan pelukan ibunya dan bersama suaminya, ia meninggalkan ibunya. Ia berjalan beriringan dengan Usman yang juga sudah merasa sangat lelah hati ini.     

Azhari menatap kepergian keduanya dengan mengulas senyum. Walau banyaknya orang mencibir keluarga itu, ia tetap tegar mendengarkan sesuatu yang membuat panas telinga dan panas hati.     

"Akhirnya ibu sendirian. Bagaimana mungkin ibu sudah melahirkan kamu, tidak terasa kamu sudah menikah dengan pilihan kamu itu, Nak. Ibu akan selalu ada untukmu. Dan kini ibu hanya seorang diri karena kamu sudah menikah. Heh, tapi tidak apalah–"     

"Eh Tante, aku kan masih ada. Apa aku bukan merupakan orang juga, hemm?" celetuk Bram yang tidak terima karena tidak dianggap. "Aku bahkan sudah menunggu lama anak Tante. Tapi kenapa dia malah memilih orang seperti itu? Bukankah dia sangat tidak berperasaan? Aku siap untuk menjadi serepnya dia bocah kunyuk itu, Tante. Apa boleh kalau aku selalu menjaganya? Walau aku tidak memilikinya seutuhnya, melihat Farisha bahagia, aku juga turut berbahagia, Tante," ungkap Bram yang memegang tangan Azhari.     

Azhari merasa risih dengan perlakuan Bram. Di usianya yang sudah setengah abad lebih, masih tidak percaya kalau ada seorang pria yang memegangnya dengan lembut.     

"Oh, Tante ... kenapa Tante juga sangat cantik dan juga seksi begini? Oh, tidak kalah dari anaknya. Kalau tidak mendapatkan anaknya, ibunya juga aku bersedia, Tante," goda Bram sambil mencium punggung tangan Azhari.     

Wanita itu melepaskan tangannya dari Bram yang kurang ajar padanya. Bahkan ia memukul tangan lelaki itu dam juga menampar pelan pipi yang dipenuhi dengan bulu halus itu.     

"Lepaskan! Kamu ini siapa, yah? Bukannya dari tadi kamu bersama dengan Usman? Tapi tante belum pernah melihat kamu sebelumnya. Apa kamu dari desa juga?" tanya Azhari. Setelah menampar Bram, ia tahu pria itu tidak membalasnya. Itu sudah cukup membuat lega. Tapi ia tetap takut, walau ia sudah tua, ia juga tidak berharap pada pria muda seperti Bram.     

"Oh, maafkan aku, Tante. Aku tidak bermaksud untuk menggoda Tante. Sebenarnya aku juga bukan teman baik dari Usman. Tapi dianya asik diajak berteman. Lagian aku sudah kenal Farisha sejak dulu. Aku bisa dibilang sebagai best friend dari anak Tante. Dan aku akan selalu ada untuk Farisha. Apa saja akan aku berikan untuk kebahagiaan Farisha."     

Azhari menggeleng pelan, tidak tahu harus bersikap seperti apa, mendengar curhatan pria itu. Bahkan Azhari tidak menanggapi serius perkataan yang membosankan dari Bram.     

"Namun karena dia sudah ada yang dicintai, aku bisa menerima dengan lapang dada. Aku juga percaya dengan Usman. Dia orang yang baik, Tante. Kuharap hidup bersama dengan orang baik, nasibnya juga akan baik juga," pungkas Bram. Menatap kepergian Farisha dan Usman yang terhalang tembok.     

Azhari mendengar penuturan Bram tanpa ia dengarkan seksama. Wanita itu memiliki pemikiran yang lain dengan Bram. Ia hanya ingin Farisha bisa dijaga dengan baik dan hidup dengan damai bersama Usman. Walaupun umur mereka terpautnya cukup jauh. Dimana Usman yang baru berusia dua puluh tahun sementara anak perempuannya sudah berusia tiga puluh tahun. Yang berarti mereka terpaut sepuluh tahun. Dan sang wanita yang lebih tua.     

"Kamu masih akan berada di sini atau mau segera pulang? Ini sudah malam dan kami tidak menyewa kamar lebih. Kami hanya menyewa dua kamar saja. Dan tante tidak mau berbagi kamar denganmu!" tegas Azahari yang langsung meninggalkan pria itu.     

Bram terbengong mendengar wanita paruh baya itu berbicara. Kalau dilihat dari segi seorang pria, Azhari juga cukup menggoda baginya. Jika usianya lebih muda saja, mungkin dirinya akan suka dengan wanita itu.     

"Oh, kenapa anak dan ibu sama-sama menggoda? Oh, itu goyangan pinggul saat berjalan, bagaikan seekor bebek mandarin yang berjoged ria, menunggu tusukan dari sebuah pusaka sakti mandraguna." Sambil melihat Azhari dari belakang, tangannya juga ia julurkan ke depan dan ia lengkungkan untuk membentuk bentuk tubuh wanita setengah abad itu.     

***     

Usman bingung harus melakukan apa. Malam ini adalah malam pernikahannya dengan Farisha. Bagaimana ia menjalani pernikahan pura-pura itu dan harus berbagi tempat tidur pun mereka tidak mungkin. Lelaki itu melihat kamar yang terlampau indah dan ukurannya cukup besar. Dan bisa digunakan untuk berkuda di malam yang semakin larut tersebut.     

"Hei, kamu kenapa, Usman? Ada yang salah atau bagaimana?" tanya Farisha yang melihat wajah lesu suami pura-puranya. Walau secara hukum dan agama sudah sah sebagai pasangan suami-istri.     

"Emm ... tidak Tante. Anu ... apa nggak ada kamar lainnya lagi? Ini bagaimana, yah?" tanya Usman bingung. Ia berpikir sejenak dan mengatakan, "Apa aku tidur di bawah, Tante yang di atas saja, gimana?"     

Farisha tidak menjawab pertanyaan Usman. Ia malah tidak perduli apa. Karena baginya, Usman bahkan tidak akan berani macam-macam kalau tidur satu ranjang berdua. Ia duduk di pinggir tempat tidur dan melepaskan gaunnya. Ia merasa kesulitan karena itu harus dibuka dari belakang.     

"Eh, Usman! Kamu bantuin untuk melepaskan gaun ini! Ini sangat menyiksaku dari tadi. Mana ini kekecilan, dadaku sesak karena ruang untuk ini sangat ngepres," tuturnya sambil memegang dadanya yang berbentuk bulat itu.     

Usman menggelengkan kepalanya, menolak untuk tergoda. Namun ia adalah lelaki yang normal. Ia menelan salivanya ketika melihat pemandangan itu. Ia tidak tahu apa ini rasanya. Tapi ia melihat Farisha membelakangi dirinya. Bermaksud untuk menyuruh Usman untuk melepas gaun yang Farisha pakai.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.