Tante Seksi Itu Istriku

Membatalkan Perjodohan



Membatalkan Perjodohan

0Telah disepakati bahwa, Usman tidak akan pernah berniat melamar anak Bahar. Azhari dan juga Menik sudah berdiskusi bersama. Keesokan harinya, Rinto juga sudah menyewa pengacara dan juga polisi untuk mengamankan tidakan yang tidak diinginkan. Mereka mendatangi. Rumah Bahar dengan mobil yang mengantar dan diikuti para polisi di belakang bersama pengacara.     

Saat mendatangi rumah itu, mereka disambut oleh bawahan Bahar. Di sana juga banyak orang yang hendak berjualan cendol keliling. Mereka adalah warga sekitar yang bekerja untuk Bahar. Karena pemilik rumah memiliki banyak bodyguard, kedatangan Usman bersama Menik pun membawa pengaman di belakang. Nantinya Azhari dan Farisha akan menunggu di depan rumah. Maka mereka berada di belakang, membiarkan Menik dan Usman masuk ke rumah Bahar yang besar. Selain Usman dan Menik, Rinto juga menemani keduanya.     

"Assalamualaikum ..." ucap ketiganya, ketika berada di depan rumah yang besar itu. Mereka sebenarnya sudah melihat beberapa orang yang mondar-mandir dan banyak pekerja yang datang membawa cendol dengan motor atau dipikul.     

Karena di samping rumah Bahar adalah pabrik pembuatan cendol, membuat suasana ramai dan ada banyak pedagang yang mengambil atau membeli cendol tersebut. Saat mereka mengucapkan salam, dari dalam rumah keluar seorang wanita paruh baya. Seorang wanita yang bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga. Ia menjawab salam lalu mempersilahkan untuk masuk ke dalam.     

"Tunggu sebentar, akan ku panggilkan juragan di dalam. Silahkan duduk dulu, sembari menunggu. Saya akan buatkan minum, mau minum kopi atau teh?" tanya pembantu itu dengan sopan.     

"Teh saja, kayaknya, Bu. Terima kasih," jawab Menik. Karena suaminya tidak sanggup minum kopi dan Usman apa saja juga masuk. Sedangkan dirinya jarang minum seperti itu.     

"Baiklah ... mohon untuk menunggu. Juragan juga sudah menyuruhku menunggu kalian datang." Wanita paruh baya itu pamit ke dalam dan meninggalkan ketiga orang itu.     

Mereka duduk di sofa yang besar dengan Usman yang berada di tengah. Menunggu selama beberapa menit dan tak lama kemudian, Bahar keluar dengan pakaian santai. Dengan celana pendek dan kaos oblong. Ia buru-buru keluar saat tahu yang datang bertamu adalah Usman dan dua orang yang mengantarnya. Ketika ia keluar dari dalam, ia tidak melihat Kardi dan juga Warni. Tapi orang lain yang bersama pemuda itu.     

Selamat pagi, Pak Bahar. Perkenalkan, saya adalah Rinto, ayah dari Usman. Istri saya adalah ibu kandung dari Usman dan saat ini Usman juga sudah menjadi anakku." Rinto mempekenalkan diri pada pria yang baru datang dengan pakaian santai itu.     

"Jadi kamu bapak tirinya, bukan? Ya, tidak masalah kalau kamu yang mewakil si Kardi. Saya juga tidak begitu dengan orang itu. Kalau begitu, maksud kedatangan kalian, untuk melamar anak saya, bukan?" tanya Bahar, sudah yakin dengan kehadiran mereka memang berniat seperti itu.     

"Maaf, sebelumnya ... sebenarnya niat kedatangan kami bukan untuk melamar putri Bapak. Mohon untuk tidak menjadikan ini sebagai pernikahan yang diputuskan secara sepihak." Rinto membalas ucapan Bahar dengan tenang. Ia akan berusaha semaksimal mungkin agar keadaan menjadi lebih aman.     

"Hahaha! Kita bisa bicarakan dengan santai di sini. Tapi saya sudah keluar banyak uang untuk membantu Kardi setiap ada masalah. Dan kurasa tidak perlu dipertimbangkan lagi masalahnya. Yang penting anak-anak kita bahagia, itu sudah cukup. Menikah dengan anakku, pasti akan membuat Usman senang dan saya juga tidak akan meminta maskawin yang banyak. Cukup sepetak tanah milik adiknya Kardi."     

"Kalau masalah tanah, saya tidak mempedulikannya," sahut Menik. "Yang penenting di sini, kami mau menyampaikan kalau kami sebagai orang tua, menolak perjodohan anak kami. Dan untuk soal anda memberi banyak bantuan pada mas Kardi, itu urusan anda dengannya. Jadi tidak ada hubungannya dengan Usman, bukan? Jikapun ingin menjodohkan, bukankah seharusnya dengan anaknya mas Kardi?"     

"Bedebah! Apa yang kalian katakan, hah? Hei, Wanita! Apa hak kamu untuk mengatur-atur, hah? Di sini Kardi yang membesarkan anak ini dan dia yang sudah menyetujui perjodohan ini. Lagian kamu ke mana saja waktu dia masih kecil? Kamu malah pergi dan menikah lagi, bukan? Jadi tidak ada salahnya Kardi yang menjodohkan anak yang dirawatnya sejak kecil!"     

"Tapi saya yang melahirkannya dan saya berhak untuk memberi restu atau tidaknya." Dengan penuh emosi, Menik mengatakan itu dan berdiri dari duduknya. Untungnya Rinto bergegas menariknya kembali, membuat wanita itu kembali duduk.     

"Dan Usman saat ini sudah berstatus menikah. Dia tidak bisa begitu saja menikahi putri Bapak. Tolong mengerti, kami hanya ingin kebahagiaan anak kami. Kalau tidak, bagaimana kalau saya ganti seberapa besar yang kamu berikan pada Kardi?" ujar Rinto. Kehilangan banyak uang, baginya tidak masalah dan seharusnya memang ini yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan anak tirinya. Walaupun hanya anak tiri, baginya adalah seorang yang bisa menyelamatkan dirinya di hari tua. Karena ia tidak bisa memberikan keturunan.     

"Kalian datang ke sini hanya untuk membuatku marah, hah? Dasar kurang ajar, kalian!" gertak Bahar dengan suara menggelegar. Ia tidak terima, pagi-pagi malah dibuat kesal dengan kehadiran orang yang membuat emosinya meledak.     

"Kami di sini untuk mendiskusikan soal perjodohan anak kita. Kenapa anda marah pada kami? Kita bicarakan ini dengan baik-baik, Pak Bahar yang terhormat," sahut Rinto. Ia tidak ingin terjadi keributan antara pihaknya dan juga Bahar.     

Anak Bahar yang bernama Sarini pun keluar dengan penampilan yang sudah berdandan dan memakai pakaian bagus. Namun ia tidak menyangka akan seribut itu keadaannya. Ia menghampiri Bahar dan tersenyum lebar setelah melihat Usman, yang ia pikir akan segera menikah dengan Usman.     

"Ada apa kok ribut-ribut? Sampai kedengaran dari belakang, noh. Ih, selamat pagi calon suami kesayangan akohh, muach!" sapanya pada Usman sambil memberikan ciuman di udara.     

Melihatnya saja membuat ketiga orang itu merasa aneh. Ingin tertawa tapi mereka tahan. Apalagi Usman yang merinding karena diperlakukan seperti itu oleh Sarini. Tidak suka dengan penampilan perempuan yang seperti itu.     

Sebenarnya kalian beruntung kalau menikah dengan anakku. Tidak mungkin Usman bisa mendapatkan istri di luaran sana! Hei, kalaupun ada yang mau menikah dengannya, saya akan membatalkan perjodohan ini! Bawa ke sini orang yang menikah dengannya! Kita lihat saja, siapa yang mau menikah dengan anak miskin seperti dia!" tunjuk Bahar pada Usman.     

"Benarkah? Apa yang anda ucapkan itu benar tidak berbohong, kan? Apakah anda bisa menepati janji? Saya akan undang istri dari Usman untuk membuktikan, ada yang mau dengannya," ketus Menik yang sangat emosi dengan sikap Bahar. Tapi ia juga harus berpikir tenang dan seharusnya memang Usman tidak boleh menikahi perempuan yang seperti di samping Bahar.     

"Panggil dia ke sini dan dalam lima menit, dia tidak datang ke sini, kuanggap dia tidak laku! Dan kalian tidak bisa mengelak lagi, bukan? Dalam lima menit, apakah ada yang mau dengan lelaki jelek seperti dia, hah!" hina Bahar ditunjukkan pada Usman.     

Menik mengambil telepon genggam dan mengirim pesan singkat pada Farisha untuk segera datang bersama dengan Azhari. Itu akan membuat Bahar tidak berkutik. Karena di depan juga sudah menyewa polisi yang siap berjaga, jika sewaktu-waktu ada keributan. Tentu mereka juga telah menyewa polisi dan tidak ada niatan untuk menangkap seorangpun. Mereka hanya dibayar untuk mengawasi dan melerai jika ada keributan.     

"Saya sudah menghubungi istri dari anakku. Dia akan segera sampai dan bapak tidak bisa menarik kata-kata anda, yah!" cetus Menik. Ia kemudian meletakan telepon genggam di meja dan menyilangkan tangannya di dadanya.     

Tidak seberapa lama kemudian, ada orang yang mengetuk pintu dan sekaligus pembantu yang selesai membuat teh dan ia berjalan memberi teh terlebih dahulu. Ia dengan sopannya meminta izin pada Bahar dan meletakan teh ke atas meja. Lalu ia menuju pintu untuk membukakan pintu pada tamu yang baru datang.     

"Selamat pagi, saya adalah istri dari Usman dan ini anak kami berdua!" Farisha masuk dengan menggendong anaknya bersama Usman. Dan di belakangnya adalah Azhari yang mengikuti Farisha.     

"Saya adalah mertua dari Usman dan anak saya, saya sendiri yang menikahkan mereka berdua. Mohon untuk pak Bahar membatalkan pernikahan anak anda dengan menantu saya. Karena kami tidak bisa menerima menantuku punya istri lagi, selain anakku!"     

Suasana semakin kacau ketika Azhari dan Farisha datang. Pada akhirnya mereka hanya bisa membuat keributan di rumah besar di desa itu. Pada akhirnya itu membuat Bahar tidak terima dan mereka saling adu argumentasi dan pada akhirnya Bahar yang merasa malu. Tapi ia akan tetap meminta uang ganti rugi. Itu karena ia juga tidak mungkin menyuruh bawahannya karena mereka sudah dihentikan oleh para polisi yang sejak tadi sudah menangkap mereka.     

"Kalau begitu, berapa yang anda minta? Kami akan memberikan pada anda dan tolong jangan sekali-kali jangan pernah ganggu anak kami."     

"Kurang ajar kalian semua! Kalau begitu, saya minta uang dua ratus juta!" ujar Bahar dengan keras. Ia yakin mereka tidak punya uang sebanyak itu. Karena ia pikir mereka tidak sekaya durinya.     

"Kalau begitu, biarkan saya yang akan membayar uang segitu. Sebagai istri dari Usman, aku tidak terima suamiku dihina. Kalian jadi diam saja, mama dan papa mertua. Dan pak Bahar, saya minta nomor rekening, biar aku kirim lima ratus juta sekalian untuk anda!"     

Bahar tidak menyangka kalau ada wanita yang begitu cantik mengaku menjadi istri dari Usman dan sampai rela memberikan uang sebanyak itu padanya. Maka ia segera memberikan nomor rekening dan mendapatkan transferan saat itu juga. Sampai membuat kaget dan tidak disangka juga, Usman justru mendapat istri yang sangat cantik dan juga kaya. Ia juga mengira kalau wanita itu lebih kaya dari dirinya. Padahal dirinya juga tidak seloyal itu pada Kardi.     

"Baiklah ... biar kalian semua puas, aku membatalkan perjodohan anakku dengan Usman! Sekarang kalian semua pergi dari sini! Dan tolong untuk pak polisi, lepaskan anak buah saya!" Bahar tidak ingin kedua anak buahnya sampai dibawa ke kantor polisi karena masih banyak tugas yang harus mereka kerjakan.     

Pada akhirnya mereka merasa lega karena pernikahan Usman dan Farisha baik-baik saja. Pada akhirnya Usman tidak jadi menikah dengan Sarini yang menurutnya mirip alien.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.