Menjalin Cinta Dengan Paman

Hanya Sisa Satu Kamar



Hanya Sisa Satu Kamar

0Bo Yan langsung mengemudikan mobilnya ke gunung, sudah hampir malam ketika mereka sampai.     

Di puncak gunung, ada sebuah kafe terbuka yang memiliki dekorasi sangat cantik dan elegan. Sekumpulan bunga sedap malam ditanam di pagar batu yang tidak jauh dari sana. Keindahan dan keharumannya membuat orang merasa nyaman dan rileks.     

Ada beberapa mobil yang terparkir di bawah saat Bo Yan dan An Ge'er tiba, semuanya adalah mobil mahal.     

Di luar kafe terbuka itu juga ada sebuah piano. Seorang pria yang mengenakan tuksedo hitam sedang memainkan "Love Dream" karya Franz Liszt.     

Musik itu dimainkan dengan sangat indah. An Ge'er bersandar di pagar pembatas sambil menikmati embusan angin sepoi-sepoi. Dari sudut itu, dia dapat memandang keramaian kota yang ada di bawah, sekaligus melihat langit di atas. Cahaya bulan tampak semarak, lembut, dan sangat cerah.     

An Ge'er memejamkan matanya. Saat itu, sepertinya semua hal buruk yang menimpa dirinya telah disingkirkan.     

"Untuk apa kita datang ke sini?" An Ge'er bertanya sambil berpegangan pada pagar pembatas.     

"Minum kopi," jawab Bo Yan singkat.     

"..." Mendengar itu, An Ge'er pun terdiam. Mata gadis itu masih memandang ke arah langit, tetapi bibirnya menyunggingkan senyuman samar.     

"Terima kasih, Paman."     

'Paman secara khusus membawaku ke sini untuk bersantai, bagaimana aku baru menyadari itu?'     

Bo Yan memandang bagian samping wajah An Ge'er. Gadis itu tampak sangat cantik.     

Di bawah cahaya bulan yang dingin dan jernih, kulit An Ge'er terlihat seputih giok dan memancarkan sedikit kelembutan malam. Pada saat yang bersamaan, rasa sakit yang sebelumnya terpancar di mata gadis itu seakan menghilang.     

Embusan angin malam membuat rambut An Ge'er berantakan. Bo Yan mengulurkan tangan dan secara refleks membantu gadis itu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.     

Anehnya, An Ge'er merasakan telinganya sedikit panas.     

'Seperti ini sudah bagus, seperti ini sudah bagus.'     

Bo Yan benar-benar tidak ingin melihat sedikit pun rasa sakit di mata An Ge'er.     

Setelah duduk sebentar di kursi dekat pagar pembatas di luar kafe terbuka itu, tiba-tiba rintik gerimis turun. Hujan yang perlahan-lahan semakin deras itu mengetuk-ngetuk kaca. An Ge'er dan Bo Yan berdiri di bawah pinggiran atap hall.     

An Ge'er perlahan-lahan mengulurkan tangan, rintik hujan berada dalam jangkauannya. Saat itu, masih ada cahaya bulan yang samar, segala hal di sekelilingnya seperti menjadi sunyi. Hanya tersisa suara rintik hujan di telinga… Dan suara napas Bo Yan yang lembut…     

Tiba-tiba, An Ge'er sangat ingin agar waktu berhenti pada saat itu. Seluruh lubuk hatinya seperti dipenuhi oleh sesuatu.     

An Ge'er melihat sosok ramping dan tampan yang berdiri di sampingnya. Pria itu mengenakan kemeja putih, kedua tangannya terselip di saku celana, bibir tipisnya sedikit mengerucut, dan rahangnya yang kokoh tampak sempurna seperti biasa.     

Anehnya, hati An Ge'er pun sedikit panik. Tiba-tiba, gadis itu tidak berani menatap Bo Yan lagi. Dia langsung mengalihkan pandangannya ke bayangan pria itu yang terpampang di dinding.     

'Paman, mengapa Paman sebaik ini kepadaku?'     

An Ge'er bertanya-tanya mengapa Bo Yan tetap begitu menjaganya. Padahal, sejak awal pria itu sudah tahu bahwa dia bukanlah keponakan kandungnya.     

An Ge'er mengingat hal-hal yang telah berlalu dan bulu matanya pun bergetar.     

Sebenarnya, di dalam hati An Ge'er sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi saat dia mengetahui bahwa dirinya bukanlah anak kandung keluarga An.     

Hanya saja sebelum itu, tidak peduli perasaan apa yang dimilikinya terhadap pamannya itu, An Ge'er sudah terbiasa menganggapnya sebagai keluarga dan tetuanya.     

'Tapi, sekarang bagaimana?'     

Pikiran An Ge'er kacau, dia tidak tahu harus bagaimana mengatasi perasaan semacam itu.     

Jadi, saat Bo Yan melepaskan jaketnya dan akan mengenakannya kepada An Ge'er, tanpa sadar gadis itu menghindar. Dia melihat tangan pamannya itu menjadi kaku, tetapi dia mengambil napas kecil dan mencoba menunjukkan senyuman yang tampak alami.     

"Sudah waktunya untuk pergi, Paman."     

Meskipun An Ge'er tersenyum, tetapi sebenarnya sekujur tubuhnya terasa asing.     

Mata jernih Bo Yan menjadi dalam, pria itu menunduk dan tidak mengatakan apa-apa lagi.     

Mereka harus bersiap-siap untuk pulang, tetapi hujan tidak kunjung mereda. Menuruni gunung dalam keadaan seperti itu akan berbahaya. Maka, Bo Yan membawa An Ge'er ke hotel yang ada di dalam kafe terbuka itu.     

Saat Bo Yan dan An Ge'er akan memesan ruangan, petugas resepsionis mengatakan bahwa hanya ada satu kamar yang tersisa…     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.