Tante Seksi Itu Istriku

Lelaki Sama Saja



Lelaki Sama Saja

0  Tanpa merasa bersalah dan cenderung senang, Chandra meninggalkan Farisha dan Usman. Bagaimana tidak, dirinya sudah memukuli orang saat itu. Kini hanya ada kepuasan tersendiri dalam hatinya.     

  "Wah wah wah ... today I am very happy. Kapan lagi bisa mukulin orang tanpa merasa bersalah begini? Huahaha!" tawa Chandra di tengah kerumunan orang.     

  Hal itu membuat orang-orang menganggapnya gila. Walaupun berpakaian dan berpenampilan seperti seorang berpendidikan dengan tinggi semampai. Membuat orang-orang tergoda akan semua itu.     

  "Kamu tidak apa-apa?" tanya Farisha pada Usman karena khawatir. "Kamu kalau nggak bisa berantem, nggak perlu belain aku! Lagian aku sudah biasa dipukuli dan diperlakukan tidak benar. Semua lelaki memang brengsek! Kuharap kamu tidak menunjukkan kebrengsekanmu di depanku!"     

  Pemuda itu hanya menelan salivanya. Bukannya ditolong, malah dikatai deperti itu. Padahal dirinya sudah berusaha menolong Farisha dari tangan pria yang tidak dikenal itu.     

  Tidak ada yang tahu bagaimana harus memperlakukan Usman dan Farisha, orang-orang itu meninggalkan mereka. Tidak perduli dengan sesuatu yang bukan urusannya. Sementara Azhari yang melihat Usman, memapahnya untuk berdiri.     

  "Kamu jangan begitu, Nak. Bagaimanapun Nak Usman itu calon suami kamu. Kamu nggak boleh memiliki pemikiran seperti itu lagi, hemm. Ayo berdiri, Nak Usman!"     

  "Makasih, Bu. Aku bisa sendiri, maafkan aku yang tidak bisa menjadi pelindung bagi Farisha, Bu. Aku memang lemah," ungkap Usman menunduk.     

  "Ibu tidak ingin memiliki menantu yang jago berkelahi, Usman. Melihat kamu sudah berusaha melindungi anakku saja sudah bahagia hatiku. Mungkin kamu hanya perlu jaga diri lagi ke depannya," pungkas Azhari sembari tersenyum.     

  "Ya sudah, kita pergi saja dari sini! Kamu jangan manja sama ibuku! Dan jangan sok ambil muka! Muka kamu sudah jelek, nggak ada juga yang mau perduli sama kamu!" ketus Farisha.     

  Bukan yang diinginkan oleh Farisha, mengatakan itu. Ia masih perduli dengan Usman. Namun ia tidak ingin menunjukkan kepeduliannya. Jujur, ia tersentuh dengan sikap heroik dari calon suami pura-puranya. Walaupun tubuhnya lemah, masih mau membela dirinya.     

  Sebuah nilai lebih, seorang lelaki yang berani membela wanitanya. Walau tidak memikirkan dirinya sendiri yang serba kekurangan. Farisha ingin Usman menjadi lebih kuat lagi. Ia ingin seorang yang jujur dan memiliki kekuatan. Entah itu ilmu bela diri atau menjadi orang kaya. Ia harus mewujudkan keinginannya sendiri untuk pemuda itu.     

  "Kamu orang miskin, orang jelek dan tidak ada daya tarik bagi wanita! Untuk memikat wanita, minimal kamu harus menjadi kaya! Lupakan tentang tampang kamu yang biasa itu! Dengan menjadi kaya, kamu nggak akan mengalami hal seperti tadi! Nggak akan dicuekin oleh orang lain. Karena hampir semua orang menganggap kamu kalau kamu orang kaya!"     

  Usman mengangguk setuju. Ia memang harus menjadi orang kaya, yang bisa membuat orang tidak berani padanya. Ia juga harus menunjukkan pada diri sendiri dan orang lain, dirinya bisa seperti yang sukses di kota besar itu dengan kemampuannya sendiri.     

  "Sekarang kita pulang saja, Farisha! Ibu tidak ingin lagi di sini! Rasanya ibu nggak tega kalau melihat kalian berdua. Ayo kita pulang saja! Urusan pernikahan, biar ibu yang akan menyuruh orang untuk mengurus sisanya," pungkas Azhari.     

  "Iya, Bu. Lebih baik kita pergi saja dari sini. Lagian kita sudah dapat apa yang kita mau. Itu orang nggak dikenal tapi seenaknya begitu," keluh Farisha, mengingat perlakuan Chandra. Ia menggenggam tangannya dengan kesal dan ingin membalas semua apa yang ia inginkan.     

  "Kamu jangan marah-marah, Nak. Cobalah untuk mengikhlaskan semuanya! Setidaknya kita tidak apa-apa sekarang, kan?" ujar Azhari memberi dorongan agar tidak menjadi wanita pendendam.     

  "Dia sama saja dengan Benny, Bu. Mana mungkin tidak dendam sama dia? Sudahlah ... nanti kita akan lihat ke depannya! Semoga dia nggak melakukan hal-hal yang membahayakan orang lagi. Aku benci dengan pria yang seperti itu."     

  Usman terdiam tanpa kata. Ia tidak tahu kebencian Farisha kepada lelaki sedalam itu. Namun ia juga kasihan dan perduli. Dirinya bertekad akan selalu menjaga wanita itu. Bagaimanapun caranya, walau harus mengorbankan dirinya sendiri.     

  ***     

  Mereka meninggalkan tempat perbelanjaan itu dan masuk ke dalam mobil. Farisha yang mengendarai mobil, sedangkan Azhari di sampingnya. Usman berada di jok belakang, duduk terdiam.     

  'Seandainya aku kaya, mungkin aku tidak akan dicuekin orang-orang itu. Dasar mereka orang kaya, nggak ada yang perduli nasib orang miskin sepertiku,' kata Hilman di dalam hati.     

  "Kita langsung saja pulang ke rumah, biarkan nak Usman istirahat dulu, Farisha. Dia mungkin tidak pernah mengalami hal itu. Tapi kamu harus pertahanan dia karena lelaki seperti dia, sulit dicari. Jangan mencari pria seperti ayahmu, tapi jangan selalu menganggap semua lelaki itu sama dengan ayahmu."     

  "Ayah? Sudah kubilang, aku nggak punya ayah! Ibu kenapa masih menganggap keparat itu sebagai suami? Dia hanya menjadi parasit dalam keluarga! Yang kerjanya main sama perempuan-perempuan muda."     

  Azhari tidak menampiknya, memang berulang kali Farisha mengatakan itu dan sering ia dikirimi foto Benny yang bermesraan dengan perempuan muda. Bahkan ada di antara mereka yang masih belasan tahun.     

  Farisha sudah berkali-kali meminta Azhari untuk menceraikan Benny dan membiarkan lelaki itu hidup menjadi gelandangan. Namun karena sifat lemah lembutnya, wanita berusia setengah abad itu tidak mau melakukannya.     

  "Setidaknya dia ayah biologis kamu, Farisha. Mohon kamu jangan bicara yang enggak-enggak tentang ayahmu. Memang dia bukan ayah yang baik dan selalu selingkuh terang -terangan dengan wanita yang lebih muda."     

  Usman mendengar itu merasa miris. Ia tidak ingin mendengar hal itu. Namun ia sudah mendengarkan secara langsung. Ia berjanji tidak akan seperti pria seperti itu. Karena orang itu memang jahat, menelantarkan istri dan anaknya untuk menikmati kehidupannya sendiri.     

  Usman tidak berani ikut campur urusan mereka. Karena ia bukan apa-apa, walaupun ia merasa prihatin. Pemuda itu hanya harus introspeksi dirinya sendiri. Sudahlah dirinya menjadi orang baik? Yah, sebelum mengatai atau membandingkan kebaikannya terhadap orang lain, ia lebih memikirkan bagaimana kalau dirinya lebih parah dari itu? Maka ia harus memiliki pondasi yang kuat untuk menjaga hatinya agar tidak masuk ke dalam kegelapan.     

  "Semoga dia akan segera bertobat. Dan semoga aku tidak seperti dia. Aku tidak bisa membayangkan kalau harus menyakiti perasaan wanita. Walau aku sendiri tidak tahu di mana ibuku. Atau bapakku, yang sampai sekarang aku tidak pernah melihatnya. Apakah sudah meninggal atau masih hidup sampai sekarang?" kata Usman dengan lirih.     

  Farisha hanya mendengar sedikit ucapan lirih Usman. Jadi ia tidak bisa mengatakan kesimpulannya. Sementara ia harus membawa mobilnya meninggalkan arus kendaraan padat. Siang itu terasa kendaraan bermotor yang memenuhi jalanan ibukota.     

  Asap dari kendaraan dan bisingnya suara, membuat perkataan Usman tidak bisa didengar oleh Farisha. Sementara Azhari melihat anaknya menyetir dengan perasaan kasihan. Hidupnya yang berlimpah harta, tidak serta merta menjadi keluarga bahagia. Ia menyesal tidak bisa membahagiakan semuanya. Baik suami atau anak perempuannya.     

  *** 


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.