Tante Seksi Itu Istriku

Memeluk Gaun Pengantin



Memeluk Gaun Pengantin

0Tiga puluh menit Farisha mengendarai mobilnya. Menuju ke rumah besar yang berada di perumahan elit. Sebuah komplek yang di dalamnya hanya ada orang-orang yang hidupnya berkecukupan yang bisa tinggal di tempat itu. Kecuali kalau bekerja sebagai seorang pembantu atau penjaga kebun atau rumah. Ada tukang bersih-bersih dan pekerjaaan lainnya.     

"Kamu bisa istirahat dulu di kamar, Usman! Nanti sore saja aku antar kamu ke swalayan! Soalnya males banget hari ini mau buka swalayan. Kamu juga belum bisa jadi kasir."     

"Iya, Tante," ucap Usman keceplosan. Padahal ada Azhari yang mendengarnya. "Eh, Farisha ... anu, maafkan aku," tuturnya menyesal.     

"Kamu kalau memanggil nama sama Farisha, kayaknya susah, Usman. Ya terserah kamu saja, mau panggil tante, orang Farisha nya juga sudah tua, iya kan Farisha?" goda Azhari.     

Yang digoda hanya menganggukkan kepalanya. Karena sudah dari awal Usman memanggil dirinya sebagai tante. Dirinya mengakui kalau sudah tua dan tidak seharusnya menjadi seorang remaja lagi. Walaupun hidup waktu masa anak-anak atau remajanya, tidak ada kenangan terindah.     

Pintu gerbang segera terbuka ketika mobil itu di depan rumah mewah itu. Seorang penjaga yang siaga setelah melihat tuannya kembali ke rumah. Farisha membawa mobilnya masuk ke dalam. Penjaga itu memberi hormatnya dengan mengangkat tangannya.     

"Terima kasih, Pak," ungkap Azhari pada penjaga gerbang tersebut. Tidak seperti Farisha yang cuek terhadap orang lain, Azhari tidak pernah menelantarkan pekerja di rumahnya. Ia akan selalu memberi sapaan sederhana.     

"Iya, Bu, sama-sama. Selamat siang," balas pria itu dengan sebuah senyuman. Setelah mobil itu masuk, penjaga gerbang itu pun menutup pintu kembali.     

Farisha memasukan mobil ke dalam garasi. Ia lalu keluar dari mobil setelah sampai di dalam garasi. Ketiganya keluar dengan barang-barang belanjaan yang dibawa oleh Usman. Lelaki itu sebenarnya kerasan tinggal di swalayan karena bebas. Tetapi kalau berada di rumah besar itu, ia takut terjadi sesuatu kembali. Seperti perlakuan Benny padanya. Untuk itu, Usman berusaha untuk tidak macam-macam. Harus menghindari calon mertua lelaki.     

"Kamu antar barang-barang itu ke kamar ibu saja, Man. Ayo ikuti ibu!" ajak Azhari pada Usman. Ia melihat pemuda itu mengangguk. "Kamu anggap saja ini rumah kamu sendiri. Lagian sebentar lagi kamu akan menjadi anggota keluarga ini."     

Lelaki itu menuruti perintah Azhari. Wanita itu membawa calon menantunya ke dalam kamarnya. Sebenarnya ia juga bisa membawanya sendiri. Tapi ia hanya ingin menggoda lelaki itu. Azhari membuka kerudungnya. Menampakan rambutnya yang hitam tanpa uban. Dan yang paling tidak tertahankan, tubuh wanita itu masih terlihat menggoda iman. Bagaimana tidak, wanita itu memakai pakaian yang memperlihatkan belahan dadanya. Meski tak sebesar Farisha, tetap membuat Usman tertegun.     

Untuk menghindari semuanya, lelaki itu pun memalingkan wajahnya untuk tidak melihat Azhari. Ia takut dirinya tidak bisa menahan pertahanannya lagi. Maka akan hancurlah reputasinya sebagai seorang pemuda yang baik hati.     

"Hei, kenapa kamu memalingkan wajah kamu? Apa kamu tidak mau melihat ibu? Oh, karena ini?" tanya Azhari yang menyadari kesalahannya sendiri.     

Usman masih memegang kantong belanjaan yang berisi gaun pernikahan dan pakaian nikah lelaki. Tidak bisa dipungkiri, wanita paruh baya itu masih memiliki daya tarik bagi seorang pemuda seperti Usman.     

"Apa kamu bisa bernafsu sama calon mertua kamu sendiri? Padahal ibu ini sudah tua, loh. Coba sini, tatap wajah ibu! Jadi lelaki itu harus jantan! Kalau klemer-klemer seperti itu, siapa yang mau menikahimu? Sebelum menikah dengan anakku, ibu mau ngetes kamu, apakah kamu sudah menjadi lelaki yang jantan atau belum?"     

"Glek!" Usman menelan salivanya sendiri. Ia tidak berani melihat ke arah mertuanya. Tidak tahu akan seperti ini, andaikan tahu, dirinya tidak akan mau masuk ke dalam kamar itu. "Eh, maaf. Maaf, Bu. Tapi aku tidak berani. Ini dosa besar. Nggak boleh begitu," cecar Usman.     

Azhari tersenyum melihat kepolisan pemuda itu. Dirinya juga tidak mungkin melakukan hal yang tidak senonoh itu. Walau di usianya yang lebih dari setengah abad itu bukanlah wanita muda lagi. Ia cocoknya menggendong seorang cucu yang cantik atau ganteng dari anaknya.     

"Ya sudah, kamu taruh saja pakaian itu di lantai. Lihat calon mertuamu sendiri saja nafsu. Padahal ibu sudah tua, Usman ... Usman, ckckck," decak Azhari sambil menggelengkan kepalanya.     

Dengan tubuh yang bergetar, pemuda itu meletakan tas belanjaan itu di lantai tanpa menatap Azhari. Walau itu calon mertuanya, ia tidak bisa melakukan ini. Ia tidak boleh memiliki hasrat padanya.     

"Bu, aku keluar dulu, yah," tandas Usman. Ia meninggalkan ruangan itu dengan berdebar-debar. Tidak tahu kalau dirinya menatap sang mertua itu. Mungkin akan menjadi hal yang buruk terjadi padanya.     

Azhari malah tersenyum senang, melihat calon menantunya. Ia berhasil menggoda pemuda itu, membuat perasaannya senang.     

"Andaikan aku masih muda, mungkin mau juga jadi suami kamu, Usman. Namun umurku sudah seperti ini. Pantasnya sudah menjadi nenek-nenek."     

Setelah kepergian Usman, Azhari mengambil pakaian yang baru dibelinya. Ia bahagia, akhirnya putri satu-satunya akan segera menikah. Ia peluk gaun pengantin itu erat. Hanya pada putrinya ia berharap hidupnya akan bahagia, tidak mengikuti jejaknya yang memiliki suami kejam dan tidak tahu diri.     

"Usman memang beda sifatnya sama mas Benny. Jauh sekali perbedaan sifat mereka. Walaupun Benny adalah pria yang tampan dan gagah, ia tidak memiliki hati yang sebaik Usman. Bukan karena rupa, orang akan bahagia. Bukan karena harta dan ilmu, yang membuat kesuksesan. Tetapi perlu yang namanya sikap yang baik serta tanggung jawab. Lelaki itu seharusnya memiliki rasa tanggung jawab kepada wanitanya. Bisa membawa ke dalam hidup yang aman dan bahagia. Semua itu ada pada Usman."     

Azhari duduk termenung di tempat tidurnya, masih memeluk gaun pengantin putrinya. Sebentar lagi harapannya akan menjadi kenyataan. Ia akan memiliki menantu yang baik. Yang ia gadang-gadang akan membawakan kebahagiaan kepada keluarganya.     

"Apa aku harus menuruti permintaan Farisha? Apa aku bersalah, jika meminta perceraian? Apa aku menjadi wanita yang bebas, akan membuat hidupku tenang? Toh, selama ini, mas Benny tidak pernah memberikan nafkah batin padaku. Dia hanya memanfaatkan aku saat masih muda dulu."     

Ia mengingat bagaimana suaminya meninggalkan dirinya saat sedang mengandung. Ia sudah tidak pernah disentuh lagi ketika mengetahui dirinya mengandung Farisha. Bahkan setelah Farisha lahir di dunia, ia tidak mengapa hak sebagai seorang istri. Keinginan menggebunya ia tahan-tahan hingga ia sempat menyeleweng. Membuatnya terjatuh ke dalam dosa. Walau hanya sekali dua kali, ia melakukannya atas dasar membutuhkan belaian seorang pria. Yang tidak bisa didapatkan oleh suaminya.     

Setelah suaminya mengetahui dirinya juga selingkuh, Benny memanfaatkan kesempatan itu untuk menjatuhkan harga dirinya. Ia menuding dirinya yang berbuat serong. Padahal Benny sendiri yang memulainya. Serta ia tidak mendapatkan haknya semenjak dirinya mengandung. Dan lebih memilih wanita muda yang masih segar. Walau tubuh dan wajahnya tidak lebih sempurna darinya, yang istri sahnya.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.