Tante Seksi Itu Istriku

Dibawa Oleh Bram



Dibawa Oleh Bram

0Bram tidak menyangka, Farisha akan melakukan itu. Hatinya kini terbakar cemburu melihat mereka berdua berciuman. Sementara Usman, masih menahan kekagetannya. Ia masih belum percaya, dirinya mendapatkan ciuman pertamanya dari wanita paling cantik yang pernah ditemui.     

"Tidak ... kalian tidak mungkin melakukan ini, kan? Kenapa? Kenapa begini? Ya Tuhan ... aku hanya ingin bersama denganmu, Farisha. Tapi aku tidak perduli, walau sakit! Walau ini terasa pahit untukku! Aku akan tetap bertahan demi keutuhan cinta kita. Biarlah aku rela asalkan engkau bahagia."     

Farisha melepaskan ciumannya dengan Usman. Wanita itu tersenyum menyeringai, yakin kalau pria itu akan segera pergi. Karena dengan cara ini, ia harap bisa terlepas dari Bram ataupun pria-pria lainnya. Maka ia sekarang sudah punya solusi untuk mengusir para lelaki yang mengejarnya.     

"Hemm, bagaimana? Apa kamu percaya kalau aku akan menikahi Usman?" tanya Farisha senang. Walau rasanya berbeda dengan orang yang sering melakukannya bersamanya.     

"Oh, tidak. Tidak mungkin, Farisha ... kamu–" Bram tidak bisa berkata apa-apa lagi. Karena kecewa, ia meninggalkan tempat itu.     

Usman tidak tahu rasanya akan mendebarkan sekali. Ini adalah sesuatu yang sangat bersejarah untuknya. Ia ingin mengabadikan ciuman pertamanya. Ia akan selalu mengingat dalam hatinya. Tidak tahu, ini adalah ciuman terakhirnya atau bukan. Tapi ia bisa memastikan, ini adalah ciuman pertama bagi Usman.     

"Ta-ta-tan-te," lirih Usman terbata. Ia menyentuh bibirnya yang memerah karena lipstik dari Farisha menempel di bibirnya juga. "Ke-ke-kee-na-pa ...."     

"Kamu kenapa, Usman? Apa kamu nggak suka aku cium? Jangan salah sangka dulu! Aku menciummu bukan aku menerima lelaki untuk ku percaya. Tapi karena ingin membuat lelaki lain pergi dariku! Jadi, jangan kamu berharap lebih!" tegas Farisha.     

Usman mundur beberapa langkah ke belakang. Walau bagi Farisha hanyalah sebuah kebohongan, ciuman itu nyata adanya. Pemuda itu merasakan itu adalah kenyataan. Bukan hanya semu belaka.     

"Kamu tutup pintunya! Ini sudah sore, kamu istirahat!" perintah Farisha kepada karyawannya. Karena sudah tidak ada orang lagi, ia ingin segera pulang ke rumah untuk beristirahat.     

Dengan perasaan yang mendebarkan itu, Usman menutup rolling door. Ia tutup sampai rapat karena Farisha juga sedang berberes di tempat kasir. Usman lalu menghampiri wanita itu dengan badan yang gemetar.     

"Sudah selesai? Kenapa gemetar seperti itu? Apa kamu sakit? Kalau sakit, kamu pergi ke dokter! Atau mau beli obat? Ini, buat kamu beli obat dan untuk beli makanan!" Farisha mengulurkan selembar uang berwarna merah itu kepada pemuda yang lebih pendek darinya itu.     

"Te-terima kasih, Tante," ungkap Usman yang menerima uang itu. Ini lebih cukup karena uang itu sangat banyak baginya.     

"Kamu mau beli apa saja terserah! Aku pulang dulu, yah! Jangan lupa bereskan semuanya! Aku tak mau swalayan ini kotor karena kamu malas," tandas Farisha yang meninggalkan meja kasir.     

Setelah memberikan uang untuk Usman, wanita itu keluar dari swalayan. Ia membuka sedikit rolling door hanya sekedar untuk keluar. Berjalan menuju ke mobilnya. Namun ia tidak menyadari ada sepasang mata yang masih mengawasinya.     

"Apa kamu benar, akan menikah dengan anak burik itu, Farisha? Apa aku bisa terima, anak buluk itu sebagai saingan terberatku? Ah, rasanya tidak mungkin juga, anak ingusan seperti dia, menjadi suami dari orang seperti Farisha."     

Karena tidak percaya dengan ucapan Farisha, Bram harus mencari tahu kebenarannya. Ia sudah menunggu sampai wanita itu pergi. Setelah orang yang ditunggu pergi, ia pun masuk ke dalam swalayan itu. Untungnya rolling door itu belum dikunci. Usman juga keluar dari dalam swalayan.     

"Hei, mau ke mana?" tanya Bram yang kaget melihat Usman keluar. Ia mundur beberapa langkah karena kagetnya.     

Melihat seorang yang selalu mengejar-ngejar Farisha di hadapannya, Usman juga merasa takut. Dengan badan yang besar dan tinggi. Fisik dari lelaki itu berada di level yang di atas Usman. Tentu ini bukan hal yang mudah bagi anak muda itu untuk menghindar.     

"Aku tanya sekali lagi, kamu mau ke mana?" tanya Bram geram. "Ini anak, ditanya malah nunjukin muka jelek begitu. Sudah jelek, malah mencoba dijelek-jelekin lagi. Aku ada urusan denganmu! Ayo kita bicara sambil makan!"     

Bram merangkul pundak Usman, membuat pemuda itu hanya bisa menurut. Berhati-hati agar tidak diperlakukan buruk tapi tetap mencoba untuk tegar dalam segala situasi dan kondisi.     

"Ayo masuk ke mobilku! Aku tidak percaya begitu saja, Farisha mau menikahimu. Jadi kamu harus menjelaskan sebenarnya, apa yang terjadi!" tegas Bram yang membuka mobilnya agar Usman masuk ke dalam mobilnya.     

Niat hati keluar ingin membeli lauk untuk makan, malah membuat Usman terjebak dalam posisi seperti saat ini. Duduk di samping Bram, yang merupakan seorang pria kaya, orang yang juga menyukai Farisha itu. Dirinya tidak tahu nasibnya akan seperti apa nantinya. Walau merasa takut dalam dirinya, sebagai seorang lelaki, yang harus tegar menerima setiap cobaan.     

"Maafkan aku kalau ada salah. Tapi aku tidak tahu apa-apa. Tolong biarkan aku hidup dengan tenang. Aku tidak berniat untuk membuatmu marah. Maafkan aku." Usman tahu, pria di sampingnya membawanya karena masalah tadi di swalayan. Sungguh rasa takut semakin terasa. Semua menjadi ketegangan yang luar biasa.     

"Hei, aku tidak mau apa-apain kamu! Apakah aku orang yang sejahat yang di pikiranmu? Aku pria yang terhormat dan tidak asal menganiaya orang lemah sepertimu! Aku hanya ingin berbicara denganmu! Karena lapar, makanya kita bicarakan ini di tempat makan saja."     

Usman merasa lega karena Bram sudah mengatakan hal demikian. Pemuda dua puluh tahun itu menghela nafasnya panjang. Sudah merasa sedikit lega setelah mendapat pernyataan seperti itu.     

"Heh, ini sudah sampai. Kita akan membicarakan ini sebagai seorang lelaki sejati. Aku tidak percaya begitu saja pada Farisha yang akan menikah denganmu. Kalau dilihat dari penampilan, kamu tidak akan pernah cocok dengan Farisha."     

Bram keluar dari mobil dan diikuti oleh Usman. Pria dewasa itu merangkul pemuda yang masih terlalu muda itu menuju ke dalam restoran. Orang-orang yang melihat keduanya merasakan perbedaan yang begitu nyata. Terlihat seorang lelaki tampan dan tinggi membawa seorang bocah pendek dan dekil. Walau penampilan Usman sekarang tidak seburuk saat pertama kali datang ke kota. Dulu lebih burik dan begitu dekil. Apalagi badan pendeknya yang membuatnya tidak percaya diri.     

Keduanya masuk dan duduk di salah satu tempat yang kosong di pojokan dekat dengan pintu keluar. Mereka bisa melihat keadaan luar restoran.     

"Mas, mau pesan!" panggil Bram pada seorang pelayan restoran. Ia melambaikan tangannya, yang membuat orang itu datang menemuinya.     

"Silahkan, Kak. Selamat sore, selamat datang di restoran kami. Ada yang bisa dibantu, mau pesan apa? Biar saya catat pesanannya," tutur sang pelayan restoran dengan ramah sambil menyerahkan daftar menu.     

"Aku mau yang ini ... terus yang ini dan ini. Lalu minumnya yang ini saja! Dan tolong jangan pakai lama, yah! Karena aku sudah sangat lapar," tandas Bram. Lalu ia melihat ke arah Usman untuk mulai pembicaraan.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.