Tante Seksi Itu Istriku

Wanita Yang Menghina



Wanita Yang Menghina

0Sore itu juga, Farisha membawa Usman kembali ke swalayan. Di dalam mobil hanya ada dua orang, membuat lelaki itu terdiam kikuk di samping wanita seksi itu. Sementara ia melihat ke arah leher Farisha yang memiliki sebuah tanda merah. Tapi tidak berani untuk mengatakannya.     

"Kamu lihatin apa?" tanya Farisha yang menyadari gerak-gerik pemuda di sampingnya. Ia sesekali melirik pada Usman.     

"Eh, enggak ada apa-apa, Tante. Mungkin hanya perasaan Tante sendiri, mungkin," elak Usman. Lelaki itu tidak mau ketahuan dan tidak ingin wanita itu tahu apa yang ada di dalam benaknya.     

"Oh, baiklah kalau begitu! Tapi kalau ada sesuatu, lebih baik kamu untuk jujur saja! Aku tidak mau kamu melakukan hal-hal yang mencurigakan. Oh, iya ... kamu sudah kasih KTP kamu ke ibu atau belum? Dia yang akan mengurus ke pak RT untuk membuat surat pengantar."     

"Aku sudah memberikan pada Tante seminggu yang lalu, kan? Aku sekarang saja nggak bawa KTP punyaku, lah," ungkap Usman yang mengingat kejadian itu.     

Saat seminggu yang lalu, Farisha yang diperintahkan oleh Azhari untuk meminta kartu tanda penduduk milik Usman. Dan Usman juga sudah memberikan itu. Namun entah mengapa, Farisha yang melupakannya sama sekali. Setelah Usman memberitahukannya, baru Farisha ingat.     

"Oh, iyakah? Kenapa sampai lupa? Tadi ibu bertanya lagi padaku. Ya ampun! Aku lupa, aku menaruhnya di laci kasir! Ya sudah, nanti kita ambil saja! Kalau pernikahan batal, aku tidak apa-apa. Tapi ya aku mungkin akan terus-terusan dijodohkan."     

Farisha mengendarai mobilnya dengan cepat agar segera sampai di swalayan. Usman pun hanya diam tanpa berkomentar. Hanya berpikir, ternyata orang kaya juga bisa lupa. Pemuda itu melirik ke arah Farisha, kembali terlihat warna kemerahan itu masih terlihat. Namun Farisha tidak menyadari sama sekali dan cuek.     

Mereka saling diam hingga sampai di swalayan. Segera turun setelah mobil terparkir. Banyak orang yang lewat berharap swalayan itu buka. Itu sebabnya ketika mereka baru datang, banyak orang yang bertanya.     

"Kak, kenapa ini swalayannya tutup? Kami ingin belanja! Bisakah buka sebentar saja?" pinta salah satu orang yang menjadi langganan. Seorang wanita muda yang kesehariannya menjadi asisten rumah tangga.     

"Iya, Mbak. Kalau terus-terusan nggak buka, jangan salahkan jika kita ke tempat lain yang lebih jauh. Walau harganya lebih mahal, yang penting selalu on time," keluh seorang wanita paruh baya.     

"Oh, maaf-maaf, Kakak-kakak. Kalau gitu, mari kita masuk dulu! Tapi maaf kalau di dalam berantakan. Maklum, ini tadi lagi ke butik dan toko perhiasan. Do'akan saya dan calon suami saya, semoga lancar, yah," ungkap Farisha, menarik tangan Usman.     

"Beneran ini calon suaminya, Mbak? Apa nggak salah? Ya sudah, Mbak, kalau gitu, semoga baik-baik saja." Wanita paruh baya itu menatap sinis ke arah Usman.     

Dalam hati Usman berkata, 'Salahku apa? Kenapa mereka menatapku dengan pandangan seperti itu?' Namun ia menyadari dirinya yang jelek itu. Tidak pantas jika disandingkan dengan wanita cantik seperti Farisha.     

"Kakak ini pasti bercanda. Nggak mungkin lah, menikah sama pegawainya sendiri. Kalaupun mau menikah, itu ada yang sering ke sini! Aku melihatnya, kok. Orang yang tinggi tampan dan membawa mobil keren."     

Hai Usman semakin terasa tercabik-cabik. Bayangkan saja, bagaimana rasanya jika dirinya dihina secara fisik. Memang secara fisik dia tidak setampan dan sebagus orang-orang. Dirinya juga dari keluarga miskin yang tidak punya mobil ataupun kendaraan lain.     

"Ayo kita masuk saja!" ajak Farisha tanpa perduli dengan nyinyiran orang yang menjadi langganannya. "Nanti aku hanya buka sebentar dan mau pulang ke rumah," pungkasnya.     

Meski agak kecewa, para wanita itu pun merasa lega. Setidaknya bisa menghemat uang mereka yang diberikan oleh majikan. Sedangkan jika membeli di tempat lain, mereka bisa rugi walau selisihnya hanya lima sampai sepuluh persen.     

Usman membuka rolling door yang menutupi pintu kaca swalayan. Hanya dibuka sedikit saja karena memang tidak akan buka lama. Di dalam terlihat gelap dan segera saja Usman dengan cekatan menghidupkan lampu. Walaupun mendapatkan hinaan, ia harus bekerja secara profesional. Harus melayani para pengunjung yang datang.     

"Eh, Mas. Sebenarnya kamu kasih pelet apa sama bosmu? Masa iya, orang secantik dan kaya seperti dia, mau sama kamu? Aku saja yang nggak kaya dan nggak cantik-cantik amat, nggak mau sama kamu! Kamu kan jelek!" hina wanita muda itu.     

Usman ingat dengan wanita yang dulu pernah datang waktu pertama kali kerja. Wanita yang mengatakan tidak mau lagi ke swalayan itu kalau ada Usman. Namun kenyataannya wanita muda itu tetap ke swalayan itu. Tapi Usman hanya diam saja tanpa berbicara atau mengungkit masa lalu. Hanya tatapan sinis yang Usman layangkan pada wanita itu.     

"Ngapain melotot padaku? Kamu nggak suka aku bilang begitu, hah? Kalau kamu nggak suka, ya itu hidup kamu! Aku sih tidak perduli denganmu, yah! Mau terhina atau tidak, memang kamu itu dasarnya jelek dan miskin."     

"Eh, Neng. Kenapa sih, kamu pedes-pedes ngomongnya? Kasihan ini juga anak orang. Orang yang mau menikah, kok kamu yang repot?" celetuk wanita paruh baya yang datang menghampiri wanita muda mulut pedas itu.     

"Biarin lah, Bu. Aku hanya nggak suka saja ngeliatnya. Mukanya itu loh, ngeselin banget. Siapa orangnya yang suka dengan laki-laki seperti dia? Atau mungkin ini anak pakai ajian jirep kali yah, Bu."     

"Ya Allah, Neng. Kejam amat ngomongnya. Sudahlah ... kita belanja saja, lah. Ngapain ngatain orang terus? Kamu harus cepat balik, kan? Ibu juga sudah terlambat karena nunggu sampai setengah jam. Sudah mondar-mandir nggak buka juga."     

Mereka pun meninggalkan Usman. Walau hatinya kacau hari ini, ia harus tetap bertahan. Kalaupun hanya cacian yang ia terima dari orang-orang, ia harus menerima dengan lapang dada. Ia tahu dan merasa kalau dirinya jelek. Tapi karena itulah yang membuat Usman menjadi calon suami Farisha.     

"Kenapa hidupku selalu seperti ini? Apa salah dan dosaku ini yang hanya orang biasa? Aku juga manusia, 'kan? Mengapa hidupku ini seperti ini? Apa aku harus menjadi bahan hinaan terus? Kalau ganteng, aku juga ingin menjadi ganteng. Kalau kaya, aku juga mau kaya. Aku juga mau menjadi orang yang pintar," tutur Usman dengan lirih. Menghadap ke atas, berharap dirinya akan diangkat derajatnya.     

Yang bisa dilakukan olehnya adalah bersabar. Ia tahu hanya dengan bersabar, ia menjadi orang yang kuat. Dari dulu ia sering mendapatkan hinaan dari orang-orang. Ia juga membiarkan saja semua itu.     

Sementara dua wanita berbeda generasi itu sedang memilih barang belanjaan masing-masing. Sedangkan Usman mengawasi dari kejauhan. Ia tidak ingin karena mengawasi, ia dihina kembali. Maka ia hanya melakukan pengawasan tersebut dari jauh.     

Tidak hanya dua orang itu saja. Ada seorang lelaki yang dari dulu sering datang hanya untuk menggoda Farisha. Lelaki itu sampai sekarang belum tahu kalau Farisha dan Usman akan menikah. Jadi Bram masih datang dan pergi sesuka hati.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.