Tante Seksi Itu Istriku

Hampir Sampai



Hampir Sampai

0Tak menunggu lama, pesanan sate pun datang. Tapi itu bukan untuk pasangan kita, Farisha dan Usman. Melainkan untuk pasangan muda-mudi yang saat ini sedang menikmati indahnya pacaran. Mereka saling suap dan saling memamerkan kemesraan di depan umum.     

"Permisi, Tuan dan Nyonya muda ... pesanan sate ayam sepuluh tusuk sudah siap. Dan selamat menikmati sajian dari kami," ungkap penjual sate dengan gaya bicara yang santai. Lalu ia melihat ke arah Farisha yang sedang menunggu Usman yang sedang membeli ayam krispi dan nasi. "Untuk Mbak dan Masnya yang di sana. Sabar dulu, yah! Pesanan untuk pengantin baru ini akan segera disiapkan!"     

Farisha mengacungkan jempolnya ke arah pria paruh baya itu. Dan satu lagi lelaki yang telah menghiburnya. Yang membuat dirinya harus benar-benar menghilangkan perasaan bencinya terhadap semua lelaki. Setelah ia bertemu dengan Usman, pemuda itu yang mengubah hidupnya. Dengan kesederhanaan hidupnya dan entah mengapa ia langsung percaya dengan orang yang baru ia kenal itu. Seperti ada dorongan dalam hatinya untuk bersama dengannya.     

"Terima kasih, Pak, kalau begitu," tandas Usman. Ia sudah mendapatkan nasi dan ayam krispi yang baru matang. Karena penjual itu baru buka dan harus menggoreng terlebih dahulu.     

"Sama-sama, Dek. Eh, ini kembaliannya belum!" Ia menerima uang lima puluh ribuan. Sementara harga yang harus dikeluarkan hanya tiga puluh ribu saja. Ia memberikan uang kembali pada Usman.     

"Iya, terima kasih, Pak." Ia bukan orang kaya yang dengan bebasnya menghamburkan uang. Maka ia menerima kembalian itu.     

Karena bosan di dalam mobil, Lukman memutuskan keluar. Ia mencari kios di seberang jalan. Ia merasa ingin merokok sambil menunggu Farisha dan Usman makan. Hembusan asap rokok yang mengepul, membuatnya merasa lega. Apalagi kalau sambil minum kopi. Tapi sayangnya ia belum sempat.     

"Ini kenapa panas sekali?" Sambil menyulut api di rokok batangan, ia melihat ke jalan yang mengepul.     

Di jalanan yang tidak begitu ramai, ada beberapa orang yang membuang air ke jalanan karena terkadang debu jalanan sampai ke makanan. Para pedagang sengaja membuang air untuk membuat debu itu tidak berterbangan ke arah makanan yang mereka jual.     

"Yoo ... satenya sudah siap, Mas dan Mbaknya yang cantik, selamat menikmati. Dan semoga malam nanti bisa membantu si Masnya biar lebih greng, wekawekaweka wekaka!" tawa pria paruh baya penjual sate itu. Walaupun sebagai seorang penjual sate dan usia tidak muda lagi, tetap ia menjadi orang yang gaul. Tidak kalah dengan anak muda.     

"Wah, Bapaknya ... bisa aja nih. Ayo, Sayang ... kamu mau aku suapin atau enggak?" tawar Farisha. Tapi tanpa menunggu, ia sudah mengulurkan sate ke mulut Usman. "Ayo, aaa!"     

Dengan malu-malu, Usman menerima sate itu dengan mulutnya. Hari-hari bersama dengan Farisha adalah hari-hari yang baik. Biarkan ia menikmati kebersamaan yang hanya kepalsuan belaka. Tapi nikmatnya adalah sungguhan, rasanya itu nyata.     

'Andai bisa setiap hari seperti ini. Tapi ini juga akan tetap menjadi kenangan yang tidak mungkin bisa aku lupakan. Tetima kasih, Tuhan. Engkau telah memberikan nikmat ini walau hanya palsu. Tapi rasanya ini adalah kenyataan,' ungkap Usman dalam hatinya.     

"Enak apa enggak? Ayo makan lagi yang banyak. Biar kata bapaknya, malam ini bisa lebih greng. Kamu mau segera menjadi seorang ayah, bukan?" Farisha juga tidak ingin ini hanya kepalsuan belaka. Ia berharap pemuda itu adalah suami yang sebenarnya. Dalam artian sebagai suami yang menemani seumur hidup. Tapi dirinya juga tidak boleh egois. Mungkin Usman akan menemukan kebahagiaan bersama wanita lain. Tapi harus membuat Usman kaya terlebih dahulu.     

"Sudah ... sudah, Sayang ... ini aku nggak bisa makan banyak-banyak." Dan kembali panggilan sayang itu terucap dari lidah Usman. Bukan sebuah panggilan biasa. Di kata sayang itu, tersimpan rasa sayang yang nyata.     

Niat mereka hanya makan sebentar saja. Namun itu berjalan selama satu jam yang membuat Lukman tidak sabar lagi. Ia menghampiri Farisha dan meminta izin dahulu kepada penjual sate itu.     

"Maaf, Non. Ini sudah satu jam makannya. Kita harus bergegas. Biar kita tidak kemalaman sampainya. Ini juga pasti di jalan akan macet. Jadi lebih baik kita berangkat sekarang?" Agak takut juga Lukman mengatakan itu. Tapi ia tidak punya pilihan lain agar perjalanan mereka segera sampai.     

"Eh, kita sudah lama, yah? Maafkanlah kami, Pak. Kalau begitu, kita harus meninggalkan tempat ini. Pak, sini deh. Makan satenya!" Farisha juga menyuapi sopir itu. Berharap pria itu merespon untuk memakannya.     

Benar-benar ini adalah kemajuan besar semenjak Farisha bersama Usman. Pria paruh baya itu menatap suami dari nona mudanya. Ia melihat wajah pemuda itu nampak biasa saja. Tidak ada aura khusus atau kharismatik. Tapi terlihat kesederhanaan dari pemuda yang lebih muda sepuluh tahun dari nona mudanya.     

"Eh, Non. Ini enak juga. Tapi kita harus segera berangkat. Maafkan aku, Non. Kalau mau anu ... ya ... tau sendiri, lah. Kalau mau mesra-mesraan seperti itu, lebih baik tunda dulu nanti kalau sampai di sana. Di sana hanya ada kalian berdua dan pasti punya banyak waktunya."     

"Emm ... bener juga katamu, Pak. Ya sudahlah ... ayo kita segera berangkat. Aku bayar dulu, yah! Kamu masuk ke mobil dulu, Sayang! Nanti kita lanjutkan mesra-mesraan di tempat kita bulan madu!" pungkas Farisha.     

"Iya, Sayang ... kalau gitu, maaf yah. Aku akan temani kamu sampai selesai. Hanya bayar sate saja, kan?"     

Lukman hanya menggelengkan kepalanya. Ia meninggalkan sepasang suami-istri yang baru menikah beberapa hari lalu. Ia juga malah ingin menjadi muda lagi dan menikah dengan istrinya saat ini. Tapi itu adalah yang dulu. Jika ia ingin, ia juga bisa sebenarnya. Hanya tidak ada istri bersamanya. Sepulang dari mengantar sepasang suami-istri itu, ia tentu akan bertemu dengan istrinya sendiri.     

Tak seberapa lama, Farisha dan Usman sudah berada di jok belakang sopir. Lukman membawamu mobil putih milik Azhari dengan kecepatan sedang. Walau sekarang jalanan lenggang, keselamatan adalah hal yang utama. Karena mereka mulai melati jalanan ekstrem. Membuat dirinya harus berhati-hati dalam menyetir.     

Berbeda dengan Farisha dan Usman yang sedang mesra-mesraan di belakang. Tentu itu mereka berdua menganggap sebagai sandiwara di depan sopir. Sang sopir hanya geleng-geleng kepala mendengar celetukkan dan gelak tawa yang mereka buat.     

"Eh, Pak ... apa kita masih jauh dengan tempat yang kita tuju itu? Kita akan ke pantai mana memangnya?" tanya Farisha yang masih penasaran. Karena ia juga tidak akan tahu sebelum datang ke sana. Azhari juga selalu merahasiakan tempat itu.     

"Kita akan segera sampai sebentar lagi, Non. Ini karena macet tadi, seharusnya kita sudah sampai satu jam yang lalu. Tapi ya sudahlah ... malam ini aku akan pulang malam-malam sendiri. Walau agak ngeri kalau jalan malam hari."     

"Lah, kenapa nggak nginap semalam saja, Pak? Besok pagi baru pulang ke rumah. Kalau bawa mobil malam-malam, jauh dan juga sudah capek. Jadi ya ... kita bersama melihat matahari tenggelam di pantai," usul Farisha.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.